Kisah Sulthanah Shafiatuddin, Perempuan Pertama yang Memimpin Kerajaan Aceh
Rabu, 29 Desember 2021 - 05:01 WIB
Ini merupakan fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Bahkan, Aceh punya banyak lagi tokoh-tokoh pemimpin perempuan yang tidak melulu bertahta dengan label ratu atau sulthanah. Para wanita hebat asli tanah rencong ini bahkan tampil sebagai panglima perang dan memimpin perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah Belanda, yakni Laksamana Malahayati, Cut Meutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, Cutpo Fatimah, hingga tentunya Cut Nyak Dien yang masyhur itu.
Tantangan Berat Shafiatuddin
Sejarahwan Sher Banu A Latief Khan dalam tesisnya untuk London University “The Sultanahs of Aceh (2009)” menyebut, Shafiatuddin punya beban warisan kejayaan yang tergolong berat. Ayahnya, Iskandar Muda, adalah satu sultan paling berjaya dalam sejarah kesultanan.
Ia ternama dengan ekspedisi-ekspedisi militer yang berhasil meluaskan rentangan wilayah kerajaan Aceh dari pesisir Minangkabau hingga semenanjung Malaysia. Sepanjang masa kepemimpinan Iskandar Muda dari 1607 hingga 1936, Kesultanan Aceh mengalami kejayaan yang belum pernah mereka capai sebelumnya.
Kawasan Selat Malaka tengah tak jenak kala Safiatuddin naik singgasana. Perusahaan-perusahaan kolonialis dari Belanda dan Inggris sedang gencar-gencarnya merebutkan jalur dagang di Selat Malaka. Berbagai blokade jalur dagang dan pelabuhan dilakukan, darah-darah ditumpahkan.
Menurut Tiar Anwar Bachtiar, dosen Sejarah Islam pada STAI Persis Garut, Shafiatuddin tak ahli di bidang kemiliteran dan tak gemar berperang. Namun, ia mengkompensasi hal itu dengan diplomasi yang cermat. Membangun aliansi dan mencari dukungan untuk menghalau ancaman-ancaman terhadap kerajaan. Surat-surat Shafiatuddin untuk berbagai pihak banyak yang masih bertahan hingga saat ini dan menggambarkan kelihaiannya berdiplomasi.
Negara-negara Eropa seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda, dan Turki Utsmani, seluruhnya memiliki catatan tentang Shafiatuddin menyusul kebiasaannya bersurat tersebut. Kecakapannya berdiplomasi berhasil mencegah Aceh dirongrong kekuatan-kekuatan kolonialis selama 34 tahun masa pemerintahannya.
“Seperti yang dikata orang, ingatlah dua hal dalam hidup, yakni Tuhanmu dan kematian. Lupakan dua hal dalam hidup, yakni kebaikan yang telah engkau lakukan dan keburukan yang dilakukan orang-orang terhadapmu, agar kesadaranmu tetap jernih dan tenang,” tulisnya dalam surat kepada Gubernur Jenderal Batavia Joan Maetsuyker pada 1659 untuk menawarkan perdamaian dengan pihak Belanda.
Kendati dalam sejumlah kesempatan, Ratu juga tak ragu menggunakan jalan perang guna menegaskan kedaulatan wilayahnya. Dua peristiwa yang menggambarkan hal itu adalah saat Sultanah memerangi VOC di Perak dan pantai barat Sumatra karena menganggap VOC telah melanggar kedaulatan Aceh.
Sultanah juga dikenal karena mendorong kemajuan lewat budaya dan ilmu pengetahuan. Ia tercatat memajukan Jami’ Baiturrahman di Banda Aceh. Demikian juga dayah-dayah (pesantren-pesantren) di seluruh daerah wilayah kekuasaan Aceh. Di bantu Ar-Raniry dan Abdurrauf Singkil sebagai mufti kerajaan, Safiatuddin tercatat sebagai pemimpin yang adil dan cerdas.
Tantangan Berat Shafiatuddin
Sejarahwan Sher Banu A Latief Khan dalam tesisnya untuk London University “The Sultanahs of Aceh (2009)” menyebut, Shafiatuddin punya beban warisan kejayaan yang tergolong berat. Ayahnya, Iskandar Muda, adalah satu sultan paling berjaya dalam sejarah kesultanan.
Ia ternama dengan ekspedisi-ekspedisi militer yang berhasil meluaskan rentangan wilayah kerajaan Aceh dari pesisir Minangkabau hingga semenanjung Malaysia. Sepanjang masa kepemimpinan Iskandar Muda dari 1607 hingga 1936, Kesultanan Aceh mengalami kejayaan yang belum pernah mereka capai sebelumnya.
Kawasan Selat Malaka tengah tak jenak kala Safiatuddin naik singgasana. Perusahaan-perusahaan kolonialis dari Belanda dan Inggris sedang gencar-gencarnya merebutkan jalur dagang di Selat Malaka. Berbagai blokade jalur dagang dan pelabuhan dilakukan, darah-darah ditumpahkan.
Menurut Tiar Anwar Bachtiar, dosen Sejarah Islam pada STAI Persis Garut, Shafiatuddin tak ahli di bidang kemiliteran dan tak gemar berperang. Namun, ia mengkompensasi hal itu dengan diplomasi yang cermat. Membangun aliansi dan mencari dukungan untuk menghalau ancaman-ancaman terhadap kerajaan. Surat-surat Shafiatuddin untuk berbagai pihak banyak yang masih bertahan hingga saat ini dan menggambarkan kelihaiannya berdiplomasi.
Negara-negara Eropa seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda, dan Turki Utsmani, seluruhnya memiliki catatan tentang Shafiatuddin menyusul kebiasaannya bersurat tersebut. Kecakapannya berdiplomasi berhasil mencegah Aceh dirongrong kekuatan-kekuatan kolonialis selama 34 tahun masa pemerintahannya.
“Seperti yang dikata orang, ingatlah dua hal dalam hidup, yakni Tuhanmu dan kematian. Lupakan dua hal dalam hidup, yakni kebaikan yang telah engkau lakukan dan keburukan yang dilakukan orang-orang terhadapmu, agar kesadaranmu tetap jernih dan tenang,” tulisnya dalam surat kepada Gubernur Jenderal Batavia Joan Maetsuyker pada 1659 untuk menawarkan perdamaian dengan pihak Belanda.
Kendati dalam sejumlah kesempatan, Ratu juga tak ragu menggunakan jalan perang guna menegaskan kedaulatan wilayahnya. Dua peristiwa yang menggambarkan hal itu adalah saat Sultanah memerangi VOC di Perak dan pantai barat Sumatra karena menganggap VOC telah melanggar kedaulatan Aceh.
Sultanah juga dikenal karena mendorong kemajuan lewat budaya dan ilmu pengetahuan. Ia tercatat memajukan Jami’ Baiturrahman di Banda Aceh. Demikian juga dayah-dayah (pesantren-pesantren) di seluruh daerah wilayah kekuasaan Aceh. Di bantu Ar-Raniry dan Abdurrauf Singkil sebagai mufti kerajaan, Safiatuddin tercatat sebagai pemimpin yang adil dan cerdas.
Lihat Juga :
tulis komentar anda