Sosok I-Tsing, Biksu Tiongkok yang Belajar Sampai ke Kerajaan Sriwijaya
loading...
![Sosok I-Tsing, Biksu...](https://pict.sindonews.net/webp/732/pena/news/2023/01/16/29/996685/sosok-itsing-biksu-tiongkok-yang-belajar-sampai-ke-kerajaan-sriwijaya-dum.webp)
Candi Bahal di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, merupakan peninggalan Kerajaan Pannai, yang ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya. Foto-foto/Dok.SINDOphoto/Hasiholan Siahaan
A
A
A
Nama Sriwijaya sebagai kerajaan penganut Budha, telah kesohor di berbagai penjuru dunia. Dalam Prasasti Kedukan Bukit, berangka tahun 605 Saka (683 M), Kadatuan Sriwijaya pertama kali didirikan di sekitar Palembang, di tepian Sungai Musi.
Dalam perkembangannya, Sriwijaya juga menjadi pusat pengajaran Budha, hingga menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia, untuk datang mengunjunginya. Mereka yang datang, salah satunya pendeta dari Tiongkok, I-Tsing.
I-Tsing melakukan kunjungan ke Sumatera, dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695. I-Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Budha, sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Budha.
Selain berita di atas, terdapat berita yang dibawakan oleh I-Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1.000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.
Slamet Muljana, dalam bukunya yang berjudul "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" menyebutkan, pada tahun 671 pendeta I-Tsing berangkat dari Kanton, ke Nalanda melalui Sriwijaya.
Pengembaraan I-Tsing di luar Tiongkok, berlangsung selama 25 tahun. Ia kembali ke Kwang-tung pada pertengahan musim panas tahun pertama atau sekitar 695 Masehi. Hingga abad tujuh masehi, disebut hanya pendeta Budha Tiongkok yang memainkan perjalanan dari India untuk mengunjungi Sriwijaya, di Pulau Sumatera.
Pada zaman Sriwijaya, diperkirakan telah ada hubungan pelayaran yang teratur antara Tiongkok (Kanton), dan pelabuhan Melayu di Kerajaan Sriwijaya. Kapal yang berlayar dari Kanton ke Sriwijaya dan kebalikannya adalah kapal dagang.
Pendeta I-Tsing tidak pernah menyinggung adanya orang-orang Tionghoa, yang menetap di Pelabuhan Melayu atau di Pelabuhan Sriwijaya. Sementara kapal dagang yang berlayar dari pelabuhan Melayu ke Kanton atau sebaliknya kebanyakan adalah kapal asing, Kapal Persia, atau Kapal India.
Kedatangan etnis Tionghoa mulai terjadi peningkatan sesudah abad ke-8. Pasalnya ada perubahan sikap dari pedagang Tionghoa yang banyak bertolak ke negara-negara selatan, termasuk mengunjungi Pelabuhan Sriwijaya dan pelabuhan Melayu.
![Sosok I-Tsing, Biksu Tiongkok yang Belajar Sampai ke Kerajaan Sriwijaya]()
Pada abad delapan, Tiongkok yang mulai menjadi negara penghasil teh juga menjadi faktor pendorong kian banyaknya pedagang-pedagang dari Tiongkok yang mengembara. Selain teh, komoditi porselen juga menjadi barang ekspor khusus di masa itu yang membuat pedagang-pedagang Tiongkok, masuk ke beberapa negara, termasuk salah satunya bumi Nusantara.
Ekspedisi etnis Tiongkok di bawah Laksamana Cheng Ho pada masa pemerintahan kaisar Yung-lo dari Rajakula Ming, disebut menjadi tonggak penting masuknya etnis Tiongkok di beberapa negara Asia Tenggara.
Dikisahkan saat melakukan ekspedisi di tahun 1405, pasukan Laksmana Cheng Ho sempat singgah di bandar Samudera Pasai. Dari situlah Laksamana Cheng Ho bertemu dengan Sultan Samudera Pasai, Zainal Abidin Bahian Syah.
Kedatangan Cheng Ho pulalah yang membuat hubungan politik dan dagang yang diiringi kedatangan para saudagar-saudagar Tiongkok lainnya ke Saumdera Pasai. Interaksi antara pedagang Tiongkok dengan warga lokal Indonesia, mengakibatkan terjadi perkawinan silang.
