Danau Rayo, Legenda Pemuda Buruk Rupa Sakti Mandraguna
loading...
A
A
A
MURATARA - Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) merupakan daerah otonomi paling barat Sumsel. Pecahan dari Kabupaten Musi Rawas ini memiliki objek wisata indah dan alami yang saat ini tengah dikembangkan untuk menjadi objek wisata andalan.
Namanya Danau Rayo, terletak di Desa Sungai Jernih, Kecamatan Rupit, Kabupaten Muratara. Danau ini memiliki panorama yang sangat mempesona, digenangi air sangat jernih sehingga dapat terlihat dasar dan ikan – ikan.
Dikelilingi oleh rimbunnya pohon-pohon dan kicauan burung dan harumnya daun yang berada di pinggir danau.
Danau Raya berjarak hanya sekitar 15 menit perjalanan dari Kecamatan Rupit, ibukota Muratara. Atau sekitar 80 kilometer dari Kota Lubuklinggau.
Selain itu juga Danau Rayo mempunyai legenda bahkan mistis yang di tengah warga Muratara, hingga Musi Rawas dan Lubuklinggau.
Apalagi bagi penduduk asli setempat. Kisah tersebut telah menjadi legenda, dan kisah Bujang Kurap telah beberapa kali diangkat dalam film di televisi.
Memang tidak sedikit versi dari kisah Bujang Kurap atau pemuda buruk rupa ini. Sama seperti legenda lainnya, kisah Bujang Kurap memiliki nasehat yakni untuk tidak menilai seseorang hanya dengan fisik atau penampilan. Kisah ini mengajarkan untuk saling menghargai.
Dikisahkan, pada zaman dahulu hiduplah seorang pemuda yang tampan, namun juga sakti mandraguna. Ada yang menyebutkan pemuda ini masih keturunan dari Si Pahit Lidah, tokoh sakti yang terkenal dengan kutukannya.
Namun ada juga yang mengisahkan pemuda ini keturunan raja di Minangkabau yang sedang mengembara. Pemuda tampan mengembara dari desa ke desa.
Di setiap desa yang disinggahinya, pemuda ini membantu warga sekitar baik pertanian hingga melatih bela diri kuntau (sejenis silat).
Setelah kampung atau desa tersebut makmur, pemuda ini melanjutkan pengembaraannya hingga singgah di daerah yang bernama Karang Panggung Lamo, konon cikal bakal Desa Desa Sungai Jernih.
Pemuda tampan itu memutuskan untuk menetap di desa tersebut, dan mempunyai ibu angkat seorang perempuan tua yang hidup sendirian.
Perempuan sebatang kara itu baik hati dan tinggal di rumah yang sedehana agak jauh dari rumah penduduk lainnya.
Perempuan tua itu sangat senang karena memilik anak yang rajin dan sangat baik. Lama – kelamaan kehadiran pemuda ini diketahui penduduk lainnya.
Muda dan mudi setempat juga berdatangan dan mereka menyukai pemuda yang tampan dan baik itu. Kehadiran pemuda itu akhirnya berdampak ke ibu angkatnya yang mendapatkan bantuan dari penduduk lainnya.
Beberapa perempuan juga ada yang jatuh hati ke pemuda yang tampan dan baik itu. Bahkan ada yang bersaing untuk mendapatkan hati pemuda tampan dan baik hati, sehingga menimbulkan persaingan dan keresahan penduduk.
Kemudian pemuda tersebut dengan kesaktiannya mengubah dirinya menjadi pemuda buruk rupa, dipenuhi penyakit kulit yakni kurap dan mengeluarkan bau tak sedap.
Benar saja, semua warga menjauh dan merendahkannya. Bahkan, pernah si Bujang Kurap lewat diludahi oleh warga. Kebaikannya yang sering membantu warga semuanya sirna tanpa bekas.
Hingga suatu ketika salah satu kembang kampung menikah. Bujang kurap datang hendak menemui mempelai wanita. Namun apa daya, tidak hanya ditolak, bujang kurap diusir dan direndahkan.
