Cerita Letjen TNI (Purn) Soegito Gagal Raih Baret Merah Kopassus karena Tak Kuat Jalan Kaki dari Bandung-Cilacap
loading...
A
A
A
LETJEN TNI (Purn) Soegito merupakan sosok prajurit TNI yang dikenal memiliki jasa besar pada bangsa ini. Pentolan Kopassus ini merupakan orang yang memimpin pasukan tempur Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Satgas Nanggala V.
Saat itu dia terjun menyerbu untuk merebut Kota Dili pada Desember 1975 dalam Operasi Seroja di Timor Timur. Jenderal TNI baret merah itu pernah dipercaya untuk memangku jabatan Panglima Kodam Jaya pada 1985 menggantikan Mayjen TNI Try Sutrisno.
Namun di balik aksi heroik dan kegarangannya, Letjen TNI (Purn) Soegito pernah gagal menyandang Brevet Komando lantaran tak kuat berjalan 500 kilometer (KM) dari Batujajar hingga Cilacap, Jawa Tengah.
Pendidikan komando merupakan tahap awal yang harus dilalui setiap prajurit yang ingin bergabung dengan satuan elite. Pendidikan komando bertujuan mendidik dan mengembangkan kemampuan prajurit dalam operasi komando secara individu maupun kelompok.
Pendidikan komando berakhir di Nusakambangan, Cilacap. Sebelum upacara pembaretan, selalu diadakan demo penutup siswa komando yang disaksikan para undangan dan keluarga siswa. Kopassus menyebut demo saat matahari terbit ini sebagai Seruko (Serangan Regu Komando).
Setelah menyelesaikan pendidikan komando dan para dasar serta berhak menyandang brevet komando dan baret merah, para prajurit disebar ke unit-unit operasional Kopassus. Di unit ini, mereka melaksanakan orientasi mendapatkan gambaran tugas, nilai-nilai, dan tradisi satuan.
Meski sudah mengetahui risikonya, Letjen (Purn) Soegito tetap ingin mengikuti pendidikan komando. Ia memiliki keinginan kuat untuk memiliki tulisan "Komando" di lengan kanannya. Apa pun yang terjadi selama pendidikan, ia siap menghadapinya tanpa gentar.
Dikutip dari buku "Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen", pendidikan komando dimulai di Batujajar pada Februari 1965.
Soegito bertemu kembali dengan kelompok yuniornya dari AMN (Akademi Militer Nasional) 63 yang baru pulang dari Operasi Tumpas di Sulawesi Selatan. Sebanyak 15 orang perwira remaja alumni 63 mengikuti pendidikan komando.
Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dalam bukunya "Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" (2009) menyebutkan bahwa mereka adalah angkatan pertama alumni AMN yang mengikuti pendidikan dasar komando.
Tahap demi tahap latihan dilalui Soegito dengan baik tanpa kesulitan. Namun, memasuki tahap terakhir yaitu longmarch dari Batujajar, Bandung Barat ke Nusakambangan, Cilacap sejauh hampir 500 kilometer selama 10 hari.
Soegito merasakan sakit tak tertahankan di seluruh sendi-sendi kakinya. Ia tidak mampu melawan rasa sakitnya dan akhirnya menyerah. Pelatihnya, Serma Sutari, berusaha menguatkan tetapi sia-sia. Soegito akhirnya dievakuasi oleh pelatih dan dikembalikan ke Cijantung.
Letjen (Pur) Soetedjo, yang saat itu sudah berada di Nusakambangan, baru tahu bahwa Soegito tidak ada di kelompok mereka. “Pak Gito itu kan sprinter, pelari cepat. Biasanya pelari cepat tidak tahan jarak jauh. Tapi apakah itu sebabnya, saya tidak tahu,” kata Letjen (Pur) Soetedjo.
Soegito tidak lama meratapi kegagalannya. Ia segera larut dalam kesibukan baru sebagai staf dari Mayor Inf Gunawan Wibisono, teman satu angkatan Mayor Inf Benny Moerdani. Mayor Gunawan yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris terlihat begitu pintar dan berwibawa.