Perlahan etnis Tiongkok menyebar di sejumlah tempat. Di tempat-tempat baru di Nusantara para imigran Tiongkok ini lantas kawin dengan wanita setempat, atau wanita Tiongkok peranakan lainnya.
Tak hanya I-Tsing, Sriwijaya sebagai pusat pendidikan Budha, juga menarik perhatian Atisha. Saat usianya baru menginjak 31 tahun, Atisha datang ke Sriwijaya, dengan diikuti oleh 100 muridnya.
Mereka berangkat melakukan perjalanan laut selama 13 tahun ke Sumatera, untuk belajar Budhisme. Dikenalnya Sriwijaya sebagai pusat pendidikan Budha-Mahayana tidak lain karena peranan Suvarnadvipi Dharmakrti, yang dalam tradisi Budha Tibetan disebut dengan nama Serlingpa (Gser-gling-pa), dan dianggap Guru Bodhichitta.
Selain merupakan biksu tertinggi di Sriwijaya yang pengetahuannya dikenal luas, Dharmakriti dicatat telah menyusun kitab Abhisamayalamkara. Demikian populernya Dharmakriti membuat Atisha berani menempuh risiko mengarungi lautan luas ke Sriwijaya untuk belajar.
Dalam bentang masa belajarnya selama 13 tahun, yakni dari tahun 1011 hingga tahun 1023 Masehi, Atisha juga pernah menyempatkan diri ziarah ke Borobudur di Jawa, dan belajar perihal teks Mahayana, yang dipahatkan menjadi bangunan candi.
Atisha, yang merupakan seorang sarjana Buddha asal Benggala, dan berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet, dalam kertas kerjanya Durbodhaloka menyebutkan keberadaan pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.
![Sosok I-Tsing, Biksu Tiongkok yang Belajar Sampai ke Kerajaan Sriwijaya]()
Kedatuan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Budha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.
Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
Prasasti Kedukan Bukit, menyebutkan bahwa Dapunta Hyang berasal dari Minanga Tamwan. Hingga kini, lokasi yang tepat dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan. Teori Palembang, sebagai tempat di mana Sriwijaya pertama kali bermula, diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin.
Selain Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi (Sungai Batanghari, Jambi) dan Muara Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri, Riau) juga diduga sebagai ibu kota Sriwijaya.
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya terletak di sebelah barat daya pusat kota Palembang. Situs ini membentuk poros yang menghubungkan Bukit Seguntang dan tepian Sungai Musi.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama Muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, di saat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Dalam perkembangannya, Sriwijaya juga menjadi pusat pengajaran Budha, hingga menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia, untuk datang mengunjunginya. Mereka yang datang, salah satunya pendeta dari Tiongkok, I-Tsing.
I-Tsing melakukan kunjungan ke Sumatera, dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695. I-Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Budha, sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Budha.
Selain berita di atas, terdapat berita yang dibawakan oleh I-Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1.000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.
Baca Juga
Slamet Muljana, dalam bukunya yang berjudul "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" menyebutkan, pada tahun 671 pendeta I-Tsing berangkat dari Kanton, ke Nalanda melalui Sriwijaya.
Pengembaraan I-Tsing di luar Tiongkok, berlangsung selama 25 tahun. Ia kembali ke Kwang-tung pada pertengahan musim panas tahun pertama atau sekitar 695 Masehi. Hingga abad tujuh masehi, disebut hanya pendeta Budha Tiongkok yang memainkan perjalanan dari India untuk mengunjungi Sriwijaya, di Pulau Sumatera.
Pada zaman Sriwijaya, diperkirakan telah ada hubungan pelayaran yang teratur antara Tiongkok (Kanton), dan pelabuhan Melayu di Kerajaan Sriwijaya. Kapal yang berlayar dari Kanton ke Sriwijaya dan kebalikannya adalah kapal dagang.
Pendeta I-Tsing tidak pernah menyinggung adanya orang-orang Tionghoa, yang menetap di Pelabuhan Melayu atau di Pelabuhan Sriwijaya. Sementara kapal dagang yang berlayar dari pelabuhan Melayu ke Kanton atau sebaliknya kebanyakan adalah kapal asing, Kapal Persia, atau Kapal India.
Kedatangan etnis Tionghoa mulai terjadi peningkatan sesudah abad ke-8. Pasalnya ada perubahan sikap dari pedagang Tionghoa yang banyak bertolak ke negara-negara selatan, termasuk mengunjungi Pelabuhan Sriwijaya dan pelabuhan Melayu.
