Misteri Kakek Tua Berjenggot yang Lenyapkan Kolera di Pulau Jawa
loading...
A
A
A
Pemicu kolera adalah hubungan dagang antara Jawa dengan India melalui selat Malaka. Serangan pertama muncul di sepanjang pesisir pantai utara Jawa. Dari Batavia, penyakit kolera menyebar ke Semarang hingga Surabaya.
Orang Jawa menyebut pagebluk. Pagi mengeluh demam disertai muntah dan berak, sore sudah meninggal dunia. Begitu juga sore sakit, paginya meregang nyawa.
Tercatat pada tahun 1910 sebanyak 60 ribu penduduk Jawa dan Madura tewas akibat kolera. Di Desa Djugo, Kabupaten Blitar. Begitu mendengar Mbah Djugo mengatakan cukup membawa air , warga sontak berduyun-duyun mencari tempat air.
"Ada yang pakai cangkir, ada yang pakai kelowoh, ada yang pakai bumbung," tulis Im Yang Tju. Air di dalam wadah yang beragam tersebut, diletakkan di depan Mbah Djugo. Laki-laki tua itu hanya diam. Semua wadah air itu hanya dipandangnya.
Sejurus kemudian. Warga dimintanya membawa air itu pulang. Air diminumkan kepada si sakit. Juga dioleskan pada tubuh yang dianggap sakit. Ajaib. Dalam waktu singkat semua berangsur-angsur sembuh, sehat seperti sedia kala.
Kabar munculnya Mbah Djugo dengan cepat menyebar ke desa-desa lain. Ke arah Timur bergetok tular sampai wilayah Sumberpucung, dan Kepanjen (Wilayah Kabupaten Malang). Ke barat menyebar sampai wilayah Wlingi, hingga Kota Blitar. Nama Mbah Djugo menjadi buah bibir. Diucapkan di mana-mana dengan penuh hormat.
"Tidak lama wabah penyakit kolera yang meliputi seluruh daerah Blitar, Tulungagung, Kediri, Wlingi, Kepanjen, Malang dan desa-desa sepanjang pesisir laut selatan, telah terbasmi musnah. Rakyat telah negeri telah tentram kembali hidupnya," tulis Im Yang Tju.
Popularitas nama Mbah Djugo sebagai tabib sakti sekaligus orang pintar yang gemar menolong sampai ke telinga Bupati Blitar Kanjeng Pangeran Warsokusumo. Di Desa Djugo.
Sebagai terima kasih dan hormatnya kepada Mbah Djugo, Bupati Blitar memberi hadiah sebidang tanah. Di atas tanah bebas pajak tersebut didirikan sebuah rumah yang dalam perjalanannya menjadi padepokan.
Sejak itu Mbah Djugo yang juga dikenal dengan panggilan Ki Ageng Djugo atau Panembahan Djugo berhenti berkelana. Ia menetap di Desa Djugo. Mulai dari rakyat jelata hingga priyayi pejabat yang datang untuk mencari kesembuhan penyakit, mengalir tak putus-putus.
Orang Jawa menyebut pagebluk. Pagi mengeluh demam disertai muntah dan berak, sore sudah meninggal dunia. Begitu juga sore sakit, paginya meregang nyawa.
Tercatat pada tahun 1910 sebanyak 60 ribu penduduk Jawa dan Madura tewas akibat kolera. Di Desa Djugo, Kabupaten Blitar. Begitu mendengar Mbah Djugo mengatakan cukup membawa air , warga sontak berduyun-duyun mencari tempat air.
"Ada yang pakai cangkir, ada yang pakai kelowoh, ada yang pakai bumbung," tulis Im Yang Tju. Air di dalam wadah yang beragam tersebut, diletakkan di depan Mbah Djugo. Laki-laki tua itu hanya diam. Semua wadah air itu hanya dipandangnya.
Sejurus kemudian. Warga dimintanya membawa air itu pulang. Air diminumkan kepada si sakit. Juga dioleskan pada tubuh yang dianggap sakit. Ajaib. Dalam waktu singkat semua berangsur-angsur sembuh, sehat seperti sedia kala.
Kabar munculnya Mbah Djugo dengan cepat menyebar ke desa-desa lain. Ke arah Timur bergetok tular sampai wilayah Sumberpucung, dan Kepanjen (Wilayah Kabupaten Malang). Ke barat menyebar sampai wilayah Wlingi, hingga Kota Blitar. Nama Mbah Djugo menjadi buah bibir. Diucapkan di mana-mana dengan penuh hormat.
"Tidak lama wabah penyakit kolera yang meliputi seluruh daerah Blitar, Tulungagung, Kediri, Wlingi, Kepanjen, Malang dan desa-desa sepanjang pesisir laut selatan, telah terbasmi musnah. Rakyat telah negeri telah tentram kembali hidupnya," tulis Im Yang Tju.
Popularitas nama Mbah Djugo sebagai tabib sakti sekaligus orang pintar yang gemar menolong sampai ke telinga Bupati Blitar Kanjeng Pangeran Warsokusumo. Di Desa Djugo.
Sebagai terima kasih dan hormatnya kepada Mbah Djugo, Bupati Blitar memberi hadiah sebidang tanah. Di atas tanah bebas pajak tersebut didirikan sebuah rumah yang dalam perjalanannya menjadi padepokan.
Sejak itu Mbah Djugo yang juga dikenal dengan panggilan Ki Ageng Djugo atau Panembahan Djugo berhenti berkelana. Ia menetap di Desa Djugo. Mulai dari rakyat jelata hingga priyayi pejabat yang datang untuk mencari kesembuhan penyakit, mengalir tak putus-putus.