Soegito membantu riset tentang peredam suara senapan dan airdrop resupply di Lanud Halim Perdanakusuma. Gagal dalam pendidikan komando memberi Soegito kesempatan untuk menambah jam terjun.
Sebagai perwira yang bertanggung jawab dalam riset penerjunan, ia harus total selama proses penelitian. Sorti demi sorti terjun statik diikutinya, termasuk malam hari, hingga ia mengantongi hampir 10 kali terjun.
Kesibukan baru sebagai staf Mayor Gunawan memberikan Soegito kesempatan untuk menambah pengalaman. Pada 5 Oktober 1965, ia membantu pemakaman tujuh Pahlawan Revolusi di TMP Kalibata.
Ia mendapat tugas menggotong peti jenazah Jenderal Ahmad Yani. Setelah membantu Mayor Gunawan, Soegito ditugaskan membantu Mayor Inf Heru Sisnodo di Pusdik RPKAD di Batujajar. Mayor Heru dikenal sebagai pahlawan Trikora.
Ia terjun bersama 160 prajurit Batalion 530 dan 55 anggota RPKAD dalam Operasi Naga dipimpin Mayor Inf Benny Moerdani pada 24 Juni 1962 di Merauke.
”Dek Gito, nanti kalau mau latihan komando lagi, bila perlu apa-apa bilang saja kepada saya. Sekarang ikut saya jam terjun, sekalian nanti free fall,” ajak Mayor Heru yang akrab disapa Soegito.
Saat membantu Mayor Heru, jam terjun Soegito semakin bertambah. Namun, Mayor Heru malah memberikan tugas merevisi kurikulum latihan komando kepada Soegito. Soegito keberatan, tetapi Mayor Heru mengalihkan pembicaraan rencana-rencana penerjunan.
“Besok saya terjun, ikut ya.” Alhasil, dari kegiatannya membantu Mayor Gunawan dan Mayor Heru, jam terjun Soegito meningkat signifikan. Hingga saat itu, jam terjun Soegito paling tinggi dari semua perwira lulusan AMN 61.
Di kemudian hari, di atas wing terjunnya ditambahkan bintang dan bintang merah sekembalinya dari Dili pada 1976.Sambil menunggu pendidikan komando dibuka lagi, Soegito memeriksakan ke dokter untuk mengetahui penyebab sakit di kakinya.
Dokter mendiagnosa bahwa ia terkena malaria, yang menyebabkan sakit di persendian kaki dan menurunnya daya tahan tubuh. Akhirnya kesempatan kedua untuk mengikuti pendidikan komando tiba juga.
Soegito menikmati setiap tahap yang dilaluinya. Pada tahap long march, ia menyimpan petanya di ransel dan langkahnya diikuti oleh peserta yang lain, yang semuanya adalah yuniornya.
Salah satu kenangannya saat pendidikan komando adalah disuruh jungkir oleh bintara pelatih dari sebuah ketinggian hanya karena Soegito orang Cilacap. Beberapa tahun kemudian, pelatih asal Aceh yang dikenal galak itu menjadi anggotanya saat diterjunkan di Dili pada Desember 1975.
Seminggu setelah penutupan latihan, Komandan RPRAD Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo menarik seluruh peserta latihan ke Cijantung untuk mengikuti parade dan defile di Senayan.
“Saya salut dengan keuletan Pak Gito. Walaupun gagal latihan awalnya, namun mengulangi lagi sampai selesai. Itu sebuah keuletan yang kami hargai. Beliau tidak pantang menyerah. Mengulangi dari awal itu kan tidak main-main, diperlukan ketabahan yang tinggi,” ungkap Soetedjo.
Usai pendidikan dasar komando, Soegito ditempatkan sebagai Komandan Kompi di Batalion 2 RPKAD di Magelang. Setelah itu, ia ditarik ke Cijantung dan diserahi jabatan Danki A Batalion 1 dengan komandan Mayor Soekoso.
