Asal Usul dan Sejarah Pamekasan, Wilayah di Madura yang Jadi Pangkalan Pemberontak Mataram

Jum'at, 24 Februari 2023 - 20:46 WIB
loading...
Asal Usul dan Sejarah...
Pamekasan merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Pulau Madura. Foto DOK ist
A A A
JAKARTA - Pamekasan merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Pulau Madura . Wilayah ini rupanya memiliki proses sejarah yang cukup panjang.

Menurut laman resmi Kabupaten Pamekasan, Wilayah Pamekasan sebelumnya dikenal sebagai Pamellengan atau Pamelingan, dengan rajanya Ki Wonorono, keturunan Wikramawardhana Raja Majapahit (1389-1429).

Setelah Kerajaan Majapahit mulai runtuh, Wilayah Pamelingan ini akhirnya melepaskan diri sekira tahun 1478.

Baca juga : Asal-usul dan Sejarah Keberadaan Kabupaten Klaten di Jawa Tengah

Pemerintahan Ki Wonorono ini lalu dilanjutkan oleh putrinya yaitu Nyi Banu (Ratu Pamelingan), selanjutnya oleh putra Nyi Banu yaitu Pangeran Bonorogo (Nugroho), dan putra Pangeran Bonorogo yaitu Raden Aryo Seno (Panembahan Ronggosukowati).

Hingga akhirnya ajaran Islam mulai masuk ke wilayah tersebut pada masa Walisanga. Disebarkan pertama oleh Aryo Menak Senoyo yang membuka wilayah Parupuh (Proppo).

Wilayah ini baru disebut sebagai Pamekasan setelah naik tahtanya Panembahan Ronggosukowati. Sesuai semboyan Mekkas Jatna Paksa Jenneng Dibi yang artinya memerintah dengan kemampuan sendiri.

Naik takhtanya Panembahan Ronggosukowati pada tanggal 3 November 1530 ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Pamekasan.

Baca juga : Asal Usul dan Sejarah Penyematan Nama Mojokerto, Daerah Hasil Perebutan 2 Kesultanan

Beliau mewariskan tata kota Pamekasan yang ada sampai saat ini. Seperti, Maseghit Ratoh di lokasi Masjid Agung Asy Syuhada, asrama tentara di area asrama A Kodim, seppir (penjara) di area asrama B Kodim, pasar di area Pasar Sore, dan jalan Se Jimat di area Monumen Arek Lancor.

Nama-nama kampung yang digunakan sampai saat ini juga menunjukkan fungsinya di masa kerajaan. Di antaranya Parteker (gelar tikar, untuk mengaji), Pangeranan (kediaman pangeran), Menggungan (kediaman tumenggung), Pongkoran (belakang keraton), Duko (pemukiman penduduk), Kolpajung (pembawa payung), Kowel (kawula kerajaan).

Panembahan Ronggosukowati memerintah sampai tahun 1616 dan digantikan oleh putranya Pangeran Jimat dan Pangeran Purboyo sebagai wali raja. Ronggosukowati meninggal pada tahun 1624 bersama hampir seluruh keluarga kerajaan dalam perang menghadang invasi Sultan Agung dari Mataram ke Pulau Madura.

Perlawanan terhadap kekuasaan Mataram di Madura di antaranya dilakukan oleh Pangeran Trunojoyo yang menjadikan Pamekasan sebagai pangkalan pemberontakan.

Pasukan Pangeran Trunojoyo berhasil menguasai ibukota Mataram pada 2 Juli 1677. Pemberontakan ini bisa dipatahkan oleh Mataram pada akhir 1679 dengan meminta bantuan Kongsi Dagang Belanda (VOC), dan Pangeran Trunojoyo dihukum mati pada 2 Januari 1680.

Kongsi Dagang Belanda (VOC) mulai menguasai wilayah Pamekasan pada tahun 1705-1706 sesuai perjanjian dengan Mataram.

Pada tahun 1743 VOC memindahkan keraton Pamekasan ke wilayah Bugih, yang hingga saat ini menjadi pendopo kabupaten. Sedangkan bekas keraton Mandhilaras dijadikan kompleks perkantoran atau loji VOC, dan kemudian menjadi kantor Residen Madura.

Pada masa VOC, Daendels (1808-1811), dan Raffles (1811-1816) bentuk kerajaan dipertahankan dan dikenakan sistem upeti.

Kemudian, pada tahun 1857 dibentuklah Karesidenan Madura dengan Pamekasan sebagai ibu kotanya dengan pejabat residen Belanda. Pada tahun 1928-1931 dibentuk Karesidenan Madura Timur meliputi Pamekasan dan Sumenep, beribukota di Pamekasan.

Pada tahun 1831 Belanda membentuk Korps Barisan Madura sebagai bagian dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang direkrut dari pribumi.

Bagi Belanda Pamekasan dianggap punya nilai ekonomis sebagai salah satu sentra garam di Madura. Para kolonial mengontrol langsung produksi dan memonopoli perdagangan garam, yang kerap memicu konflik dengan petani garam.

Masa pergerakan nasional mencatat peran putra Pamekasan, Mohammad Tabrani (1904-1984), seorang jurnalis dan tokoh Jong Java. Mohammad Tabrani menjadi Ketua Kongres Pemuda I pada tahun 1926 di Batavia.

Dalam kongres tersebut Tabrani mengusulkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, sedangkan Mohammad Yamin mengusulkan Bahasa Melayu.
(bim)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1600 seconds (0.1#10.140)