Kepada warga yang sedang berkumpul itu, bujang kurang mengatakan akan pergi dari desa tersebut jika warga bersedia memenuhi tantangannya, yakni mencabut tujuh batang lidi yang ditancapkan di tanah.
Sambil tertawa merendahkan, semua penduduk setuju. Namun satu – persatu pemuda dan warga desa lainnya tidak ada yang sanggup mencabutnya.
Hingga akhirnya bujang kurap mendekati lidi tersebut sambil berkata, jangan pernah menghina sesama manusia.
Jangan menilai seseorang hanya dari rupa. Karena manusia pada hakekatnya sama dan saling membantu dan membutuhkan.
Setelah itu, dengan kesaktiannya lidi tersebut dicabut dan keluar air dari tana bekas lidi ditancapkan.
Tanah tersebut terus memancarkan air hingga terjadi banjir yang menenggelamkan semua yang ada dan kampung tersebut berubah menjadi sebuah danau, yakni Danau Rayo.
Warga kampung tenggelam ke dasar danau, dan Bujang Kurap hilang entah kemana. Sementara perempuan tua yang menjadi ibu angkatnya telah disiapkan rakit yang konon menjadi batu yang saat ini ada di danau tersebut.
Menurut legenda itu, bujang kurap kembali mengubah dirinya menjadi rupa asalnya yakni pria yang tampan dan melanjutkan pengembaraanya hingga sampai ke perkampungan yang kini daerah Ulak Lebar di kaki Bukit Sulap Kota Lubuklinggau. Ada sejumlah makam tua di tempat tersebut yang kononnya salah satunya bujang kurap.
Begitulah legenda bujang kurap hingga terbentuknya Danau Rayo. Cerita rakyat ini mengandung nasehat untuk tidak melupakan kebaikan orang lain. Tidak menilai orang lain dengan rupa, namun kebaikan hati yang paling utama.
Kini Danau Rayo terus dikembangkan bahkan menjadi tempat wisata bagi peserta MTQ tingkat Provinsi Sumsel yang pernah digelar di Muratara. Di sekitar Danau Rayo atau Desa Sungai Jernih hingga saat ini masih terdapat manusia rimba atau suku anak dalam (SAD) yang hidup dengan caranya namun harmonis dengan masyarakat sekitar.
Namanya Danau Rayo, terletak di Desa Sungai Jernih, Kecamatan Rupit, Kabupaten Muratara. Danau ini memiliki panorama yang sangat mempesona, digenangi air sangat jernih sehingga dapat terlihat dasar dan ikan – ikan.
Dikelilingi oleh rimbunnya pohon-pohon dan kicauan burung dan harumnya daun yang berada di pinggir danau.
Danau Raya berjarak hanya sekitar 15 menit perjalanan dari Kecamatan Rupit, ibukota Muratara. Atau sekitar 80 kilometer dari Kota Lubuklinggau.
Selain itu juga Danau Rayo mempunyai legenda bahkan mistis yang di tengah warga Muratara, hingga Musi Rawas dan Lubuklinggau.
Apalagi bagi penduduk asli setempat. Kisah tersebut telah menjadi legenda, dan kisah Bujang Kurap telah beberapa kali diangkat dalam film di televisi.
Memang tidak sedikit versi dari kisah Bujang Kurap atau pemuda buruk rupa ini. Sama seperti legenda lainnya, kisah Bujang Kurap memiliki nasehat yakni untuk tidak menilai seseorang hanya dengan fisik atau penampilan. Kisah ini mengajarkan untuk saling menghargai.
Dikisahkan, pada zaman dahulu hiduplah seorang pemuda yang tampan, namun juga sakti mandraguna. Ada yang menyebutkan pemuda ini masih keturunan dari Si Pahit Lidah, tokoh sakti yang terkenal dengan kutukannya.
Namun ada juga yang mengisahkan pemuda ini keturunan raja di Minangkabau yang sedang mengembara. Pemuda tampan mengembara dari desa ke desa.
Di setiap desa yang disinggahinya, pemuda ini membantu warga sekitar baik pertanian hingga melatih bela diri kuntau (sejenis silat).
