Kisah Sulthanah Shafiatuddin, Perempuan Pertama yang Memimpin Kerajaan Aceh

Rabu, 29 Desember 2021 - 05:01 WIB
loading...
Kisah Sulthanah Shafiatuddin, Perempuan Pertama yang Memimpin Kerajaan Aceh
Sulthanah Shafiatuddin, perempuan pertama yang memimpin Kerajaan Aceh.Foto/ist
A A A
Nama perempuan Aceh seperti Cut Nyak Dien, Laksamana Malahayati, dan Cut Muetia, sudah terbukti perjuanganya di Serambi Mekah. Tapi mereka bukan satu-satunya wanita hebat di negeri rencong. Jauh sebelum nama-nama besar itu muncul, Aceh sudah punya sosok perempuan hebat bernama Sulthanah Shafiatuddin.

Dia merupakan pemimpin perempuan pertama di Kerajaan Aceh Darussalam. Kehadiran pemimpin perempuan saat itu memunculkan pro dan kontra. Namun, ketika sang suami, Sultan Iskandar Tsani, wafat, sangat sulit untuk mencari penggantinya. Apalagi di jalur keluarga Sultan Iskandar Tsani, tidak ada keturunan laki-laki.

Baca juga: Kharisma Ratu Shima, Disegani dan Adil Perintahkan Putranya Dihukum Potong Tangan

Mengutip nu.online.id, untuk menggantikan Sultan Iskandar Tsani yang mangkat, muncul pertimbangan mengangkat sang istri, Ratu Shafiatuddin Syah sebagai Sulthanah di Kerajaan Aceh Darussalam yang pernah dipimpin Sultan Iskandar Muda memimpin Aceh sejak 1607-1636, sang ayah Shafiatuddin Syah. Dia merupakan putri tertua Raja yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam di era 1636-1641 tersebut.

Sultan Iskandar Muda yang wafat pada 1636 tidak mempunyai putra mahkota dan digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani, menantunya. Iskandar Tsani adalah putra Sultan Ahmad Syah, Sultan Pahang (kini wilayah Malaysia) yang menikah dengan Shafiatuddin Syah setelah Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang pada 1617.

Era Sultan Iskandar Tsani tidak lama, yaitu 1636-1641 yang juga merupakan tahun kematiannya. Situasi politik yang mendesak saat itu kemudian menempatkan Shafiatuddin sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam berikutnya dengan gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.

Debat soal boleh tidaknya pemimpin perempuan dalam pemerintahan Islam ternyata sudah terjadi ketika Ratu Shafiatuddin diajukan untuk memimpin Kerajaan Aceh Darussalam. Ada sejumlah kalangan yang tidak setuju atas naik tahtanya Ratu Safiatuddin. Terjadilah beberapa kali aksi pemberontakan juga upaya pengkhianatan untuk mendongkel kepemimpinan sang ratu.

Kondisi saat itu bertambah rumit bagi dirinya karena Sulthanah Shafiatuddin juga harus menghadapi ancaman eksternal seiring menguatnya pengaruh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) setelah berhasil merebut Malaka dari Portugis pada awal tahun 1641.

Pengangkatan Shafiatuddin pemimpin Kerajaan Aceh bukan tanpa pertimbangan matang. Shafiatuddin dinilai pantas menduduki tahta kerajaan yang ditinggalkan suaminya karena dia memiliki visi cemerlang dalam menyebarkan Islam serta mengembangkan kebudayaan dan seni dalam masyarakat Islam di Aceh.

Tidak banyak yang tahu apabila pemilik nama asli Putri Sri Alam ini merupakan sultanah pertama yang memimpin kerajaan Islam Aceh Darusalam. Masa kepemimpinannya pun tidak main-main untuk sosok perempuan, yakni 31 tahun mulai dari tahun 1644-1675.

Baca juga: Dyah Pitaloka Citraresmi dan Tudingan Penyebab Perang Bubat Melawan Majapahit

Kepemimpinannya tak kalah dengan raja-raja sebelumnya yang notabene seorang laki-laki. Terbukti ketika tahun 1639 terjadi Perang Malaka, Sulthanah Shafiatuddin membentuk sebuah barisan perempuan untuk menguatkan benteng istana.

Banyak kebijakan bernilai positif yang dilakukan oleh ratu yang mempunyai nama asli Putri Sri Alam ini. Ia terbilang sukses membangkitkan kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam yang mengalami periode gemilang pada era kepemimpinan sang ayah, Sultan Iskandar Muda, dan sempat redup semasa dipimpin oleh sang suami, Sultan Iskandar Tsani.

Salah satu yang terkenal adalah tentang tradisi pemberian hadiah berupa tanah untuk pahlawan perang. Masa pemerintahan Sulthanah Shafiatuddin pun dinilai sangat bijak, di mana menyoal hukum serta adat istiadat dijalankan dengan baik. Dari visi infrastruktur adat istiadat inilah muncul pengembangan seni, budaya, dan ilmu pengetahuan di era kepemimpinanya.

Selain itu, Ratu Shafiatuddin berhasil mempertahankan hubungan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan lain sehingga nama besar Kesultanan Aceh Darussalam tetap terjaga. Tak hanya itu, di masa kekuasaannya, Aceh Darussalam mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, agama, hukum, seni dan budaya, hingga ilmu pengetahuan seperti dijelaskan sebelumnya.

Sulthanah Safiatuddin bertahta hingga wafat pada 1675. Sepeninggal sang ratu pertama itu, Kesultanan Aceh Darussalam masih dipimpin oleh para perempuan tangguh sampai 24 tahun setelahnya, yaitu berturut-turut Sulthanah Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678), Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), sampai masa pemerintahan Sultanah Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).

