Gelombang Tenang Menyimpan Ancaman: Konflik Laut China Selatan dan Kedaulatan Indonesia

Minggu, 10 Maret 2024 - 10:47 WIB
loading...
Gelombang Tenang Menyimpan Ancaman: Konflik Laut China Selatan dan Kedaulatan Indonesia
TNI AU unjuk kekuatan saat latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) di Tanjung Datuk, Natuna, Kepulauan Riau, 17 Mei 2017. Foto/Haryudi/Sindonews
A A A
NATUNA - Laut China Selatan (LCS), meskipun dikenal dengan keindahan alam dan kekayaan sumber daya, menyimpan potensi konflik yang mengancam kedaulatan negara-negara pesisir, termasuk Indonesia. Konflik ini melibatkan klaim teritorial, keamanan, ekonomi, dan identitas nasional. Indonesia, meskipun tidak secara langsung terlibat dalam sengketa tersebut, merasakan dampaknya melalui insiden-insiden di perairan Natuna, yang berbatasan dengan Laut China Selatan.

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan sikap tegas dalam melindungi kedaulatan wilayahnya. Namun, tantangan tetap ada. Bagaimana Indonesia dapat menjaga kedaulatan tanpa terjebak dalam pusaran konflik antar negara besar?

Perlunya Langkah-langkah Strategis Pemerintah Indonesia

Klaim sepihak dari Republik Rakyat China (RRC) atas sebagian wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di dekat Kepulauan Natuna harus direspons secara serius dan hati-hati agar tidak mengorbankan kedaulatan negara. Oleh karena itu, hubungan ekonomi yang baik dengan China atau dengan negara mana pun, harus dijaga dengan hati-hati agar tidak mengorbankan kedaulatan negara.

Dalam sebuah Kuliah Pakar yang diselenggarakan oleh Program Studi Keamanan Maritim bertempat di Kampus Pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan) Republik Indonesia, belum lama ini beberapa pemerhati China dan kemaritiman memberikan pandangan mereka. Mereka menyoroti pentingnya Indonesia dalam menjaga kedaulatan wilayahnya dan mencegah eskalasi konflik di Laut China Selatan.



Dekan Fakultas Keamanan Nasional Unhan, Mayor Jenderal TNI DR. Ir. Pujo Widodo, S.E., S.H., S.T., M.A., M.SI., M.D.S., M.SI (HAN) menyatakan perkembangan situasi di LCS akhir-akhir ini perlu perhatianserius, karena berpotensi mempengaruhi stabilitas kawasan dan berdampak pada Indonesia dan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.

Maka dari itu, ia menghimbau agar negara-negara ASEAN bersatu dan menunjukan sikap tegas terhadap potensi gangguan dari pihak luar. “Hanya dengan bergandengan tangan kita dapat menciptakan kawasan yang aman dan sejahtera bagi semua,” ujar Pujo.

Selanjutnya, Pujo juga menyatakan pihak-pihak yang berasal dari luar kawasan, termasuk China yang merupakan sahabat Indonesia dan ASEAN, dihimbau untuk menghormati kesepakatan damai ASEAN (Treaty of Amity and Cooperation) dan menghindari tindakan yang berpotensi menciptakan ketegangan, seperti yang baru-baru ini terjadi di ZEE Filipina.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Ketua FSI, Johanes Herlijanto berpandangan bahwa berdasarkan penelusuran sejarah, klaim China atas LCS terus berkembang dan cenderung makin meluas.

“Tahun 1928, pemerintah China Nasionalis mengatakan bahwa batas paling selatan dari wilayah negara China adalah kepulauan Parasel, yang terletak di bagian utara LCS. Tetapi sejak 1947, klaim China berkembang hingga hampir seluruh wilayah LCS,” tutur Johanes.



Bahkan, pengajar dan pemerhati China Universitas Pelita Harapan (UPH) itu menyebut dalam perkembangannnya, negeri tirai bambu tersebut terus mengembangkan apa yang dinamakan sebagai 11 garis putus-putus, yang di era RRC berganti menjadi 9 garis putus-putus, dan kini menjadi 10 garis putus-putus.

“Kehadiran 9 garis putus-putus itu menggemparkan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pada tahun 1990-an, karena salah satu garis tersebut menyasar ke wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna,” jelas Johanes.

Dengan demikian, kata dia, RRC menganggap sebagian wilayah Indonesia yang ditandai dengan garis putus-putus tersebut sebagai milik RRC, karena negara itu bersikeras memiliki kedaulatan tak terbantahkan, hak berdaulat dan yuridiksi terhadap perairan, dasar laut, beserta materi terkandung di wilayah di dalam garis putus-putus tersebut.

Johanes juga mengingatkan tentang sejarah, klaim RRC pada masa lalu pernah berkembang menjadi konflik militer, yaitu pertempuran dengan Vietnam pada Januari 1974, yang mengakibatkan pengambilalihan kepulauan parasel oleh RRC dari Vietnam Selatan.

