Gelombang Tenang Menyimpan Ancaman: Konflik Laut China Selatan dan Kedaulatan Indonesia

Minggu, 10 Maret 2024 - 10:47 WIB
loading...
A A A
Bahkan, pengajar dan pemerhati China Universitas Pelita Harapan (UPH) itu menyebut dalam perkembangannnya, negeri tirai bambu tersebut terus mengembangkan apa yang dinamakan sebagai 11 garis putus-putus, yang di era RRC berganti menjadi 9 garis putus-putus, dan kini menjadi 10 garis putus-putus.

“Kehadiran 9 garis putus-putus itu menggemparkan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pada tahun 1990-an, karena salah satu garis tersebut menyasar ke wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna,” jelas Johanes.

Dengan demikian, kata dia, RRC menganggap sebagian wilayah Indonesia yang ditandai dengan garis putus-putus tersebut sebagai milik RRC, karena negara itu bersikeras memiliki kedaulatan tak terbantahkan, hak berdaulat dan yuridiksi terhadap perairan, dasar laut, beserta materi terkandung di wilayah di dalam garis putus-putus tersebut.

Johanes juga mengingatkan tentang sejarah, klaim RRC pada masa lalu pernah berkembang menjadi konflik militer, yaitu pertempuran dengan Vietnam pada Januari 1974, yang mengakibatkan pengambilalihan kepulauan parasel oleh RRC dari Vietnam Selatan.

Maka dari itu, Johanes berharap Indonesia makin meningkatkan potensi penegakan hukum dan kedaulatan di wilayah ZEE Indonesia yang diakui oleh RRC itu. Ia juga berharap negara-negara ASEAN memperkuat persatuan dan meningkatkan ketegasan terhadap RRC, serta menghimbau negara tersebut agar menjaga semangat damai ASEAN dan bekerja sama dengan ASEAN bagi terciptanya kode etik prilaku (Code of Conduct) di LCS, yang diharapkan dapat menjadi norma demi menjaga stabilitas di kawasan tersebut.

Sementara itu, Pemerhati China dan Kemaritiman, Laksamana Muda (Purn) Dr. Surya Wiranto, menekankan pentingnya pemanfaatan sumber daya di wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat kepulauan Natuna sebagai bagian dari diplomasi pertahanan (defense diplomacy).

Sebab, lanjut dia, secara yuridis, Indonesia memiliki hak ekslusif untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas (dalam kaitan dengan landas kontinen), sesuai dengan Hukum Laut Internasional (UNCLOS), khususnya pada artikel 77 bagian IV UNCLOS, yang didukung dengan artikel 81 mengenai pengeboran.

“Sebaliknya, klaim Tiongkok berdasarkan 9 garis putus-putus tidak memiliki dasar hukum internasional sama sekali, apalagi berdasarkan UNCLOS,” tutur Surya.

Ia mengatakan Indonesia perlu mengejawantahkan hak eksklusif di atas dengan melakukan ekplorasi dan eksploitasi. Selain pemanfaatan sumber daya untuk kepentingan ekonomi bangsa, eksplorasi dan eksploitasi juga diperlukan untuk membantu menjadi stimulus untuk menjaga keutuhan teritorial, landas kontinen, dan ZEE Indonesia.

Surya berpandangan bahwa penguasaan efektif pulau-pulau terluar Indonesia, dibarengi penolakan terus menerus terhadap kalaim Tiongkok perlu dilakukan, demi mempertahankan hak berdaulat Indonesia.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3080 seconds (0.1#10.140)