![Sosok I-Tsing, Biksu Tiongkok yang Belajar Sampai ke Kerajaan Sriwijaya](https://aws-images-prod.sindonews.net/dyn/600/pena/sindo-article/original/2023/01/16/candi%20bahal%201.jpg)
Pada abad delapan, Tiongkok yang mulai menjadi negara penghasil teh juga menjadi faktor pendorong kian banyaknya pedagang-pedagang dari Tiongkok yang mengembara. Selain teh, komoditi porselen juga menjadi barang ekspor khusus di masa itu yang membuat pedagang-pedagang Tiongkok, masuk ke beberapa negara, termasuk salah satunya bumi Nusantara.
Ekspedisi etnis Tiongkok di bawah Laksamana Cheng Ho pada masa pemerintahan kaisar Yung-lo dari Rajakula Ming, disebut menjadi tonggak penting masuknya etnis Tiongkok di beberapa negara Asia Tenggara.
Dikisahkan saat melakukan ekspedisi di tahun 1405, pasukan Laksmana Cheng Ho sempat singgah di bandar Samudera Pasai. Dari situlah Laksamana Cheng Ho bertemu dengan Sultan Samudera Pasai, Zainal Abidin Bahian Syah.
Kedatangan Cheng Ho pulalah yang membuat hubungan politik dan dagang yang diiringi kedatangan para saudagar-saudagar Tiongkok lainnya ke Saumdera Pasai. Interaksi antara pedagang Tiongkok dengan warga lokal Indonesia, mengakibatkan terjadi perkawinan silang.
Perlahan etnis Tiongkok menyebar di sejumlah tempat. Di tempat-tempat baru di Nusantara para imigran Tiongkok ini lantas kawin dengan wanita setempat, atau wanita Tiongkok peranakan lainnya.
Tak hanya I-Tsing, Sriwijaya sebagai pusat pendidikan Budha, juga menarik perhatian Atisha. Saat usianya baru menginjak 31 tahun, Atisha datang ke Sriwijaya, dengan diikuti oleh 100 muridnya.
Mereka berangkat melakukan perjalanan laut selama 13 tahun ke Sumatera, untuk belajar Budhisme. Dikenalnya Sriwijaya sebagai pusat pendidikan Budha-Mahayana tidak lain karena peranan Suvarnadvipi Dharmakrti, yang dalam tradisi Budha Tibetan disebut dengan nama Serlingpa (Gser-gling-pa), dan dianggap Guru Bodhichitta.
Selain merupakan biksu tertinggi di Sriwijaya yang pengetahuannya dikenal luas, Dharmakriti dicatat telah menyusun kitab Abhisamayalamkara. Demikian populernya Dharmakriti membuat Atisha berani menempuh risiko mengarungi lautan luas ke Sriwijaya untuk belajar.
Dalam bentang masa belajarnya selama 13 tahun, yakni dari tahun 1011 hingga tahun 1023 Masehi, Atisha juga pernah menyempatkan diri ziarah ke Borobudur di Jawa, dan belajar perihal teks Mahayana, yang dipahatkan menjadi bangunan candi.
Atisha, yang merupakan seorang sarjana Buddha asal Benggala, dan berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet, dalam kertas kerjanya Durbodhaloka menyebutkan keberadaan pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.
![Sosok I-Tsing, Biksu Tiongkok yang Belajar Sampai ke Kerajaan Sriwijaya](https://aws-images-prod.sindonews.net/dyn/600/pena/sindo-article/original/2023/01/16/candi%20bahal%202.jpg)
Kedatuan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Budha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.
Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
Prasasti Kedukan Bukit, menyebutkan bahwa Dapunta Hyang berasal dari Minanga Tamwan. Hingga kini, lokasi yang tepat dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan. Teori Palembang, sebagai tempat di mana Sriwijaya pertama kali bermula, diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin.
Baca Juga
Selain Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi (Sungai Batanghari, Jambi) dan Muara Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri, Riau) juga diduga sebagai ibu kota Sriwijaya.
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya terletak di sebelah barat daya pusat kota Palembang. Situs ini membentuk poros yang menghubungkan Bukit Seguntang dan tepian Sungai Musi.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama Muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, di saat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
(eyt)