Maka dari itu, Johanes berharap Indonesia makin meningkatkan potensi penegakan hukum dan kedaulatan di wilayah ZEE Indonesia yang diakui oleh RRC itu. Ia juga berharap negara-negara ASEAN memperkuat persatuan dan meningkatkan ketegasan terhadap RRC, serta menghimbau negara tersebut agar menjaga semangat damai ASEAN dan bekerja sama dengan ASEAN bagi terciptanya kode etik prilaku (Code of Conduct) di LCS, yang diharapkan dapat menjadi norma demi menjaga stabilitas di kawasan tersebut.

Sementara itu, Pemerhati China dan Kemaritiman, Laksamana Muda (Purn) Dr. Surya Wiranto, menekankan pentingnya pemanfaatan sumber daya di wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat kepulauan Natuna sebagai bagian dari diplomasi pertahanan (defense diplomacy).

Sebab, lanjut dia, secara yuridis, Indonesia memiliki hak ekslusif untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas (dalam kaitan dengan landas kontinen), sesuai dengan Hukum Laut Internasional (UNCLOS), khususnya pada artikel 77 bagian IV UNCLOS, yang didukung dengan artikel 81 mengenai pengeboran.

“Sebaliknya, klaim Tiongkok berdasarkan 9 garis putus-putus tidak memiliki dasar hukum internasional sama sekali, apalagi berdasarkan UNCLOS,” tutur Surya.

Ia mengatakan Indonesia perlu mengejawantahkan hak eksklusif di atas dengan melakukan ekplorasi dan eksploitasi. Selain pemanfaatan sumber daya untuk kepentingan ekonomi bangsa, eksplorasi dan eksploitasi juga diperlukan untuk membantu menjadi stimulus untuk menjaga keutuhan teritorial, landas kontinen, dan ZEE Indonesia.

Surya berpandangan bahwa penguasaan efektif pulau-pulau terluar Indonesia, dibarengi penolakan terus menerus terhadap kalaim Tiongkok perlu dilakukan, demi mempertahankan hak berdaulat Indonesia.

“Kita harus menjadikan hilangnya wilayah Indonesia di Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai pengalaman yang tidak boleh terulang kembali. Oleh karenanya, tindakan preventif perlu dilakukan karena lebih baik dibandingkan tindakan reaktif,” tegas Surya.

Sedangkan dalam pandangan Dr (H.C) Capt. Marcellus Jayawibawa, S.SiT., M.Mar, klaim RRC terhadap LCS bisa berdampak negatif terhadap hak berdaulat Indonesia, terutama dalam hal kebebasan berlayar dan eksploitasi sumber daya alam di ZEE Indonesia. Padahal ZEE Indonesia sangat luas dan kaya akan sumber daya alam seperti ikan, minyak, dan gas alam.

“Oleh karena itu Indonesia harus mempertahankan hak berdaulatnya dan menjaga kepentingan nasional dengan tetap berpegang pada hukum internasional dan bekerja sama dengan negara-negara ASEAN dan mitra strategis lainnya,” kata Marcellus.

Langkah TNI dalam Mengamankan Natuna

Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah mengambil langkah strategis untuk mengamankan Natuna dari ancaman eksternal. Langkah-langkah ini mencakup pembangunan pangkalan jet tempur, penambahan personel, patroli skuadron jet tempur, dan penyiagaan kapal perang di wilayah tersebut.

- Pangkalan Sukhoi Su-27 dan Helikopter AH-64E Apache
Sejak 2014, TNI telah membangun pangkalan jet tempur di Natuna untuk Sukhoi Su-27 dan menyediakan 4 helikopter AH-64E Apache yang baru dibeli dari Amerika Serikat. Langkah ini bertujuan untuk memastikan kesiapan dalam menghadapi ancaman yang tak terduga.

- Penambahan Personel dan Infrastruktur
TNI tidak hanya meningkatkan alat utama sistem senjata (alutsista), tetapi juga menambah personel dengan mengirimkan 1 batalion Infantri dari Bukit Barisan. Hal ini untuk memperkuat pertahanan wilayah Natuna.

- Patroli Skuadron Jet Tempur dan Penyiagaan Kapal Perang
Selama proses pembangunan pangkalan pesawat tempur Sukhoi Su-27, TNI menggunakan Skuadron jet tempur yang ditempatkan di Pekanbaru, dilengkapi dengan jet tempur jenis F-16 setara Block 52 dan Hawk 100. Selain itu, puluhan kapal perang dari Armada Barat TNI AL, termasuk KRI Slamet Riyadi 352, KRI Kobra, dan KRI Anakonda, telah disiagakan untuk mengamankan wilayah Natuna.

Menhan Prabowo: 'Gajah di Dalam Ruangan'

Menteri Pertahanan (Menhan) RI, Prabowo Subianto sempat angkat bicara tentang pentingnya menjaga stabilitas kawasan dalam menghadapi eskalasi konflik di Laut China Selatan dan Selat Taiwan. Prabowo menggambarkan situasi ini sebagai 'gajah di dalam ruangan', menyoroti potensi ancaman yang besar bagi stabilitas regional.

