Momen Belanda Intervensi Kebijakan Keraton Yogya usai Perlawanan Raden Ronggo

Sabtu, 05 Agustus 2023 - 06:39 WIB
loading...
Momen Belanda Intervensi Kebijakan Keraton Yogya usai Perlawanan Raden Ronggo
Penampakan Keraton Yogykarta Tahun 1890. Foto/Istimewa
A A A
Kematian Raden Ronggo Prawirodirjo III membuat Kesultanan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengkubuwono II diobok-obok oleh pemerintah kolonial Belanda. Perubahan radikal diajukan oleh Daendels, gubernur jenderal Belanda ke Keraton Yogyakarta.

Pada 23 Desember 1810, ia memanggil para Residen Belanda dan patih keraton-keraton ke Semarang dan memberitahukan kepada mereka rencananya untuk memaksa Sultan turun tahta, dan menyerahkan kekuasaan kepada Putra Mahkota sebagai Pangeran Wali.

Tiga hari kemudian, bersama pasukannya yang berkekuatan 3.200 serdadu, ia berderap menuju Yogya.

Peter Carey dalam “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785 – 1855” Daendels dan pasukannya sudah sampai di gerbang tolnya yang lama di jalan antara Tempel dan Pisangan, ketika kabar tewasnya Raden Ronggo sampai kepadanya.



Meskipun tidak perlu lagi mendatangi istana Sultan dengan kekuatan militer sebesar itu, marsekal tetap bersikeras maju terus.

Hal ini karena ia membutuhkan imbalan uang untuk membayar opsir-opsir dan bala tentaranya, yang dilanda desersi sampai 70 orang per hari akibat bayaran yang kurang.

Alhasil mereka diberikan imbalan uang sangat besar, wakil Daendels Van Braam menerima 10 ribu dolar Spanyol atau setara dengan satu juta dolar Amerika Serikat saat ini.



Pieter Engelhard dan Residen sebelumnya, Gustaf Wilhelm Wiese, keduanya ditugaskan bersama Van Braam, untuk memetakan garis demarkasi perbatasan baru antara wilayah pesisir dan kerajaan, masing - masing mendapat 5.000 dolar Spanyol (setengah juta dolar AS sekarang).

Panglima Komandan Ekspedisi, Brigadir Jenderal (pasca-1821, Letnan Jenderal) Hendrik Merkus de Kock yang menjabat pada 1779 - 1845), yang nanti akan kita jumpai lagi sebagai Panglima tertinggi bala tentara Belanda selama Perang Jawa, menerima jumlah yang sama.

Uang bayaran sebesar itu merupakan langkah pertama upaya pemiskinan kesultanan, suatu kondisi yang membuat mantan pejabat VOC, seperti Wouter Hendrik van Ijsseldijk yang menjabat pada 1757-1817, terkejut mengunjungi keraton-keraton setelah restorasi kekuasan Belanda di tahun 1816.



Daendels tiba di Yogya pada 28 Desember dan langsung menuju kediaman Residen, seraya memanggil Sultan untuk menemuinya di sana tanpa lebih dulu berkunjung ke keraton, sesuai adat kebiasaan yang berlaku. Sungguh suatu pelanggaran etika sopan santun yang sangat kasar.

Pangeran Diponegoro melukiskan bagaimana persiapan perlawanan militer dilakukan menyambut kedatangan Daendels dengan Sumodiningrat yang suka perang, berdiri paling depan, namun Sultan terlalu banyak pertimbangan untuk sesegera mungkin bertindak.

Pada 31 Desember tahun yang sama, Sultan setuju tanpa protes alias setuju dengan diam pada tuntutan gubernur jenderal.

Sultan menandatangani sebuah pernyataan yang menyerahkan pemerintahan Yogyakarta kepada putra mahkota, yang akan memerintah sebagai "Pangeran Wall" dengan menyandang gelar yang sudah ada sebelumnya, Raja Putro Narendro Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro.



Sepintas, Daendels seperti telah membuat revolusi politik dan ia langsung sesumbar kepada Dewan Hindia di Batavia bahwa “demikianlah yang terjadi”. Namun, dalam kenyataan tidak ada perubahan apa pun.

Sumber-sumber Jawa kemudian menjelaskan, bahwa Putra Mahkota bila bertindak tetaplah dengan seizin Sultan.

Memang secara pemerintahan putra mahkota Sultan Hamengkubuwono III ditunjuk sebagai penguasa dan Sultan Yogya, namun kekuasaan tertinggi masih di tangan sultan sepuh dalam hal ini Sultan Hamengkubuwono II.

Dia tetap memegang kendali di bidang keuangan dan tanah-tanah jabatan. Sultan juga masih tetap tinggal di keraton, sebuah konsesi yang disetujui Daendels atas permintaan langsung Putra Mahkota.
(ams)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1170 seconds (0.1#10.140)