Perihal pengangkatan ketiga perempuan tersebut, uniknya hal itu merupakan gebrakan baru dalam kerajaan Islam. Dikarenakan Sulthanah Shafiatuddin tidak memiliki keturunan, sang ratu akhirnya mengangkat tiga orang perempuan tersebut untuk meneruskan tahtanya. Ketiga perempuan itu justru bukan berasal dari keturunan ningrat atau bangsawan Aceh, melainkan kalangan biasa.

Setelah Shafiatuddin, Aceh pun dipimpin oleh ketiga sosok perempuan itu. Kendati tidak semua ratu sanggup membawa Kesultanan Aceh Darussalam merasakan era emas seperti pada masa Sultan Iskandar Muda dan Sulthanah Shafiatuddin, Serambi Mekkah yang menerapkan syariat Islam pernah memiliki rekam sejarah gemilang di bawah kepemimpinan perempuan.

Ini merupakan fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Bahkan, Aceh punya banyak lagi tokoh-tokoh pemimpin perempuan yang tidak melulu bertahta dengan label ratu atau sulthanah. Para wanita hebat asli tanah rencong ini bahkan tampil sebagai panglima perang dan memimpin perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah Belanda, yakni Laksamana Malahayati, Cut Meutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, Cutpo Fatimah, hingga tentunya Cut Nyak Dien yang masyhur itu.

Tantangan Berat Shafiatuddin

Sejarahwan Sher Banu A Latief Khan dalam tesisnya untuk London University “The Sultanahs of Aceh (2009)” menyebut, Shafiatuddin punya beban warisan kejayaan yang tergolong berat. Ayahnya, Iskandar Muda, adalah satu sultan paling berjaya dalam sejarah kesultanan.

Ia ternama dengan ekspedisi-ekspedisi militer yang berhasil meluaskan rentangan wilayah kerajaan Aceh dari pesisir Minangkabau hingga semenanjung Malaysia. Sepanjang masa kepemimpinan Iskandar Muda dari 1607 hingga 1936, Kesultanan Aceh mengalami kejayaan yang belum pernah mereka capai sebelumnya.

Kawasan Selat Malaka tengah tak jenak kala Safiatuddin naik singgasana. Perusahaan-perusahaan kolonialis dari Belanda dan Inggris sedang gencar-gencarnya merebutkan jalur dagang di Selat Malaka. Berbagai blokade jalur dagang dan pelabuhan dilakukan, darah-darah ditumpahkan.

Menurut Tiar Anwar Bachtiar, dosen Sejarah Islam pada STAI Persis Garut, Shafiatuddin tak ahli di bidang kemiliteran dan tak gemar berperang. Namun, ia mengkompensasi hal itu dengan diplomasi yang cermat. Membangun aliansi dan mencari dukungan untuk menghalau ancaman-ancaman terhadap kerajaan. Surat-surat Shafiatuddin untuk berbagai pihak banyak yang masih bertahan hingga saat ini dan menggambarkan kelihaiannya berdiplomasi.

Negara-negara Eropa seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda, dan Turki Utsmani, seluruhnya memiliki catatan tentang Shafiatuddin menyusul kebiasaannya bersurat tersebut. Kecakapannya berdiplomasi berhasil mencegah Aceh dirongrong kekuatan-kekuatan kolonialis selama 34 tahun masa pemerintahannya.

“Seperti yang dikata orang, ingatlah dua hal dalam hidup, yakni Tuhanmu dan kematian. Lupakan dua hal dalam hidup, yakni kebaikan yang telah engkau lakukan dan keburukan yang dilakukan orang-orang terhadapmu, agar kesadaranmu tetap jernih dan tenang,” tulisnya dalam surat kepada Gubernur Jenderal Batavia Joan Maetsuyker pada 1659 untuk menawarkan perdamaian dengan pihak Belanda.

Kendati dalam sejumlah kesempatan, Ratu juga tak ragu menggunakan jalan perang guna menegaskan kedaulatan wilayahnya. Dua peristiwa yang menggambarkan hal itu adalah saat Sultanah memerangi VOC di Perak dan pantai barat Sumatra karena menganggap VOC telah melanggar kedaulatan Aceh.

Sultanah juga dikenal karena mendorong kemajuan lewat budaya dan ilmu pengetahuan. Ia tercatat memajukan Jami’ Baiturrahman di Banda Aceh. Demikian juga dayah-dayah (pesantren-pesantren) di seluruh daerah wilayah kekuasaan Aceh. Di bantu Ar-Raniry dan Abdurrauf Singkil sebagai mufti kerajaan, Safiatuddin tercatat sebagai pemimpin yang adil dan cerdas.

Shafiatuddin juga disebut tak sedemikian represif terhadap para penentangnya. Tiar menuliskan, para ulama yang sempat menolak kepemimpinannya, yang jumlahnya sekira 300 orang, dibiarkan pindah dari Banda Aceh untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Di antaranya, Syekh Abdul Wahhab diizinkan hijrah ke Tiro dan mendirikan dayah di sana. Dayah Syekh Abdul Wahhab ini berkembang sangat pesat menjadi salah satu dayah terbesar di Aceh. Shafiatuddin tidak mengganggu perkembangan dayah ini walaupun pendirinya berseberangan dengannya.

Shafiatuddin berpulang pada 1675 pada usia 63 tahun. Pemerintahannya yang relatif tenteram membuat para tokoh tak ragu kembali menunjuk seorang perempuan guna memimpin kesultanan, yaitu Putri Naqiah. (diolah dari berbagai sumber)
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5591 seconds (0.1#10.140)