Sejarah Batam, Gugusan Kepulauan yang Dihuni Manusia Sejak 231 Masehi

Jum'at, 30 Juni 2023 - 10:59 WIB
loading...
Sejarah Batam, Gugusan Kepulauan yang Dihuni Manusia Sejak 231 Masehi
Jembatan Barelang saat masih dalam proses pembangunan. Jembatan ini menjadi salah satu ikon Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Foto/Dok. bpbatam.go.id
A A A
Batam, gugusan kepulauan yang masuk dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), sejak dahulu kala sudah menjadi magnet yang bagi siapapun untuk mengunjunginya. Tak hanya keindahan alam, Batam juga menjadi tanah harapan untuk mengais rezeki.



Wilayahnya yang berbatasan langsung dengan Singapura, dan Malaysia, serta menjadi jalur laut internasional, membuat Batam menjadi salah satu kota internasional yang sibuk. Aktivitas perdagangan internasional, pergerakan manusia antar negara, hingga cerita pilu perdagangan manusia dan penyelundupan narkoba acap kali mewarnai kota kepulauan itu.



Keberadaan Batam, sebagai tempat aktivitas manusia ternyata sudah ada sejak tahun 231 Masehi. Dilansir dari disbud.kepriprov.go.id, catatan China menyebutkan, pada tahun 231 Masehi, Batam dan pulau sekitarnya sudah dihuni manusia.



Manusia yang hidup di pesisir Batam, serta pulau-pulau di sekitarnya, dikenal dengan sebutan Suku Laut atau orang selat. Sedangkan di daratan yang masih dalam bentuk hutan belantara, dihuni oleh Suku Sakai, dan Suku Jakun.

Pada masa itu, Batam, dan Tumasik yang kini Singapura, disebut sebagai Pulau Ujung. Penyebutan Pulau Ujung ini, didasarkan pada letak geografisnya yang berada di ujung semenanjung.

Dalam laman disbud.kepriprov.go.id disebutkan, keberadaan Batam dan kepulauan di sekitarnya, pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Melayu Singapura, Kemaharajaan Melayu Malaka, Kemaharajaan Melayu, dan Kerajaan Riau-Lingga.

Wilayah Batam, juga pernah menjadi wilayah langlang laut atau pengawalan Hang Nadim. Yakni pada saat awal Kemaharajaan Melayu. Hang Nadim, merupakan Lakasamana Melayu yang berkhidmat sejak masa Sultan Mahmud Syah I, dan Sultan Alauddin Riayat Syah II.

Sebagai Laksamana Laut, Hang Nadim memiliki tugas sangat berat, yakni membendung pengaruh bangsa asing terutama Portugis di Kepulauan Melayu. Dalam buku "Bercermin Sejarah Menyongsong Batam Masa Depan", disebutkan penduduk yang bermukim di Kepulauan Batam, berasal dari Jambi, dan tanah semenanjung Melayu atau Singapura serta Malaysia saat ini.



Kehadiran penduduk asal semenanjung Melayu dan Jambi di Batam tersebut, diduga sebagai dampak dari perang antara Johor dengan Jambi, pada sekitar abad 17 Masehi. Selain itu antara Batam, dengan semenanjung Melayu juga sangat dekat jaraknya, sehingga sangat dimungkinkan untuk terjadinya pergerakan manusia di dua wilayah tersebut.

Nama Batam Berasal dari Pulau Batang

Nama Batam, diduga berasal dari Pulau Batang. Dalam disbud.kepriprov.go.id disebutkan, menurut legenda hampir seluruh pantai di Batam, ditumbuhi batang pohon jenis tertentu yang khas. Pohon-pohon tersebut, dibutuhkan oleh para pelaut yang sering singgah untuk mengambilnya.

Versi lain menyebutkan, nama Batam berasal dari kata Batang yang memiliki arti Jembatan. Di mana wilayah tersebut dikenal sebagai jalur penghubung antara Pulau Bintang (Bintan), Pulau Bulang (Bulan), Lingga, hingga ke Tumasik, dan Johor.



Ada pula yang menyebutkan, bahwa nama Batam berasal dari nama perkampungan pertama di wilayah tersebut, yang disebut Batuampar. Dari nama Batuampar tersebut, akhirnya banyak disingkat dalam penyebutannya menjadi Batam.

Keberadaan kawasan kepulauan Batam, juga sudah ada dalam peta pelayaran VOC Belanda, tahun 1675. Dalam peta VOC Belanda tersebut, kawasan kepulauan Batam disebut dengan nama Pulau Batang. Nama Batam, juga banyak ditemukan dalam Traktat London 1824, dan dokumen Kerajaan Riau-Lingga.

