Cara Penarikan Pajak di Zaman Mataram Kuno: Pakai Uang Logam hingga Hewan
loading...
A
A
A
Pajak menjadi sumber pendapatan negara semasa Kerajaan Mataram Kuno. Sang penguasa kala itu menarik berbagai pajak dari rakyat hingga orang asing yang tinggal dan berbisnis di negaranya.
Pembayarannya pun konon menggunakan beragam macam cara mulai dari uang hingga memberikan sesembahan berupa hewan.
Ada pajak di tingkat desa sebagai daerah terendah di Kerajaan Mataram kuno, hingga pajak di kota-kota dan bandar dagang, yang ditarik kepada pedagang dan pelaku usaha. Di petugas pajak desa misalnya, pejabat pajaknya disebut watak.
Petugas pajak ini membawahi beberapa desa. Kemudian para penguasa daerah, yakni rakai dan pamgat atau para sāmya haji, mempersembahkannya kepada raja setiap habis panen, jadi dua kali setahun.
Sebagaimana dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno", beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Mataram juga menyebut, bulan Asuji dan Karttika sebagai bulan penyerahan pajak, yaitu bulan Oktober-November.
Pejabat tingkat watak yang bertugas memungut pajak itu disebut pangurang, ada juga istilah pratyaya untuk menyebut pejabat pemungut pajak. Di pusat kerajaan semua pemasukan pajak diurus oleh pangkur, tawan, dan tirip.
Di tingkat pusat itu ada pula petugas yang khusus mencatat luas berbagai jenis tanah di seluruh kerajaan dan ketetapan pajaknya, atau istilahnya di wilayah thani atau wilang wanua.
Oleh karena itu, sering dijumpai di dalam pelbagai prasasti keterangan bahwa suatu daerah atau sebidang tanah di suatu daerah, yang ditetapkan menjadi simamempunyai penghasilan pajak (pangguhan) sebanyak sekian mata uang emas atau perak.
Pembayarannya pun konon menggunakan beragam macam cara mulai dari uang hingga memberikan sesembahan berupa hewan.
Ada pajak di tingkat desa sebagai daerah terendah di Kerajaan Mataram kuno, hingga pajak di kota-kota dan bandar dagang, yang ditarik kepada pedagang dan pelaku usaha. Di petugas pajak desa misalnya, pejabat pajaknya disebut watak.
Baca Juga
Petugas pajak ini membawahi beberapa desa. Kemudian para penguasa daerah, yakni rakai dan pamgat atau para sāmya haji, mempersembahkannya kepada raja setiap habis panen, jadi dua kali setahun.
Sebagaimana dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno", beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Mataram juga menyebut, bulan Asuji dan Karttika sebagai bulan penyerahan pajak, yaitu bulan Oktober-November.
Pejabat tingkat watak yang bertugas memungut pajak itu disebut pangurang, ada juga istilah pratyaya untuk menyebut pejabat pemungut pajak. Di pusat kerajaan semua pemasukan pajak diurus oleh pangkur, tawan, dan tirip.
Di tingkat pusat itu ada pula petugas yang khusus mencatat luas berbagai jenis tanah di seluruh kerajaan dan ketetapan pajaknya, atau istilahnya di wilayah thani atau wilang wanua.
Oleh karena itu, sering dijumpai di dalam pelbagai prasasti keterangan bahwa suatu daerah atau sebidang tanah di suatu daerah, yang ditetapkan menjadi simamempunyai penghasilan pajak (pangguhan) sebanyak sekian mata uang emas atau perak.