Setelah kampung atau desa tersebut makmur, pemuda ini melanjutkan pengembaraannya hingga singgah di daerah yang bernama Karang Panggung Lamo, konon cikal bakal Desa Desa Sungai Jernih.
Pemuda tampan itu memutuskan untuk menetap di desa tersebut, dan mempunyai ibu angkat seorang perempuan tua yang hidup sendirian.
Perempuan sebatang kara itu baik hati dan tinggal di rumah yang sedehana agak jauh dari rumah penduduk lainnya.
Perempuan tua itu sangat senang karena memilik anak yang rajin dan sangat baik. Lama – kelamaan kehadiran pemuda ini diketahui penduduk lainnya.
Muda dan mudi setempat juga berdatangan dan mereka menyukai pemuda yang tampan dan baik itu. Kehadiran pemuda itu akhirnya berdampak ke ibu angkatnya yang mendapatkan bantuan dari penduduk lainnya.
Beberapa perempuan juga ada yang jatuh hati ke pemuda yang tampan dan baik itu. Bahkan ada yang bersaing untuk mendapatkan hati pemuda tampan dan baik hati, sehingga menimbulkan persaingan dan keresahan penduduk.
Kemudian pemuda tersebut dengan kesaktiannya mengubah dirinya menjadi pemuda buruk rupa, dipenuhi penyakit kulit yakni kurap dan mengeluarkan bau tak sedap.
Benar saja, semua warga menjauh dan merendahkannya. Bahkan, pernah si Bujang Kurap lewat diludahi oleh warga. Kebaikannya yang sering membantu warga semuanya sirna tanpa bekas.
Hingga suatu ketika salah satu kembang kampung menikah. Bujang kurap datang hendak menemui mempelai wanita. Namun apa daya, tidak hanya ditolak, bujang kurap diusir dan direndahkan.
Kepada warga yang sedang berkumpul itu, bujang kurang mengatakan akan pergi dari desa tersebut jika warga bersedia memenuhi tantangannya, yakni mencabut tujuh batang lidi yang ditancapkan di tanah.
Sambil tertawa merendahkan, semua penduduk setuju. Namun satu – persatu pemuda dan warga desa lainnya tidak ada yang sanggup mencabutnya.
Hingga akhirnya bujang kurap mendekati lidi tersebut sambil berkata, jangan pernah menghina sesama manusia.
Jangan menilai seseorang hanya dari rupa. Karena manusia pada hakekatnya sama dan saling membantu dan membutuhkan.
Setelah itu, dengan kesaktiannya lidi tersebut dicabut dan keluar air dari tana bekas lidi ditancapkan.
Tanah tersebut terus memancarkan air hingga terjadi banjir yang menenggelamkan semua yang ada dan kampung tersebut berubah menjadi sebuah danau, yakni Danau Rayo.
Warga kampung tenggelam ke dasar danau, dan Bujang Kurap hilang entah kemana. Sementara perempuan tua yang menjadi ibu angkatnya telah disiapkan rakit yang konon menjadi batu yang saat ini ada di danau tersebut.
Menurut legenda itu, bujang kurap kembali mengubah dirinya menjadi rupa asalnya yakni pria yang tampan dan melanjutkan pengembaraanya hingga sampai ke perkampungan yang kini daerah Ulak Lebar di kaki Bukit Sulap Kota Lubuklinggau. Ada sejumlah makam tua di tempat tersebut yang kononnya salah satunya bujang kurap.
Begitulah legenda bujang kurap hingga terbentuknya Danau Rayo. Cerita rakyat ini mengandung nasehat untuk tidak melupakan kebaikan orang lain. Tidak menilai orang lain dengan rupa, namun kebaikan hati yang paling utama.
Kini Danau Rayo terus dikembangkan bahkan menjadi tempat wisata bagi peserta MTQ tingkat Provinsi Sumsel yang pernah digelar di Muratara. Di sekitar Danau Rayo atau Desa Sungai Jernih hingga saat ini masih terdapat manusia rimba atau suku anak dalam (SAD) yang hidup dengan caranya namun harmonis dengan masyarakat sekitar.
(boy)