Legenda Kapal Jung Jawa, Penguasa Maritim Asal Indonesia

Rabu, 31 Mei 2023 - 06:03 WIB
loading...
Legenda Kapal Jung Jawa, Penguasa Maritim Asal Indonesia
Ilustrasi legenda kapal Jong Jawa. (Ist)
A A A
Kapal Jung Jawa merupakan kapal utama pengangkut perdagangan hingga abad ke-16. Selaian mengangngkut perdagangan, Kapal Jung Jawa juga dapat digunakan sebagai kapal angkut militer .

Menurut catatan Duarte Barosa, kapal Jong Jawa ini membawa barang perdagangan seluruh Asia Tenggara dan Asia Timur untuk diperdagangkan hingga ke Asia Barat (Arab). Dari Arab, barang dagangan tersebut disebarkan ke Eropa, (Paul Michel Munoz, 2009: 396-397).

Rute perdagangan ke Asia Barat yang dilalui Jong Jawa menurut Duarte Barosa adalah Tenasserim, Pegu, Bengal, Palicat, Coromandel, Malabar, Cambay, dan Aden, (Paul Michel Munoz, 2009: 396-397).

Barang dagangan yang dibawa Jong Jawa menurut Duarte Barosa pula, di antaranya beras, daging sapi, kambing, babi, dan menjangan yang dikeringkan dan diasinkan, ayam, bawang putih, dan bawang merah.

Termasuk juga senjata seperti tombak, belati, dan pedang-pedang yang dibuat dari campuran logam dan terbuat dari baja yang sangat bagus, pewarna kuning atau cazumba (Kasumba), emas, lada, sutra, kemenyan, kamper, serta kayu gaharu.

Kesaksian tentang kapal Jung yang legendaries ini juga dituliskan seorang bangsawan Kerajaan Sunda dari Pakuan (sekitar Bogor, Jawa Barat) Bujangga Manik yang bernama asli Pangeran Jaya Pakuan. Naskah Bujangga Manik yang ditulis setelah tahun 1475 dan sebelum 1511 M (berdasarkan keterangan implisit si tokoh bahwa Kerajaan Demak telah ada dan Kerajaan Malaka belum didatangi Portugis).

Ketika itu Bujangga Manik berniat menjadi pertapa dan berkelana ke perbagai tempat suci di Jawa dan Bali. Perjalanan Bujangga Manik ke tanah Jawa bagian Timur menngunakan kapal Jung. Bujangga Manik melalui pintu palka lalu duduk di dalam kabin.

Dari kabin, pertapa ini langsung tertarik kepada penampilan perahu jong yang berbahan kayu jati berukir, hulunya berhiasan kepala naga dan melengkung hingga buritan (seperti layaknya jenis-jenis perahu lain di Nusantara).

Kayu penyangga dari bambu gombong (sejenis bambu dengan batang besar) dan tiangnya dari kayu Juwana. Pada saat, itu Juwana merupakan satu dari banyak wilayah di pesisir utara Jawa, terutama Jawa Tengah, yang menghasil kayu jati yang digunakan sebagai bahan dasar kapal.

Sang Bujangga asyik menerangkan bahwa penggulung layar perahu terbuat dari aur kuning (sejenis bambu yang sangat kuat), lantainya dari kayu enau tua dan beralaskan aur seah (sejenis bambu juga).

Kemudi kapal menggunakan kemudi Keling (mungkin diadopsi dari Keling/India). Tiang layar dari kayu laka dan bercat merah, dihiasi ikatan-pembuka dari rotan hitam yang bercampur rotan kuning. Tali penyangga layar dari kenur China. Dayungnya gemerlap mengkilap-kilap bagai cermin.

Pendayungnya berjumlah 25 orang di setiap sisi perahu, jadi keseluruhan para pendayung sekitar 50 orang. Bujangga Manik mencatat bahwa para pendayung adalah orang Marus (Baros di Sumatra Utara?), para pengayuh orang Angke (di Jakarta?), penanggung jawab layar orang Bangka, kepala kelasi orang Lampung, juru kemudi orang Jambi, juru panah orang China, juru sumpit orang Melayu, juru tarung orang Salembu (belum teridentifikasi), juru perang orang Makassar, dan juru sergap orang Pasai.

Rupanya kapal yang ditumpangi Bujangga Manik ini adalah jong dagang yang wajib dikawal oleh “seksi keamanan” yang siap dengan panah, sumpit, dan senjata tajam lainnya juga oleh mereka yang siap menyergap dan bertarung bila kelak dihadang para perompak di tengah samudra yang terkenal ganas itu.

Ameng Layaran dengan jeli memerhatikan mereka yang bertugas menimba air agar beban perahu stabil yang di antaranya adalah wanita, dengan alat timba dari gayung perak. Dia mencatat bahwa dinding kabin terbuat dari daun nipah, dengan tiang pembalut dinding kabin tegak lurus. Dan saat layar kapal Jung dikembangkan, dia mendengar letusan bedil sebanyak tujuh kali.

Kemudian diikuti oleh alunan sarunay (seruling), gong, gamelan, gong kuning, dan gendang yang diiringi nyanyian para awak kapal dengan sangat meriah. Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa.

Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Kapal Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Kapal Jung menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara, meliputi Campa (ujung selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka, dan Makassar.

Hanya saja, keadaan itu berbanding terbalik menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi ke pelbagai penjuru dunia. Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal.

Baca: Anggun dan Mempesona, Alasan Raja Mataram Gemar Mencari Selir dari Jawa Timur.

Kantor Maskapai Perdagangan Hindia Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.

Dalam kata pengantar antologi cerpen berjudul jung Jawa oleh Rendra Fatrisna Kurniawan yang diterbitkan Babel Publishing tahun 2009 dengan ISBN 978-979-25-3953-0, disebutkan hilangnya tradisi maritim Jawa tersebut adalah akibat kebijakan kerajaan Jawa sendiri setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka, yang kemudian lebih memusatkan pada kekuatan angkatan darat.

Dari berbagai ulasan tersebut para sejarawan menyimpulkan, jung dan tradisi besar maritim Jawa hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda.

Sumber:

wikipedia
wacana
jawakuno
diolah dari berbagai sumber
(nag)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1619 seconds (0.1#10.140)