Legenda Kapal Jung Jawa, Penguasa Maritim Asal Indonesia
Rabu, 31 Mei 2023 - 06:03 WIB
Sang Bujangga asyik menerangkan bahwa penggulung layar perahu terbuat dari aur kuning (sejenis bambu yang sangat kuat), lantainya dari kayu enau tua dan beralaskan aur seah (sejenis bambu juga).
Kemudi kapal menggunakan kemudi Keling (mungkin diadopsi dari Keling/India). Tiang layar dari kayu laka dan bercat merah, dihiasi ikatan-pembuka dari rotan hitam yang bercampur rotan kuning. Tali penyangga layar dari kenur China. Dayungnya gemerlap mengkilap-kilap bagai cermin.
Pendayungnya berjumlah 25 orang di setiap sisi perahu, jadi keseluruhan para pendayung sekitar 50 orang. Bujangga Manik mencatat bahwa para pendayung adalah orang Marus (Baros di Sumatra Utara?), para pengayuh orang Angke (di Jakarta?), penanggung jawab layar orang Bangka, kepala kelasi orang Lampung, juru kemudi orang Jambi, juru panah orang China, juru sumpit orang Melayu, juru tarung orang Salembu (belum teridentifikasi), juru perang orang Makassar, dan juru sergap orang Pasai.
Rupanya kapal yang ditumpangi Bujangga Manik ini adalah jong dagang yang wajib dikawal oleh “seksi keamanan” yang siap dengan panah, sumpit, dan senjata tajam lainnya juga oleh mereka yang siap menyergap dan bertarung bila kelak dihadang para perompak di tengah samudra yang terkenal ganas itu.
Ameng Layaran dengan jeli memerhatikan mereka yang bertugas menimba air agar beban perahu stabil yang di antaranya adalah wanita, dengan alat timba dari gayung perak. Dia mencatat bahwa dinding kabin terbuat dari daun nipah, dengan tiang pembalut dinding kabin tegak lurus. Dan saat layar kapal Jung dikembangkan, dia mendengar letusan bedil sebanyak tujuh kali.
Kemudian diikuti oleh alunan sarunay (seruling), gong, gamelan, gong kuning, dan gendang yang diiringi nyanyian para awak kapal dengan sangat meriah. Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa.
Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Kapal Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Kapal Jung menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara, meliputi Campa (ujung selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka, dan Makassar.
Hanya saja, keadaan itu berbanding terbalik menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi ke pelbagai penjuru dunia. Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal.
Baca: Anggun dan Mempesona, Alasan Raja Mataram Gemar Mencari Selir dari Jawa Timur.
Kantor Maskapai Perdagangan Hindia Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.
Kemudi kapal menggunakan kemudi Keling (mungkin diadopsi dari Keling/India). Tiang layar dari kayu laka dan bercat merah, dihiasi ikatan-pembuka dari rotan hitam yang bercampur rotan kuning. Tali penyangga layar dari kenur China. Dayungnya gemerlap mengkilap-kilap bagai cermin.
Pendayungnya berjumlah 25 orang di setiap sisi perahu, jadi keseluruhan para pendayung sekitar 50 orang. Bujangga Manik mencatat bahwa para pendayung adalah orang Marus (Baros di Sumatra Utara?), para pengayuh orang Angke (di Jakarta?), penanggung jawab layar orang Bangka, kepala kelasi orang Lampung, juru kemudi orang Jambi, juru panah orang China, juru sumpit orang Melayu, juru tarung orang Salembu (belum teridentifikasi), juru perang orang Makassar, dan juru sergap orang Pasai.
Rupanya kapal yang ditumpangi Bujangga Manik ini adalah jong dagang yang wajib dikawal oleh “seksi keamanan” yang siap dengan panah, sumpit, dan senjata tajam lainnya juga oleh mereka yang siap menyergap dan bertarung bila kelak dihadang para perompak di tengah samudra yang terkenal ganas itu.
Ameng Layaran dengan jeli memerhatikan mereka yang bertugas menimba air agar beban perahu stabil yang di antaranya adalah wanita, dengan alat timba dari gayung perak. Dia mencatat bahwa dinding kabin terbuat dari daun nipah, dengan tiang pembalut dinding kabin tegak lurus. Dan saat layar kapal Jung dikembangkan, dia mendengar letusan bedil sebanyak tujuh kali.
Kemudian diikuti oleh alunan sarunay (seruling), gong, gamelan, gong kuning, dan gendang yang diiringi nyanyian para awak kapal dengan sangat meriah. Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa.
Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Kapal Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Kapal Jung menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara, meliputi Campa (ujung selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka, dan Makassar.
Hanya saja, keadaan itu berbanding terbalik menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi ke pelbagai penjuru dunia. Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal.
Baca: Anggun dan Mempesona, Alasan Raja Mataram Gemar Mencari Selir dari Jawa Timur.
Kantor Maskapai Perdagangan Hindia Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.
tulis komentar anda