Cara Penarikan Pajak di Zaman Mataram Kuno: Pakai Uang Logam hingga Hewan
loading...
A
A
A
Kemudian mempunyai kewajiban kerja bakti (gawai) dengan mengerahkan sekian orang setiap tahunnya, sering juga kewajiban kerja bakti itu dinilai dengan uang.
Rupa-rupanya yang dimaksud dengan pangguhan itu semata-mata ialah hasil bumi karena prasasti-prasasti masih menyebutkan macam-macam pajak lain.
Dimana menurut berita Cina rakyat harus membayar pajak sebanyak 10 persen dari hasil tanahnya. Ada juga keterangan yang menyatakan bahwa pajak tanah ditentukan berdasarkan luas tanahnya.
Keterangan itu terdapat di dalam prasasti Palěpangan, yang menyebutkan bahwa rakyat Desa Palěpangan dikenai pajak sebesar 6 dhārana perak setiap tampah. Di samping pajak hasil bumi dan pajak tanah, rakyat harus juga membayar pajak perdagangan dan pajak usaha kerajinan.
Pajak yang dikenakan kepada para pedagang (masamwyawahara) dan pengrajin (misra) tidak diketahui ketentuannya.
Karena prasasti-prasasti hanya menyebutkan, bahwa di dalam daerah yang telah ditetapkan menjadi sima ada jumlah tertentu yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.
Misalnya, pada perdagangan binatang ternak batas bebas pajak ialah untuk kerbau 30 ekor, untuk sapi 40 ekor, untuk kambing 80 ekor, dan untuk itik satu wantayan, sebagaimana tercantum dalam Prasasti Linggasutan.
Sedangkan untuk para pengerajin juga harus ada ketentuan, tentang harus dikenakan pungutan pajaknya, yaitu bahwa pajaknya harus dibagi tiga.
Daerah sima itu diperuntukkan suatu bangunan suci, maka sepertiga dari pungutan pajak dari para pengrajin itu harus dipersembahkan kepada bhatara yang dipuja di dalam bangunan suci itu, sepertiga kepada yang mengelola sima, dan sepertiga tetap diserahkan ke kas kerajaan.
Rupa-rupanya yang dimaksud dengan pangguhan itu semata-mata ialah hasil bumi karena prasasti-prasasti masih menyebutkan macam-macam pajak lain.
Dimana menurut berita Cina rakyat harus membayar pajak sebanyak 10 persen dari hasil tanahnya. Ada juga keterangan yang menyatakan bahwa pajak tanah ditentukan berdasarkan luas tanahnya.
Keterangan itu terdapat di dalam prasasti Palěpangan, yang menyebutkan bahwa rakyat Desa Palěpangan dikenai pajak sebesar 6 dhārana perak setiap tampah. Di samping pajak hasil bumi dan pajak tanah, rakyat harus juga membayar pajak perdagangan dan pajak usaha kerajinan.
Pajak yang dikenakan kepada para pedagang (masamwyawahara) dan pengrajin (misra) tidak diketahui ketentuannya.
Karena prasasti-prasasti hanya menyebutkan, bahwa di dalam daerah yang telah ditetapkan menjadi sima ada jumlah tertentu yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.
Misalnya, pada perdagangan binatang ternak batas bebas pajak ialah untuk kerbau 30 ekor, untuk sapi 40 ekor, untuk kambing 80 ekor, dan untuk itik satu wantayan, sebagaimana tercantum dalam Prasasti Linggasutan.
Sedangkan untuk para pengerajin juga harus ada ketentuan, tentang harus dikenakan pungutan pajaknya, yaitu bahwa pajaknya harus dibagi tiga.
Daerah sima itu diperuntukkan suatu bangunan suci, maka sepertiga dari pungutan pajak dari para pengrajin itu harus dipersembahkan kepada bhatara yang dipuja di dalam bangunan suci itu, sepertiga kepada yang mengelola sima, dan sepertiga tetap diserahkan ke kas kerajaan.
(ams)