Danau Rayo, Legenda Pemuda Buruk Rupa Sakti Mandraguna
Senin, 25 Mei 2020 - 05:00 WIB
Kepada warga yang sedang berkumpul itu, bujang kurang mengatakan akan pergi dari desa tersebut jika warga bersedia memenuhi tantangannya, yakni mencabut tujuh batang lidi yang ditancapkan di tanah.
Sambil tertawa merendahkan, semua penduduk setuju. Namun satu – persatu pemuda dan warga desa lainnya tidak ada yang sanggup mencabutnya.
Hingga akhirnya bujang kurap mendekati lidi tersebut sambil berkata, jangan pernah menghina sesama manusia.
Jangan menilai seseorang hanya dari rupa. Karena manusia pada hakekatnya sama dan saling membantu dan membutuhkan.
Setelah itu, dengan kesaktiannya lidi tersebut dicabut dan keluar air dari tana bekas lidi ditancapkan.
Tanah tersebut terus memancarkan air hingga terjadi banjir yang menenggelamkan semua yang ada dan kampung tersebut berubah menjadi sebuah danau, yakni Danau Rayo.
Warga kampung tenggelam ke dasar danau, dan Bujang Kurap hilang entah kemana. Sementara perempuan tua yang menjadi ibu angkatnya telah disiapkan rakit yang konon menjadi batu yang saat ini ada di danau tersebut.
Menurut legenda itu, bujang kurap kembali mengubah dirinya menjadi rupa asalnya yakni pria yang tampan dan melanjutkan pengembaraanya hingga sampai ke perkampungan yang kini daerah Ulak Lebar di kaki Bukit Sulap Kota Lubuklinggau. Ada sejumlah makam tua di tempat tersebut yang kononnya salah satunya bujang kurap.
Begitulah legenda bujang kurap hingga terbentuknya Danau Rayo. Cerita rakyat ini mengandung nasehat untuk tidak melupakan kebaikan orang lain. Tidak menilai orang lain dengan rupa, namun kebaikan hati yang paling utama.
Kini Danau Rayo terus dikembangkan bahkan menjadi tempat wisata bagi peserta MTQ tingkat Provinsi Sumsel yang pernah digelar di Muratara. Di sekitar Danau Rayo atau Desa Sungai Jernih hingga saat ini masih terdapat manusia rimba atau suku anak dalam (SAD) yang hidup dengan caranya namun harmonis dengan masyarakat sekitar.
Sambil tertawa merendahkan, semua penduduk setuju. Namun satu – persatu pemuda dan warga desa lainnya tidak ada yang sanggup mencabutnya.
Hingga akhirnya bujang kurap mendekati lidi tersebut sambil berkata, jangan pernah menghina sesama manusia.
Jangan menilai seseorang hanya dari rupa. Karena manusia pada hakekatnya sama dan saling membantu dan membutuhkan.
Setelah itu, dengan kesaktiannya lidi tersebut dicabut dan keluar air dari tana bekas lidi ditancapkan.
Tanah tersebut terus memancarkan air hingga terjadi banjir yang menenggelamkan semua yang ada dan kampung tersebut berubah menjadi sebuah danau, yakni Danau Rayo.
Warga kampung tenggelam ke dasar danau, dan Bujang Kurap hilang entah kemana. Sementara perempuan tua yang menjadi ibu angkatnya telah disiapkan rakit yang konon menjadi batu yang saat ini ada di danau tersebut.
Menurut legenda itu, bujang kurap kembali mengubah dirinya menjadi rupa asalnya yakni pria yang tampan dan melanjutkan pengembaraanya hingga sampai ke perkampungan yang kini daerah Ulak Lebar di kaki Bukit Sulap Kota Lubuklinggau. Ada sejumlah makam tua di tempat tersebut yang kononnya salah satunya bujang kurap.
Begitulah legenda bujang kurap hingga terbentuknya Danau Rayo. Cerita rakyat ini mengandung nasehat untuk tidak melupakan kebaikan orang lain. Tidak menilai orang lain dengan rupa, namun kebaikan hati yang paling utama.
Kini Danau Rayo terus dikembangkan bahkan menjadi tempat wisata bagi peserta MTQ tingkat Provinsi Sumsel yang pernah digelar di Muratara. Di sekitar Danau Rayo atau Desa Sungai Jernih hingga saat ini masih terdapat manusia rimba atau suku anak dalam (SAD) yang hidup dengan caranya namun harmonis dengan masyarakat sekitar.
tulis komentar anda