Kisah Tragis Raja Jayanegara, Dikenal Kebal Senjata Tajam tapi Tewas Gara-gara Bisul

Kamis, 31 Agustus 2023 - 05:12 WIB
loading...
Kisah Tragis Raja Jayanegara, Dikenal Kebal Senjata Tajam tapi Tewas Gara-gara Bisul
Candi Bajang Ratu di Kabupaten Mojokerto, dipercaya sebagai makam Raja Jayanegara yang merupakan anak pertama Raden Wijaya, dan raja ke dua Majapahit. Foto/Dok. kebudayaan.kemdikbud.go.id
A A A
Susunan batu bata merah itu, menjulang tinggi di tengah taman yang asri. Warnanya yang cokelat terang, menjadikan Candi Bajang Ratu begitu mencolok di tengah hamparan rumput hijau dan dipayungi langit biru.



Candi berbentuk Paduraksa atau gapura yang memiliki atap tersebut, berada di Dusun Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Bangunan indah menjulang setinggi 16,5 meter tersebut, ternyata menyimpan kisah kelam raja ke dua Majapahit, Jayanegara.



Dikutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, nama Bajang Ratu pertama kali disebut dalam Oudheikunding Verslag (OV) tahun 1915. Dari hasil penelitian sejumlah ahli, Candi Bajang Ratu banyak dikaitkan dengan wafatnya Raja Jayanegara pada tahun 1328.



Dalam laman kebudayaan.kemdikbud.go.id disebutkan, Kitab Pararaton menuliskan Raja Jayanegara wafat pada tahun 1328. "Sira ta dhinarmeng kapopongan, bhisaka ring Çrnggapura pratista ring Antawulan".

Menurut Krom yang dikutip dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, menyebutkan, Çrnggapura dalam pararaton sama dengan Çri Ranggapura dalam Nagarakertagama, sedang Antawulan dalam Pararaton sama dengan Antarsasi dalam Nagarakertagama. Sehingga disimpulkan bahwa dharma atau tempat suci Raja Jayanegara berada di kapopongan alias Çrnggapura atau Çri Ranggapura. Bangunan sucinya berada di Antawulan atau Trowulan.

Diduga, fungsi Candi Bajang Ratu sebagai pintu masuk ke bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara, di mana dalam Kitab Nagarakertagama disebut kembali ke dunia Wisnu tahun 1328 saka. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya relief Sri Tanjung, dan Sayap Garuda di Candi Bajang Ratu, yang mempunyai arti sebagai lambang pelepasan.

Jayanegara, naik tahta menjadi Raja Majapahit untuk menggantikan ayahnya, dan dinobatkan sebagai raja kedua di Majapahit. Dalam Kitab Negarakertagama namanya disebut Jayanegara, sementara di Kitab Pararaton disebut Kalagemet.

Diduga, Jayanegara merupakan putra mahkota hasil pernikahan Raden Wijaya, dengan istrinya dari tanah Melayu, Dara Petak. Penyamatan nama Kalagemet di Kitab Pararaton, diduga karena sebagai bentuk sindiran terhadap Jayanegara yang memiliki perangai yang buruk.



Bahkan, kematian Raja Majapahit dengan gelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara tersebut, menyisakan cerita buruk karena dibunuh oleh abdi dalem kerajaan yang istrinya digoda oleh sang raja.

Selama Jayanegara memerintah Majapahit pada tahun 1309-1328, situasi di dalam negeri Majapahit penuh pergolakan dan diwarnai banyak pemberontakan. Diduga, pemberontakan ini juga dipicu oleh ketidak senangan sejumlah petinggi Majapahit.

Selama menjadi raja, Jayanegara memiliki pengawal yang dikenal tangguh, yakni Gajah Mada. Kelak dikemudian hari, Gajah Mada menjadi mahapatih di masa keemasan Kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk.

