4 Peristiwa Penting di Istana Kepresidenan Gedung Agung, Nomor 3 Terkait Tan Malaka

Selasa, 03 Januari 2023 - 09:23 WIB
loading...
4 Peristiwa Penting di Istana Kepresidenan Gedung Agung, Nomor 3 Terkait Tan Malaka
Gedung Agung Yogyakarta menjadi saksi perjalanan sejarah berdirinya Negara Indonesia. Saat ini Gedung Agung menjadi Istana Kepresidenan Yogyakarta. Foto/Okezone
A A A
JOGJA - GEDUNG Agung Yogyakarta menyimpan banyak cerita sejarah. Keberadaan Gedung Agung di ujung Jalan Malioboro dan di depan benteng Belanda Fort Vredenburg sekaligus menjadi saksi perjalanan sejarah berdirinya Negara Indonesia.

Gedung Agung saat ini menjadi Istana Kepresidenan Yogyakarta. Berdiri pada Mei 1824, Gedung Agung atau Gedung Negara yang menghadap timur itu sejatinya Istana dengan luas wilayah 43.585 meter persegi. Bangunan berarsitektur Eropa itu hasil sentuhan tangan arsitek A Payen.


Pada masa penjajahan kolonial Belanda, Gedung Agung merupakan kediaman resmi Residen ke-18 Yogyakarta (1823-1825) Anthonie Hendriks Smissaert, seorang kebangsaan Belanda.

Banyak kejadian sejarah pada pra dan pasca kemerdekaan di Gedung Agung yang melibatkan tokoh-tokoh penting tanah air. Berikut peristiwa penting yang terjadi di Gedung Agung Yogyakarta.

1. Sri Hamengku Buwono IX Terima Tahta

Pangeran Dorodjatun menerima keris pusaka Sultan Mataram Yogyakarta Hamengku Buwono (HB) VIII di Gedung Agung. Dorodjatun belum lama pulang dari Negeri Belanda.

Kedatangannya di Batavia pada 1939 mendapat jemputan langsung dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, ayahnya. Kesehatan Raka Keraton Yogyakarta, Sri SultanHB VIII saat itu senantiasa tidak bagus.


Di Gedung Agung, Sri Sultan dalam keadaan sakit-sakitan menyerahkan keris pusaka kepada Dorodjatun. Dalam buku Soebadio Sastrosatomo Pengemban Misi Politk (1995), Rosihan Anwar menulis, penyerahan pusaka itu merupakan isyarat sekaligus legitimasi Dorodjatun sebagai pelanjut tahta Sri Sultan Yogyakarta berikutnya.

Isyarat itu benar adanya. Sebelum dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Dorodjatun lebih dulu berunding dengan pemerintah kolonial Belanda yang diwakili Gubernur Adam. Perundingan memakan waktu 5 bulan.

Dorodjatun meminta kewenangan mengangkat Pepatih Dalam ada di tangan Sri Sultan Yogya, bukan Belanda. Ia melihat selama ini Pepatih Dalam semacam mata-mata Belanda yang ditanam di dalam keraton.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2079 seconds (0.1#10.140)