Kisah Perjanjian Perdagangan Pajajaran dan Portugis Bikin Kerajaan Demak Terdesak
loading...
A
A
A
Perjanjian internasional antara Portugis dan Pajajaran yang ditandatangani kala itu memang mengukir sejarah. Perjanjian itu menjadi perjanjian perdagangan internasional yang diakui, tapi membuat Kerajaan Demak yang juga mulai berkembang sedikit was-was.
Pasalnya sang Raja Pajajaran Surawisesa, naik tahta setahun setelah Sultan Trenggono di Kerajaan Demak. Perjanjian antara Portugal dan Pajajaran itu ibarat pisau tajam bermata dua yang ditodongkan ke bagian jantung bagi Demak.
Apabila Selat Malaka dikuasai oleh Portugis, dan Selat Sunda dikuasai oleh Pajajaran yang dibantu Portugis, nasib Demak yang tergantung pada perdagangan laut tentunya juga sama dengan dicekik.
“Padahal Demak baru saja keluar dari musibah sisa-sisa perebutan hak waris kekuasaan,” demikian dikutip dari buku "Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi”.
Sultan Trenggono belum bisa melakukan tindakan apa pun. Tetapi kebetulan, di pihak Portugis pun ada masalah. Selain armada mereka mengalami dua kali gagal mendarat di Pelabuhan Kalapa karena badai laut, Alfonso d'Albouquerque pun meninggal dunia di Cuchin.
Hal ini membuat pada 1526 Demak dapat mengirimkan armada yang dipimpin oleh panglima, yaitu Fadhillah Khan, menantu Sunan Gunung Jati.
Dia adalah orang Cirebon menyebut Fadhillah sebagai Wong Agung Sabrang atau Tubagus Pase, lantaran berasal dari Pasai, yang pada tahun 1521 direbut oleh Portugis.Fadhillah adalah suami Ratu Ayu, anak perempuan Sunan Gunung Jati, janda Pangeran Sabrang Lor.
Selain itu, Fadhillah menikah dengan Ratu Nyawa, anak perempuan Sultan Al-Fatah atau Raden Patah (Demak), janda dari Bratakelana (anak laki-laki Sunan Gunung Jati). Fadhillah meninggal pada 1570, sedangkan Sunan Gunung Jati pada 1568.
Kerajaan Demak dan Cirebon kala itu mencoba merebut wilayah Banten. Apalagi saat itu anak perempuan Sunan Gunung Jati dari Kawungaten, konon dinobatkan sebagai Bupati Banten. Barulah pada tahun 1527, Banten mengambil alih Pelabuhan Kelapa.
Jadi, bukan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah yang mengambil Kalapa, melainkan Fadhillah, menantunya.
Pasalnya sang Raja Pajajaran Surawisesa, naik tahta setahun setelah Sultan Trenggono di Kerajaan Demak. Perjanjian antara Portugal dan Pajajaran itu ibarat pisau tajam bermata dua yang ditodongkan ke bagian jantung bagi Demak.
Apabila Selat Malaka dikuasai oleh Portugis, dan Selat Sunda dikuasai oleh Pajajaran yang dibantu Portugis, nasib Demak yang tergantung pada perdagangan laut tentunya juga sama dengan dicekik.
“Padahal Demak baru saja keluar dari musibah sisa-sisa perebutan hak waris kekuasaan,” demikian dikutip dari buku "Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi”.
Sultan Trenggono belum bisa melakukan tindakan apa pun. Tetapi kebetulan, di pihak Portugis pun ada masalah. Selain armada mereka mengalami dua kali gagal mendarat di Pelabuhan Kalapa karena badai laut, Alfonso d'Albouquerque pun meninggal dunia di Cuchin.
Hal ini membuat pada 1526 Demak dapat mengirimkan armada yang dipimpin oleh panglima, yaitu Fadhillah Khan, menantu Sunan Gunung Jati.
Dia adalah orang Cirebon menyebut Fadhillah sebagai Wong Agung Sabrang atau Tubagus Pase, lantaran berasal dari Pasai, yang pada tahun 1521 direbut oleh Portugis.Fadhillah adalah suami Ratu Ayu, anak perempuan Sunan Gunung Jati, janda Pangeran Sabrang Lor.
Selain itu, Fadhillah menikah dengan Ratu Nyawa, anak perempuan Sultan Al-Fatah atau Raden Patah (Demak), janda dari Bratakelana (anak laki-laki Sunan Gunung Jati). Fadhillah meninggal pada 1570, sedangkan Sunan Gunung Jati pada 1568.
Kerajaan Demak dan Cirebon kala itu mencoba merebut wilayah Banten. Apalagi saat itu anak perempuan Sunan Gunung Jati dari Kawungaten, konon dinobatkan sebagai Bupati Banten. Barulah pada tahun 1527, Banten mengambil alih Pelabuhan Kelapa.
Jadi, bukan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah yang mengambil Kalapa, melainkan Fadhillah, menantunya.
(ams)