Sebelum bertahta di Majapahit, Kitab Nagarakretagama menyebutkan bahwa Jayanegara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Diduga, saat memerintah di Kadiri, usia Jayanegara masih sangat muda, karena ayahnya Raden Wijaya baru menikahi Dara Petak yang diduga juga bernawa Indreswari pada tahun 1293.

Selama memerintah Kadiri, Jayanegara dibantu oleh Lembu Sora. Nama Lembu Sora juga tercatat dalam Prasasti Pananggungan, dengan jabatan sebagai Patih Daha. Dia naik tahta menjadi Raja Majapahit, menggantikan posisi ayahnya yang meninggal pada tahun 1309.



Dalam menjalankan pemerintahannya di Majapahit, Jayanegara membentuk susunan mahamantri yang terdiri dari para wanita. Yakni Rakryan Mahamantri Hino, Dyah Sri Rangganata; Rakryan Mahamantri Sirikan, Dyah Kameswara; dan Rakryan Mahamantri Halu, Dyah Wiswanata.

Kitab Pararaton mencatat, sejumlah pengikut setia Raden Wijaya, beberapa kali melancarkan pemberontakan terhadap pemerintahan Jayanegara. Di antaranya, dilakukan oleh Ranggalawe yang diduga terjadi tahun 1309 saat Jayanegara naik tahta di Majapahit.

Bahkan, patih yang membantunya memerintah di Kadiri, atau Daha, Lembu Sora, turut melakukan pemberontakan pada tahun 1311. Pemberontakan ini terjadi karena hasutan Mahapati yang diduga juga musuh dalam selimut Jayanegara.

Pemberontakan berikutnya, dilancarkan oleh Nambi pada tahun 1316. Aksi pemberontakan paling dahsyat, adalah yang dilakukan Kuti pada tahun 1319. Di mana Kuti mampu menguasai Istana Majapahit, hingga membuat Jayanegara lari mengungsi di Desa Badamder. Berkat kelihaian dan keberanian Gajah Mada dengan pasukan Bhayangkaranya, akhirnya pemberontakan Kuti berhasil ditumpas.

Bukan hanya menghadapi pemberontakan dari internal kerajaannya. Jayanegara ternyata juga sempat menghadapi serangan dari pasukan Mongol. Hal ini didasarkan pada kesaksian seorang misonaris Odorico da Pordenone saat mengunjungi Pulau Jawa. Upaya pasukan Mogol menjajah Jawa, berhasil digagalkan oleh pasukan Majapahit.



Bara dari pemberontakan-pemberontakan itu, ternyata tidak sepenuhnya mampu dipadamkan. Kondisi ini juga diungkapkan oleh Slamet Muljana, pada bukunya yang berjudul "Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit".

Slamet Muljana menyebut, Kuti merupakan bagian dari tujuh Dharmaputra Raja atau abdi dalem. Mereka terdiri dari Kuti, Semi, Pangsa, Wedeng, Juju, Tanca, dan Banyak. Usai Kuti dibunuh karena pemberontakan, para abdi dalem ini masih menyimpan bara akibat ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan Jayanegara.

Bahkan, para abdi dalem ini masih terus berupaya membunuh rajanya. Dari tujuh abdi dalem tersebut, masih menyisakan satu orang yakni Tanca. Selama mengabdi di dalam Istana Majapahit, ternyata masih memendam ambisi membunuh raja.

Sembilan tahun pasca peristiwa Kuti, menurut Slamet Muljana, putri Tribuanarunggadewi dan Rajadewi Maharajasa yang merupakan dua putri keturunan Raden Wijaya, tidak diizinkan menikah oleh Raja Jayanegara. Alasannya karena keduanya hendak dikawini oleh Jayanegara.

Alhasil tindakan asusila tak senonoh diterima kedua putri Kertanegara. Tindakan Jayanegara ini didengar oleh Dharmaputra Tanca. Tanca mengadukannya kepada Gajah Mada, yang kala itu masih menjadi komandan pasukan Bhayangkara pengawal Raja Jayanegara. Para jejaka dan laki-laki menghendaki sang putri disingkirkan oleh Raja Jayanegara.



