Asal Usul dan Sejarah Pamekasan, Wilayah di Madura yang Jadi Pangkalan Pemberontak Mataram
loading...
A
A
A
Nama-nama kampung yang digunakan sampai saat ini juga menunjukkan fungsinya di masa kerajaan. Di antaranya Parteker (gelar tikar, untuk mengaji), Pangeranan (kediaman pangeran), Menggungan (kediaman tumenggung), Pongkoran (belakang keraton), Duko (pemukiman penduduk), Kolpajung (pembawa payung), Kowel (kawula kerajaan).
Panembahan Ronggosukowati memerintah sampai tahun 1616 dan digantikan oleh putranya Pangeran Jimat dan Pangeran Purboyo sebagai wali raja. Ronggosukowati meninggal pada tahun 1624 bersama hampir seluruh keluarga kerajaan dalam perang menghadang invasi Sultan Agung dari Mataram ke Pulau Madura.
Perlawanan terhadap kekuasaan Mataram di Madura di antaranya dilakukan oleh Pangeran Trunojoyo yang menjadikan Pamekasan sebagai pangkalan pemberontakan.
Pasukan Pangeran Trunojoyo berhasil menguasai ibukota Mataram pada 2 Juli 1677. Pemberontakan ini bisa dipatahkan oleh Mataram pada akhir 1679 dengan meminta bantuan Kongsi Dagang Belanda (VOC), dan Pangeran Trunojoyo dihukum mati pada 2 Januari 1680.
Kongsi Dagang Belanda (VOC) mulai menguasai wilayah Pamekasan pada tahun 1705-1706 sesuai perjanjian dengan Mataram.
Pada tahun 1743 VOC memindahkan keraton Pamekasan ke wilayah Bugih, yang hingga saat ini menjadi pendopo kabupaten. Sedangkan bekas keraton Mandhilaras dijadikan kompleks perkantoran atau loji VOC, dan kemudian menjadi kantor Residen Madura.
Pada masa VOC, Daendels (1808-1811), dan Raffles (1811-1816) bentuk kerajaan dipertahankan dan dikenakan sistem upeti.
Kemudian, pada tahun 1857 dibentuklah Karesidenan Madura dengan Pamekasan sebagai ibu kotanya dengan pejabat residen Belanda. Pada tahun 1928-1931 dibentuk Karesidenan Madura Timur meliputi Pamekasan dan Sumenep, beribukota di Pamekasan.
Pada tahun 1831 Belanda membentuk Korps Barisan Madura sebagai bagian dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang direkrut dari pribumi.
Bagi Belanda Pamekasan dianggap punya nilai ekonomis sebagai salah satu sentra garam di Madura. Para kolonial mengontrol langsung produksi dan memonopoli perdagangan garam, yang kerap memicu konflik dengan petani garam.
Panembahan Ronggosukowati memerintah sampai tahun 1616 dan digantikan oleh putranya Pangeran Jimat dan Pangeran Purboyo sebagai wali raja. Ronggosukowati meninggal pada tahun 1624 bersama hampir seluruh keluarga kerajaan dalam perang menghadang invasi Sultan Agung dari Mataram ke Pulau Madura.
Perlawanan terhadap kekuasaan Mataram di Madura di antaranya dilakukan oleh Pangeran Trunojoyo yang menjadikan Pamekasan sebagai pangkalan pemberontakan.
Pasukan Pangeran Trunojoyo berhasil menguasai ibukota Mataram pada 2 Juli 1677. Pemberontakan ini bisa dipatahkan oleh Mataram pada akhir 1679 dengan meminta bantuan Kongsi Dagang Belanda (VOC), dan Pangeran Trunojoyo dihukum mati pada 2 Januari 1680.
Kongsi Dagang Belanda (VOC) mulai menguasai wilayah Pamekasan pada tahun 1705-1706 sesuai perjanjian dengan Mataram.
Pada tahun 1743 VOC memindahkan keraton Pamekasan ke wilayah Bugih, yang hingga saat ini menjadi pendopo kabupaten. Sedangkan bekas keraton Mandhilaras dijadikan kompleks perkantoran atau loji VOC, dan kemudian menjadi kantor Residen Madura.
Pada masa VOC, Daendels (1808-1811), dan Raffles (1811-1816) bentuk kerajaan dipertahankan dan dikenakan sistem upeti.
Kemudian, pada tahun 1857 dibentuklah Karesidenan Madura dengan Pamekasan sebagai ibu kotanya dengan pejabat residen Belanda. Pada tahun 1928-1931 dibentuk Karesidenan Madura Timur meliputi Pamekasan dan Sumenep, beribukota di Pamekasan.
Pada tahun 1831 Belanda membentuk Korps Barisan Madura sebagai bagian dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang direkrut dari pribumi.
Bagi Belanda Pamekasan dianggap punya nilai ekonomis sebagai salah satu sentra garam di Madura. Para kolonial mengontrol langsung produksi dan memonopoli perdagangan garam, yang kerap memicu konflik dengan petani garam.