Lihat Juga: Cerita Mahfud MD Dikawal 2 Anggota Sat-81/Gultor Kopassus Anak Buah Luhut saat Konflik Cicak Vs Buaya
Saat itu dia terjun menyerbu untuk merebut Kota Dili pada Desember 1975 dalam Operasi Seroja di Timor Timur. Jenderal TNI baret merah itu pernah dipercaya untuk memangku jabatan Panglima Kodam Jaya pada 1985 menggantikan Mayjen TNI Try Sutrisno.
Namun di balik aksi heroik dan kegarangannya, Letjen TNI (Purn) Soegito pernah gagal menyandang Brevet Komando lantaran tak kuat berjalan 500 kilometer (KM) dari Batujajar hingga Cilacap, Jawa Tengah.
Pendidikan komando merupakan tahap awal yang harus dilalui setiap prajurit yang ingin bergabung dengan satuan elite. Pendidikan komando bertujuan mendidik dan mengembangkan kemampuan prajurit dalam operasi komando secara individu maupun kelompok.
Pendidikan komando berakhir di Nusakambangan, Cilacap. Sebelum upacara pembaretan, selalu diadakan demo penutup siswa komando yang disaksikan para undangan dan keluarga siswa. Kopassus menyebut demo saat matahari terbit ini sebagai Seruko (Serangan Regu Komando).
Setelah menyelesaikan pendidikan komando dan para dasar serta berhak menyandang brevet komando dan baret merah, para prajurit disebar ke unit-unit operasional Kopassus. Di unit ini, mereka melaksanakan orientasi mendapatkan gambaran tugas, nilai-nilai, dan tradisi satuan.
Meski sudah mengetahui risikonya, Letjen (Purn) Soegito tetap ingin mengikuti pendidikan komando. Ia memiliki keinginan kuat untuk memiliki tulisan "Komando" di lengan kanannya. Apa pun yang terjadi selama pendidikan, ia siap menghadapinya tanpa gentar.
Dikutip dari buku "Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen", pendidikan komando dimulai di Batujajar pada Februari 1965.
Soegito bertemu kembali dengan kelompok yuniornya dari AMN (Akademi Militer Nasional) 63 yang baru pulang dari Operasi Tumpas di Sulawesi Selatan. Sebanyak 15 orang perwira remaja alumni 63 mengikuti pendidikan komando.
Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dalam bukunya "Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" (2009) menyebutkan bahwa mereka adalah angkatan pertama alumni AMN yang mengikuti pendidikan dasar komando.
Tahap demi tahap latihan dilalui Soegito dengan baik tanpa kesulitan. Namun, memasuki tahap terakhir yaitu longmarch dari Batujajar, Bandung Barat ke Nusakambangan, Cilacap sejauh hampir 500 kilometer selama 10 hari.
Soegito merasakan sakit tak tertahankan di seluruh sendi-sendi kakinya. Ia tidak mampu melawan rasa sakitnya dan akhirnya menyerah. Pelatihnya, Serma Sutari, berusaha menguatkan tetapi sia-sia. Soegito akhirnya dievakuasi oleh pelatih dan dikembalikan ke Cijantung.
Baca Juga
Letjen (Pur) Soetedjo, yang saat itu sudah berada di Nusakambangan, baru tahu bahwa Soegito tidak ada di kelompok mereka. “Pak Gito itu kan sprinter, pelari cepat. Biasanya pelari cepat tidak tahan jarak jauh. Tapi apakah itu sebabnya, saya tidak tahu,” kata Letjen (Pur) Soetedjo.
Soegito tidak lama meratapi kegagalannya. Ia segera larut dalam kesibukan baru sebagai staf dari Mayor Inf Gunawan Wibisono, teman satu angkatan Mayor Inf Benny Moerdani. Mayor Gunawan yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris terlihat begitu pintar dan berwibawa.
Soegito membantu riset tentang peredam suara senapan dan airdrop resupply di Lanud Halim Perdanakusuma. Gagal dalam pendidikan komando memberi Soegito kesempatan untuk menambah jam terjun.