Masa Pemerintahan di Batam

Keberadaan pemerintahan di Batam, diduga dimulai pada masa Kerajaan Riau-Lingga, saat di bawah kepemimpinan Raja Isa. Dedi Arman dalam tulisannya yang berjudul "Menulusuri Sejarah Awal Pemerintahan di Pulau Batam" menyebutkan, Raja Isa adalah keturunan Yang Dipertuan Muda Riau.

Tulisan Dedi Arman yang dipublikasikan dalam laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, juga menyebutkan, ayah Raja Isa adalah Raja Ali Marhum Pulau Bayan Yang Dipertuan Muda Riau V ibni Daeng Kamboja Yang Dipertuan Muda Riau III. Sedangkan Ibunya adalah Raja Buruk binti Raja Abdulsamad ibni Daeng Kamboja Engku Wok Engku Wuk.

Raja Isa disebut memiliki dua istri, dan memiliki beberapa anak, yakni Raja Yakup, Raja Idris, Raja Daud, dan Raja Husin. Dalam tulisannya, Dedi Arman mengungkap, Raja Isa dan keluarganya hidup menetap di Pulau Nongsa, dan Sungai Nongsa. Dikemudian hari, Raja Husin berpindah dan menetap di Pulau Penyengat.



Tulsain Dedi Arman juga mengungkap, keberadaan wilayah Nongsa, telah dicantumkan oleh J.G. Schot dalam peta Kepulauan Batam (De Battam Archipel) yang dipublikasikan pada tahun 1882.

Keberadaan Raja Isa di Nongsa, juga disebutkan dalam dua buah sumber Belanda, yakni Beknoopte Aantekening over het Eiland Bintang tahun 1833, dan Beknopte Aantekening van Het Eiland Bintang Nederlansch Etablissant en Eenige daar toe Behoorende Eilande tahun 1837.

Raja Isa disebut pernah memiliki kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan di Nongsa, di bawah perintah Sultan dan Yang Dipertuan Muda Riau. Tepatnya, lima tahun setelah Traktat London tahun 1824. Dia memerintah sampai wafat pada tahun 1831.

Setelah Raja Isa wafat, pemerintahan di Nongsa terus berkembang, hingga mencakup seluruh kawasan di Kepulauan Batam yang dipecah menjadi tiga bagian. Di mana setiap bagian disebut Wakilschap.

Tiga Wakilschap itu berada di bawah kendali Yang Dipertuan Muda Riau, Raja Muhammad Yusuf, dan berkedudukan di Pulau Penyengat. Wakilshap pertama adalah Wakilschap Nongsa, yang membentang dari muara Sungai Ladi di Pantai Utara Batam, hingga muara sungai Doeriankang, Kangboi, dan Asiamkang.



Wakilshcap kedua meliputi kawasan Pulau Buluh, Belakang Padang, Sambu, Bulang, Setoko, Rempang, dan Galang serta sebagian Pulau Batam. Wakilschap ketiga adalah Wakilschap Sulit, meliputi Pulau Cembul, Kepala Jeri, Kasu, Telaga Tujuh, Sugi, Moro, Sangla (Shalar), Sandam, Durai, serta Kateman.

Pada tahun 1895, sistem pemerintahan di Batam, mengalami perubahan. Sebagai wilayah Kerajaan Riau-Lingga, Batam yang sebelumnya dibagi dalam tiga Wakilschap, akhirnya dilebur menjadi dua wilayah pemerintahan yang dipimpin seorang yang bergelar Amir, dan seorang berpangkat Kepala.

Amir pertama di Batam, dijabat Tengku Umar bin Tengku Mahmud berkedudukan di Batam, yakni di Pulau Buluh. Hal ini didasarkan surat keputusan Kerajaan Riau-Lingga No. 12, hari Selasa tanggal 12 Rabi'ul-akhir 1313 Hijriyah, atau Selasa tanggal 1 Oktober 1895.

Sedangkan untuk daerah Nongsa, diangkat Raja Mahmud bin Raja Yakup sebagai wakil kerajaan berpangkat Kepala. Pengangkatan itu didasarkan surat keputusan Kerajaan Riau-Lingga No. 9 tanggal 11 Rabi'ul-akhir 1313 Hijriyah, atau Senin tanggal 30 September 1895.

Jabatan dan kedudukan Amir Batam, berlanjut hingga menjelang penghampusan Kerajaan Riau-Lingga oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1913. Secara resmi pemerintah Hindia Belanda baru menempatkan pegawai pemerintahan bangsa Eropa di Batam, Karimun, Daik, dan Bintan Utara pada tahun 1868.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1760 seconds (0.1#10.140)