Menyuarakan Persatuan Dinilai Efektif Mencegah Paham Radikalisme
Selasa, 06 April 2021 - 20:49 WIB
JAKARTA - Dalam hal penanganan terorisme di Indonesia, organisasi pemerintahan lebih bertanggungjawab, tetapi organisasi lainnya seperti kepemudaan lebih bersifat preventif. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum PB HMI, Raihan Ariatama dalam acara diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI) bertema Mencari Akar dan Menemukan Format Ideal Penanganan Terorisme di Indonesia, Senin (5/4/2021).
"Organisasi seperti kami lebih kepada tindakan preventif. HMI mewacanakan memberikan pemahaman tentang ajaran Islam moderat dan Islam yang damai. Kami bertanggung jawab untuk menyebarkan itu untuk mengimbangi isu tersebut di media sosial. Kami juga berharap kepada pemerintah bahwasanya organisasi yang menjunjung tinggi kebhinekaan diberikan ruang lebih banyak," ujar Raihan.
Ia memandang bahwa ada kelengahan organisasi masyarakat yang memberikan ruang lebih kepada orang yang punya niatan untuk memecah belah. Sasaran mereka adalah kaum milenial karena anak muda ini sedang mencari jatidiri sehingga usia itu sangat rentan.
"Anak muda kita jangan sampai terpengaruh oleh ajaran mereka yang ingin memecah belah. Ini menjadi PR kita bersama dan anak muda kita harus diberikan pemahaman yang lebih dengan mengedepankan sisi keagamaan dan perdamaian," tambahnya.
Ketua Bidang Hubungan Internasional GMKI, Fawer Sihite menjelaskan, teror yang telah terjadi sejak 1981 ada sekitar 50 kasus terorisme. Menurutnya, sistem dan regulasi yang sudah ada sebenarnya cukup jelas bahwa lembaga memiliki kewenangan dalam menangani terorisme.
"GMKI selalu konsisten menyuarakan persatuan dan kebangsaan ditengah kaderisasi kita dengan aktif membuat kegiatan untuk menanamkan pemahaman. Perlu ada penanaman budaya sejak usia dini secara konsisten dan tersistem," ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Najih Prastiyo, Ketua Umum IMM menilai bahwa upaya melawan radikalisme dengan cara radikal hanya akan menimbulkan efek domino. Konsep ini justru akan menambah daftar panjang radikalisme di Indonesia. Baca: Letusan Tembakan dan Aksi Kejar-kejaran Warnai Penangkapan Kapal Ikan Vietnam.
"Ada kecenderungan pelaku teror adalah anak muda dan bisa jadi kelompok muda ini gagap dalam membaca kondisi saat ini. Dalam konteks media sosial, kita sering alpa dalam melahirkan motivator baru. Ini juga yang perlu dipersiapkan oleh kita," ungkapnya.
Pengamat Hasibullah Satrawi berpendapat, salah satu kunci untuk bisa menuju kesana adalah kita harus mempunyai kemampuan untuk mengurai masalah ini agar bisa merumuskan untuk menemukan akar masalahnya. Bagi organisasi pemuda, tantangannya adalah bisa memastikan tidak ada kadernya yang menyimpang, karena sudah cukup membantu. Baca Juga: Awal April, Polda Sumsel Ungkap 37 Kasus Narkoba.
"Saya ingin menyampaikan bahwa tantangan merawat Indonesia saat ini adalah bagaimana membuat mereka yang berbeda kemudian kita tetap diberikan cara bagaimana supaya mereka tidak keras dan tidak semkain jauh. Oleh karena itu, persatuan Indonesia perlu disuarakan karena kita mempunyai kekuatan dari sana," pungkasnya.
"Organisasi seperti kami lebih kepada tindakan preventif. HMI mewacanakan memberikan pemahaman tentang ajaran Islam moderat dan Islam yang damai. Kami bertanggung jawab untuk menyebarkan itu untuk mengimbangi isu tersebut di media sosial. Kami juga berharap kepada pemerintah bahwasanya organisasi yang menjunjung tinggi kebhinekaan diberikan ruang lebih banyak," ujar Raihan.
Ia memandang bahwa ada kelengahan organisasi masyarakat yang memberikan ruang lebih kepada orang yang punya niatan untuk memecah belah. Sasaran mereka adalah kaum milenial karena anak muda ini sedang mencari jatidiri sehingga usia itu sangat rentan.
"Anak muda kita jangan sampai terpengaruh oleh ajaran mereka yang ingin memecah belah. Ini menjadi PR kita bersama dan anak muda kita harus diberikan pemahaman yang lebih dengan mengedepankan sisi keagamaan dan perdamaian," tambahnya.
Ketua Bidang Hubungan Internasional GMKI, Fawer Sihite menjelaskan, teror yang telah terjadi sejak 1981 ada sekitar 50 kasus terorisme. Menurutnya, sistem dan regulasi yang sudah ada sebenarnya cukup jelas bahwa lembaga memiliki kewenangan dalam menangani terorisme.
"GMKI selalu konsisten menyuarakan persatuan dan kebangsaan ditengah kaderisasi kita dengan aktif membuat kegiatan untuk menanamkan pemahaman. Perlu ada penanaman budaya sejak usia dini secara konsisten dan tersistem," ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Najih Prastiyo, Ketua Umum IMM menilai bahwa upaya melawan radikalisme dengan cara radikal hanya akan menimbulkan efek domino. Konsep ini justru akan menambah daftar panjang radikalisme di Indonesia. Baca: Letusan Tembakan dan Aksi Kejar-kejaran Warnai Penangkapan Kapal Ikan Vietnam.
"Ada kecenderungan pelaku teror adalah anak muda dan bisa jadi kelompok muda ini gagap dalam membaca kondisi saat ini. Dalam konteks media sosial, kita sering alpa dalam melahirkan motivator baru. Ini juga yang perlu dipersiapkan oleh kita," ungkapnya.
Pengamat Hasibullah Satrawi berpendapat, salah satu kunci untuk bisa menuju kesana adalah kita harus mempunyai kemampuan untuk mengurai masalah ini agar bisa merumuskan untuk menemukan akar masalahnya. Bagi organisasi pemuda, tantangannya adalah bisa memastikan tidak ada kadernya yang menyimpang, karena sudah cukup membantu. Baca Juga: Awal April, Polda Sumsel Ungkap 37 Kasus Narkoba.
"Saya ingin menyampaikan bahwa tantangan merawat Indonesia saat ini adalah bagaimana membuat mereka yang berbeda kemudian kita tetap diberikan cara bagaimana supaya mereka tidak keras dan tidak semkain jauh. Oleh karena itu, persatuan Indonesia perlu disuarakan karena kita mempunyai kekuatan dari sana," pungkasnya.
(nag)
tulis komentar anda