Sebagai perwira yang bertanggung jawab dalam riset penerjunan, ia harus total selama proses penelitian. Sorti demi sorti terjun statik diikutinya, termasuk malam hari, hingga ia mengantongi hampir 10 kali terjun.
Kesibukan baru sebagai staf Mayor Gunawan memberikan Soegito kesempatan untuk menambah pengalaman. Pada 5 Oktober 1965, ia membantu pemakaman tujuh Pahlawan Revolusi di TMP Kalibata.
Ia mendapat tugas menggotong peti jenazah Jenderal Ahmad Yani. Setelah membantu Mayor Gunawan, Soegito ditugaskan membantu Mayor Inf Heru Sisnodo di Pusdik RPKAD di Batujajar. Mayor Heru dikenal sebagai pahlawan Trikora.
Ia terjun bersama 160 prajurit Batalion 530 dan 55 anggota RPKAD dalam Operasi Naga dipimpin Mayor Inf Benny Moerdani pada 24 Juni 1962 di Merauke.
”Dek Gito, nanti kalau mau latihan komando lagi, bila perlu apa-apa bilang saja kepada saya. Sekarang ikut saya jam terjun, sekalian nanti free fall,” ajak Mayor Heru yang akrab disapa Soegito.
Saat membantu Mayor Heru, jam terjun Soegito semakin bertambah. Namun, Mayor Heru malah memberikan tugas merevisi kurikulum latihan komando kepada Soegito. Soegito keberatan, tetapi Mayor Heru mengalihkan pembicaraan rencana-rencana penerjunan.
“Besok saya terjun, ikut ya.” Alhasil, dari kegiatannya membantu Mayor Gunawan dan Mayor Heru, jam terjun Soegito meningkat signifikan. Hingga saat itu, jam terjun Soegito paling tinggi dari semua perwira lulusan AMN 61.
Di kemudian hari, di atas wing terjunnya ditambahkan bintang dan bintang merah sekembalinya dari Dili pada 1976.Sambil menunggu pendidikan komando dibuka lagi, Soegito memeriksakan ke dokter untuk mengetahui penyebab sakit di kakinya.
Dokter mendiagnosa bahwa ia terkena malaria, yang menyebabkan sakit di persendian kaki dan menurunnya daya tahan tubuh. Akhirnya kesempatan kedua untuk mengikuti pendidikan komando tiba juga.
Baca Juga
Soegito menikmati setiap tahap yang dilaluinya. Pada tahap long march, ia menyimpan petanya di ransel dan langkahnya diikuti oleh peserta yang lain, yang semuanya adalah yuniornya.
Salah satu kenangannya saat pendidikan komando adalah disuruh jungkir oleh bintara pelatih dari sebuah ketinggian hanya karena Soegito orang Cilacap. Beberapa tahun kemudian, pelatih asal Aceh yang dikenal galak itu menjadi anggotanya saat diterjunkan di Dili pada Desember 1975.
Seminggu setelah penutupan latihan, Komandan RPRAD Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo menarik seluruh peserta latihan ke Cijantung untuk mengikuti parade dan defile di Senayan.
“Saya salut dengan keuletan Pak Gito. Walaupun gagal latihan awalnya, namun mengulangi lagi sampai selesai. Itu sebuah keuletan yang kami hargai. Beliau tidak pantang menyerah. Mengulangi dari awal itu kan tidak main-main, diperlukan ketabahan yang tinggi,” ungkap Soetedjo.
Usai pendidikan dasar komando, Soegito ditempatkan sebagai Komandan Kompi di Batalion 2 RPKAD di Magelang. Setelah itu, ia ditarik ke Cijantung dan diserahi jabatan Danki A Batalion 1 dengan komandan Mayor Soekoso.
Lihat Juga: Cerita Mahfud MD Dikawal 2 Anggota Sat-81/Gultor Kopassus Anak Buah Luhut saat Konflik Cicak Vs Buaya
(ams)