Prabowo menegaskan bahwa LCS dan Selat Taiwan menjadi titik-titik sensitif yang dapat meletus menjadi konflik terbuka kapan saja, dengan ketegangan yang melibatkan China dan Amerika Serikat (AS). Indonesia menyadari pentingnya menjaga stabilitas dunia, sekaligus mengakui posisi China sebagai kekuatan besar dengan kepentingan nasionalnya.

"Walau kami menghormati kepentingan AS sebagai kekuatan utama dalam mengatur dunia, kami juga mematuhi kebijakan One China Policy dan mengakui kepentingan inti Beijing yang sah," ujar Prabowo dalam Forum 17th International Institute for Strategic Studies (IISS) Regional Security Summit: The Manama Dialogue 2021 di Bahrain.

Sementara di LCS, China mengklaim sebagian besar wilayah tersebut, yang mendapat tentangan dari negara-negara lain seperti Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam. Di sisi lain, ketegangan di Taiwan semakin meningkat dengan masuknya ratusan jet tempur China ke wilayah pertahanan pulau itu, yang dianggap oleh Taiwan sebagai tanda invasi yang mendekat.

Menyikapi hal tersebut Menteri Pertahanan Taiwan, Chiu Kuo-cheng, sempat memberikan peringatan tentang kemungkinan invasi Beijing ke wilayah itu pada tahun 2025 mendatang, menyebut situasi ini sebagai yang terberat yang pernah ia alami dalam karir militer selama lebih dari 40 tahun.

Dengan kondisi ini, sikap tegas Indonesia dalam menjaga stabilitas kawasan menjadi semakin penting, sementara pemerintah dunia diharapkan untuk mengambil langkah-langkah yang bijaksana guna mencegah eskalasi konflik yang berpotensi merugikan banyak pihak.

Peta Baru China atas LCS Picu Kontroversi

Peta baru China yang memperluas klaimnya atas wilayah di LCS menuai kontroversi dan reaksi dari negara-negara yang terdampak, termasuk Filipina, Malaysia, dan India. Peta terbaru itu dirilis oleh Kementerian Sumber Daya Alam China, yang diberi nama 'Peta Standar China 2023' pada Senin 28 Agustus 2023.

Dalam peta tersebut mempertahankan klaim klasik China atas LCS dengan memperluas sembilan garis putus-putusnya menjadi sepuluh, dengan menambahkan kawasan laut bagian timur Taiwan. Tambahan garis putus ke-10 dalam peta ini juga memperluas klaim China atas wilayah laut yang berbatasan dengan Filipina. Menurut laporan media milik pemerintah China, China Daily, mereka akan menguasai seluruh Kepulauan Spratly, termasuk Kelompok Pulau Kalayaan (KIG).

Kontroversi terbesar dari peta baru ini adalah bahwa peta tersebut mencakup wilayah-wilayah yang disengketakan, termasuk klaim atas Arunachal Pradesh, wilayah Aksai Chin, Taiwan, dan Laut China Selatan. Batas negara China juga mencaplok wilayah sengketa maritim di dalam zona ekonomi eksklusif Malaysia dekat Sabah dan Sarawak, Brunei, Filipina, Indonesia, dan Vietnam.

Namun, tidak semua negara diam terhadap klaim China ini. Filipina, Malaysia, dan India ikut bergabung dalam menyuarakan keberatannya terhadap peta baru China. Malaysia secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak mengakui klaim China di LCS, termasuk yang tercantum dalam 'Peta Standar China Edisi 2023', yang mencakup wilayah maritim Malaysia.

Reaksi ini menunjukkan bahwa ketegangan terkait klaim teritorial di Laut China Selatan masih menjadi isu sensitif dan kontroversial di kawasan Asia-Pasifik. Diperlukan kerja sama dan diplomasi yang kuat untuk menyelesaikan konflik ini tanpa memicu eskalasi yang lebih luas.

Sebagaimana diketahui, Natuna, yang terdiri dari tujuh pulau dengan Ibu Kota di Ranai, memiliki sejarah panjang. Pada abad ke-19, Natuna dikuasai oleh Kesultanan Riau sebelum akhirnya bergabung dengan Indonesia setelah merdeka. Indonesia telah membangun berbagai infrastruktur di wilayah seluas 3.420 kilometer persegi ini, dengan mayoritas penduduknya berasal dari etnis Melayu.

Kekayaan alam Natuna, terutama cadangan gas alamnya, menjadi daya tarik utama. Cadangan gas alam di Blok Natuna D-Alpha diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik (TCT), dengan nilai ekonomi mencapai Rp 6.000 triliun. Namun, klaim China atas sebagian wilayah Natuna telah menimbulkan kekhawatiran akan eksplorasi sumber daya alam di wilayah tersebut.

Indonesia, sebagai salah satu negara yang berupaya menjadi penengah dalam konflik LCS, terus melakukan komunikasi dengan semua pihak yang terlibat. Melalui diplomasi preventif dan penggunaan forum ASEAN, Indonesia berupaya untuk menjaga perdamaian dan kestabilan di kawasan tersebut.
(hri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2572 seconds (0.1#10.140)