Cerita Letjen TNI (Purn) Soegito Gagal Raih Baret Merah Kopassus karena Tak Kuat Jalan Kaki dari Bandung-Cilacap
Sabtu, 03 Agustus 2024 - 06:29 WIB
Dikutip dari buku "Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen", pendidikan komando dimulai di Batujajar pada Februari 1965.
Soegito bertemu kembali dengan kelompok yuniornya dari AMN (Akademi Militer Nasional) 63 yang baru pulang dari Operasi Tumpas di Sulawesi Selatan. Sebanyak 15 orang perwira remaja alumni 63 mengikuti pendidikan komando.
Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dalam bukunya "Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" (2009) menyebutkan bahwa mereka adalah angkatan pertama alumni AMN yang mengikuti pendidikan dasar komando.
Tahap demi tahap latihan dilalui Soegito dengan baik tanpa kesulitan. Namun, memasuki tahap terakhir yaitu longmarch dari Batujajar, Bandung Barat ke Nusakambangan, Cilacap sejauh hampir 500 kilometer selama 10 hari.
Soegito merasakan sakit tak tertahankan di seluruh sendi-sendi kakinya. Ia tidak mampu melawan rasa sakitnya dan akhirnya menyerah. Pelatihnya, Serma Sutari, berusaha menguatkan tetapi sia-sia. Soegito akhirnya dievakuasi oleh pelatih dan dikembalikan ke Cijantung.
Letjen (Pur) Soetedjo, yang saat itu sudah berada di Nusakambangan, baru tahu bahwa Soegito tidak ada di kelompok mereka. “Pak Gito itu kan sprinter, pelari cepat. Biasanya pelari cepat tidak tahan jarak jauh. Tapi apakah itu sebabnya, saya tidak tahu,” kata Letjen (Pur) Soetedjo.
Soegito tidak lama meratapi kegagalannya. Ia segera larut dalam kesibukan baru sebagai staf dari Mayor Inf Gunawan Wibisono, teman satu angkatan Mayor Inf Benny Moerdani. Mayor Gunawan yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris terlihat begitu pintar dan berwibawa.
Soegito membantu riset tentang peredam suara senapan dan airdrop resupply di Lanud Halim Perdanakusuma. Gagal dalam pendidikan komando memberi Soegito kesempatan untuk menambah jam terjun.
Sebagai perwira yang bertanggung jawab dalam riset penerjunan, ia harus total selama proses penelitian. Sorti demi sorti terjun statik diikutinya, termasuk malam hari, hingga ia mengantongi hampir 10 kali terjun.
Soegito bertemu kembali dengan kelompok yuniornya dari AMN (Akademi Militer Nasional) 63 yang baru pulang dari Operasi Tumpas di Sulawesi Selatan. Sebanyak 15 orang perwira remaja alumni 63 mengikuti pendidikan komando.
Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dalam bukunya "Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" (2009) menyebutkan bahwa mereka adalah angkatan pertama alumni AMN yang mengikuti pendidikan dasar komando.
Tahap demi tahap latihan dilalui Soegito dengan baik tanpa kesulitan. Namun, memasuki tahap terakhir yaitu longmarch dari Batujajar, Bandung Barat ke Nusakambangan, Cilacap sejauh hampir 500 kilometer selama 10 hari.
Soegito merasakan sakit tak tertahankan di seluruh sendi-sendi kakinya. Ia tidak mampu melawan rasa sakitnya dan akhirnya menyerah. Pelatihnya, Serma Sutari, berusaha menguatkan tetapi sia-sia. Soegito akhirnya dievakuasi oleh pelatih dan dikembalikan ke Cijantung.
Baca Juga
Letjen (Pur) Soetedjo, yang saat itu sudah berada di Nusakambangan, baru tahu bahwa Soegito tidak ada di kelompok mereka. “Pak Gito itu kan sprinter, pelari cepat. Biasanya pelari cepat tidak tahan jarak jauh. Tapi apakah itu sebabnya, saya tidak tahu,” kata Letjen (Pur) Soetedjo.
Soegito tidak lama meratapi kegagalannya. Ia segera larut dalam kesibukan baru sebagai staf dari Mayor Inf Gunawan Wibisono, teman satu angkatan Mayor Inf Benny Moerdani. Mayor Gunawan yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris terlihat begitu pintar dan berwibawa.
Soegito membantu riset tentang peredam suara senapan dan airdrop resupply di Lanud Halim Perdanakusuma. Gagal dalam pendidikan komando memberi Soegito kesempatan untuk menambah jam terjun.
Sebagai perwira yang bertanggung jawab dalam riset penerjunan, ia harus total selama proses penelitian. Sorti demi sorti terjun statik diikutinya, termasuk malam hari, hingga ia mengantongi hampir 10 kali terjun.
tulis komentar anda