Kisah Pangeran Diponegoro Menjabat Wali Sultan, Terlibat Konflik dengan Keraton Yogyakarta

Rabu, 14 Agustus 2024 - 06:25 WIB
loading...
Kisah Pangeran Diponegoro...
Sosok Pangeran Diponegoro versi AI. Foto/Instagram @ainusantara
A A A
Kematian Sultan Hamengkubuwono IV mengguncang Keraton Yogyakarta , menciptakan celah kekuasaan yang harus segera diisi. Dalam kekosongan itu, Pangeran Diponegoro—tokoh karismatik yang dikenal sebagai pahlawan besar di masa mendatang—mendapatkan tugas yang sangat penting. Dia diangkat menjadi salah satu wali sultan untuk Putra Mahkota yang masih berusia dua tahun, sebuah tanggung jawab yang membawanya lebih dekat ke pusat kekuasaan keraton, namun juga menanamkan benih-benih kekecewaan yang mendalam dalam dirinya.

Sebagai kakak dari Sultan Hamengkubuwono IV, Diponegoro memiliki pandangan yang tajam terhadap pemerintahan adiknya yang dianggapnya kurang tegas. Maka, kematian sang sultan yang mendadak dianggapnya sebagai kesempatan untuk menyelamatkan keraton dari ketidakpastian. Dalam salah satu catatannya, Diponegoro bahkan bersyukur atas kejadian ini, sebuah sikap yang mencerminkan betapa dalam kekecewaannya terhadap pemerintahan adiknya.

Pada 14 Desember 1822, sebuah resolusi rahasia dari Van der Capellen, yang didukung oleh rekomendasi De Salis, memutuskan bahwa perwalian dan pemerintahan keraton harus diserahkan kepada empat orang: Ratu Ageng dan Ratu Kencono, yang pernah membesarkan sang sultan, serta Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Diponegoro, yang bertanggung jawab atas manajemen kesultanan sampai sang Putra Mahkota dewasa.

Pada 19 Desember 1822, Putra Mahkota yang masih balita diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono V. Bersama dengan pengangkatan tersebut, Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi dilantik sebagai wali sultan. Keputusan ini dianggap tepat, mengingat keduanya dikenal sebagai pribadi yang tenang dan tanpa ambisi politik yang berlebihan.



Namun, di balik sikap tenang itu, Diponegoro menyimpan luka batin yang dalam. Kehadirannya dalam upacara penobatan sebagai wali sultan ternyata tidak membuatnya merasa bangga. Sebaliknya, Diponegoro merasa terhina dan kecewa. Dalam momen penobatan itu, ada cerita yang berkembang bahwa saat ia disumpah, Pangeran Diponegoro tanpa sadar merobek pakaian resminya—sebuah simbol dari rasa frustrasi yang tak terucapkan.

Selama hampir setahun menjabat, Diponegoro tetap menjalankan tugasnya dengan baik, meskipun ia harus berhadapan dengan berbagai konflik internal, termasuk dengan ibu tirinya yang telah lama menjadi musuh bebuyutannya. Namun, permusuhan pribadi dengan Residen Belanda, Smissaert, dan asistennya, Chevallier, memuncak pada pertengahan 1823. Konflik ini akhirnya mendorong Diponegoro untuk melepaskan jabatan wali sultan, sebuah keputusan yang menjadi titik balik dalam hidupnya, menuju perjuangan yang lebih besar melawan penjajahan Belanda.

Kisah Pangeran Diponegoro dalam menjalani tugas sebagai wali sultan adalah cermin dari perjalanan seorang pahlawan yang tak hanya berjuang di medan perang, tetapi juga di panggung politik keraton. Di balik ketenangannya, tersimpan kekecewaan mendalam yang kelak akan menjadi bahan bakar dalam perjuangannya melawan penjajahan Belanda, sebuah perjuangan yang akan mengubah sejarah bangsa.
(hri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1819 seconds (0.1#10.140)