Pada saat bersamaan, secara kebetulan Jayanegara menderita sakit bisul. Kondisi ini membuat Jayanegara tidak dapat ke luar dari istana, dan harus selalu berbaring di atas tempat tidur. Tanca dipanggil untuk mengobatinya. Tanca dipercaya lantaran memiliki kemampuan mengobati penyakit.

Tanca memasuki kamar tidur untuk mengobati Jayanegara. Bengkak pada kaki raja harus dibedah, satu dua kali tidak berhasil dibedah. Raja dipersilakan mengesampingkan selimutnya, kali ketiga pembedahan bisul pada kaki sang raja berhasil dilakukan.

Seiring pembedahan berhasil, tikaman langsung dilakukan Tanca kepada Jayanegara. Raja Jayanegara mati akibat tikaman Tanca. Gajah Mada yang mengetahui kejadian tersebut langsung bangkit dan menusuk Tanca. Tusukan Gajah Mada, membuat Tanca mati. Kejadian pembunuhan Raja Jayanegara tercatat pada tahun 1328 Masehi atau 1250 Saka.

Selain versi Slamet Muljana dalam bukunya "Tafsir Sejarah Nagara Kretagama". Juga ada versi arkeolog Belanda N.J. Krom dalam Hindoe-Javaansche Geschiedenis yang dikutip Parakitri T. Simbolon dalam bukunya "Menjadi Indonesia", disebutkan justru istri Tanca yang mengatakan telah dicabuli Jayanegara. Kabar ini membuat Gajah Mada geram, lalu balik mengadukan Tanca menyebarkan fitnah.

Menurut Parakitri T. Simbolon, yang mengutib N.J. Krom, justru Gajah Mada yang menjadi otak pembunuhan Jayanegara tersebut. Isu Jayanegara mencabuli istri Tanca, sengaja dihembuskan Gajah Mada, untuk memperalat Tanca membunuh Jayanegara.



Tafsir kedua dari Parakitri T. Simbolon ini, juga sejalan dengan tafsir Slamet Muljana, yang menyebut Gajah Mada sebenarnya tidak suka pada Jayanegara, sehingga memperalat Tanca membunuh raja. Lalu, Gajah Mada langsung membunuh Tanca untuk menghilangkan jejak.

Konspirasi pembunuhan Jayanegara tersebut, juga diungkap Muhammad Yamin dalam bukunya yang berjudul "Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara". Dalam bukunya, Muhammad Yamin menyebutkan, Tanca merasa tidak senang kepada raja karena membunuh Kuti.

Rasa tidak senang Tanca kepada Jayanegara yang telah membunuh Kuti, teman Tanca sesama Dharmaputera. Semakin membara, akibat kabar menggemparkan dari istri Tanca, yang menyebut telah diganggu Jayanegara. Kabar dari istri Tanca tersebut, membuat Gajah Mada memeriksa Tanca secara intensif.

Saat proses pemeriksaan berjalan, ternyata Jayanegara sakit bisul dan meminta Tanca membedahnya. Pada saat itulah Tanca melampiaskan dendamnya dengan membunuh raja menggunakan pisau. Versi lainnya menyebutkan, Jayanegara mati setelah minum racun buatan Tanca. Racun tersebut sengaja dibuat Tanca, karena adanya hasutan dari para pemberontak.

Usai mangkat, Kitab Pararaton menyebut, Jayanegara didharmakan dalam Candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan. Keberadaan gapura paduraksa Bajang Ratu, diduga sisa dari kompleks Srenggapura. Sementara menurut Kitab Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanegara juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu, serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amoghasiddhi.

Saat mangkat, Jayanegara belum memiliki keturunan. Hal ini membuat tahta Raja Majapahit dijabat Gayatri yang merupakan ibu suri di Kerajaan Majapahit. Tetapi karena Gayatri telah menjadi seorang Bhiksuni, akhirnya Raja Majapahit diisi adik tiri Jayanagara, Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2833 seconds (0.1#10.140)