Kisah Tamperan Barmawijaya Raja Sunda yang Tewas di Tangan Prajurit Galuh Bersama sang Istri

Senin, 22 Januari 2024 - 07:33 WIB
loading...
A A A
Ciung Wanara yang mendengar kabar tersebut kemudian menerima tantangan sang raja, dengan mengadukan ayam jantan miliknya dengan Si Jeling. Syaratnya adalah ketika ayamnya menang maka meminta setengah dari Kerajaan Galuh sebagai hadiah. Janji itu terwujud karena ayam sang raja dikalahkan oleh ayam milik Ciung Wanara yang meski berukuran kecil namun jauh lebih kuat.

Ciung Wanara kemudian menjadi raja di daerah yang diserahkan oleh Tamperan Barmawijaya. Saat itu dia pun mendengar cerita Uwa Batara Lengser, bahwa dirinya saat itu disingkirkan dari istana beserta ibunya oleh Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangrenyep. Merasa sakit hati kemudian dia melancarkan balasa dendam kepada keduanya dan berhasil memenjarakan Dewi Pangrenyep.

Namun, putra dari Dewi Pangrenyep, Hariang Banga tidak terima atas penangkapan ibunya oleh Ciung Wanara yang notabenenya adalah sang adik. Dia kemudian menyusun rencana penyerangan untuk membebaskan ibunya dengan mengumpulkan banyak tentara guna berperang melawan Ciung Wanara dan para pengikutnya.

Sehingga pertarungan kakak beradik antara Hariang Banga dan Ciung Wanara tidak terelakan. Olah kanuragan dan kesaktian seimbang yang dimiliki keduanya membuat pertarungan tidak ada yang menang. Kemudian munculah Raja Prabu Permana Di Kusumah yang tak lain adalah ayah keduanya, didampingi Ratu Dewi Naganingrum yang meminta agar pertarungan dihentikan.

Raja mengatakan, pamali (tabu) antara adik dan kakak bertarung. Lalu keduanya berhenti dan oleh Raja Prabu Permana Di Kusumah diputuskan Ciung Wanara memerintah di Galuh sedangkan di negara baru sebelah timur Sungai Brebes atau menjadi Sungai Pamali. Sejak itu nama sungai tersebut dikenal sebagai Cipamali (Bahasa Sunda) atau Kali Pemali (Bahasa Jawa) yang berarti Sungai Pamali.

Hariang Banga lalu pindah ke timur dan dikenal sebagai Jaka Susuruh. Dia mendirikan kerajaan Jawa dan pengikutnya yang setia menjadi nenek moyang orang jawa. Sementara Ciung Wanara memerintah Kerajaan Galuh dengan adil, rakyatnya adalah orang sunda. Pada saat itu Kerajaan Galuh yang kemudian bernama Pakuan Pajajaran menjadi makmur seperti saat diperintah pada zaman Prabu Permana Di Kusumah.

Jejak peninggalan Kerajaan Galuh di Situs Karang Kamulyan, di Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, masih bisa terlihat. Seperti Batu Pangcakilan bekas singgasana dan tempat bermusyawarah raja, penyabungan alam, sanghyang bedil, lambang peribadatan, sumber air cteguh dan cirahayu. Kemudian ada makam adipati panaekan, pamangkonan, batu panyadaan, patimunan, serta leuwi sipatahunan tempat bayi ciung wanara di buang di Sungai Citanduy.

Akhir Hayat Tamperan dan Dewi Pangrenyep

Sementara itu, ada kisah lain tentang Dewi Pangrenyep sempat merasa tidak nyaman hidup di lingkungan keraton Galuh karena ia datang dari Kerajaan Sunda, kerabat keraton Galuh tidak suka dengan Dewi Pangrenyep. Keselamatannya hanya terjamin oleh Tamperan Barmawijaya dan pasukan Sunda yang melindunginya.

Tamperan dan Dewi Pangrenyep bersua kembali dalam suasana alam dan waktu yang berbeda, puluhan tahun ke belakang sempat bermain bersama di istana kakeknya, cinta Dewi Pangrenyep yang lama terkubur kini bersemi kembali di keraton Galuh.

Cinta terlarangpun kembali terjadi di Keraton Galuh, Tamperan memadu kasih dengan Dewi Pangrenyep lalu melahirkan bayi laki-laki bernama Kamarasa atau dikenal dengan nama Sang Banga

Keharmomisan Premana Dikusuma, Naganingrum dan Suratoma di Keraton Galuh menjadi terganggu. Disisi lain Tamperan cenderung memperlihatkan permusuhannya yang tajam dengan Premana Dikusuma.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1213 seconds (0.1#10.140)