Perseteruan 2 Keraton hingga Pemberontakan Mertua Pangeran Diponegoro Bikin Gubernur Jenderal Belanda Pusing
loading...
![Perseteruan 2 Keraton...](https://pict.sindonews.net/webp/732/pena/news/2025/02/11/29/1528111/perseteruan-2-keraton-hingga-pemberontakan-mertua-pangeran-diponegoro-bikin-gubernur-jenderal-belanda-pusing-uws.webp)
Perlawanan mertua Pangeran Diponegoro dan perseteruan 2 keraton di Jawa bikin Gubernur Jenderal Belanda William Daendels pusing. Foto: Ist
A
A
A
PERLAWANANmertua Pangeran Diponegoro dan perseteruan 2 keraton di Jawa bikin Gubernur Jenderal Belanda William Daendels pusing. Raden Ronggo Prawirodirjo III memberikan perlawanan kepada Belanda di wilayah timur Keraton Yogyakarta.
Di tempat lain, konflik Surakarta dan Yogyakarta berimbas kepada stabilitas di Belanda. Perlawanan Raden Ronggo Prawirodirjo III terjadi pada Februari 1810 ketika Gubernur Jenderal Belanda William Daendels mendapatkan laporan penting di Keraton Yogyakarta yang harus diselesaikan perihal gangguan keamanan.
Pada laporan itu disebutkan di Desa Ngebel dan Sekedok, Ponorogo yang masih merupakan wilayah kekuasaan Surakarta terjadi gangguan keamanan berupa penjarahan dan pembakaran.
Kejadian ini didalangi Raden Ronggo Prawirodirjo III sebagaimana dikutip dari "Antara Lawu dan Wilis : Arkeologi, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam Residen Madiun 1934 - 38".
Pada peristiwa tersebut, dua warga sipil di bawah kekuasaan Surakarta terbunuh dan satu terluka. Ketika itu, terdapat berulang kali perampokan di Madiun dan Ponorogo sehingga pertempuran sering berlangsung.
Menurut babad, Ponorogo kerap kalah kekuatan dibandingkan Madiun karena ibu kotanya tidak dijaga benteng seperti milik Madiun.
Friksi ini diperparah dengan perselisihan antara dua keraton yakni Surakarta dan Yogyakarta. Pada masa ini banyak terjadi perselisihan di antara Surakarta dan Yogyakarta.
Babad Ngayogyakarta mencatat Daendels menganggap kasus ini penting dan pada akhirnya mengharapkan kompromi di antara Sultan Yogyakarta dan Sunan Surakarta.
Sultan menolak keterlibatan ini dan ingin menyelesaikannya dengan cara biasa dengan menghadirkan komite gabungan dari dua pihak (Yogyakarta dan Surakarta) di hadapan pejabat Eropa. Investigasi ini pada akhirnya memutuskan bahwa Raden Ronggo bersalah.
Meski demikian, Raden Ronggo menyatakan dalam pembelaannya bahwa aksi yang sama telah dilakukan juga oleh pihak Surakarta. Namun, Daendels yang mempunyai beberapa masalah lagi dengan Sultan Yogyakarta kemudian menuntut agar Hamengkubuwono II menyerahkan Raden Ronggo pada pemerintah Eropa.
Setelah mendapat banyak masalah dan ancaman, Sultan Yogyakarta setuju menyerahkan sang bupati wedana. Sultan berjanji Raden Ronggo akan diberangkatkan ke Buitenzorg yang kini menjadi Kota Bogor pada 26 November 1810.
Namun, pada malam hari tanggal 20 November 1810, Raden Ronggo melarikan diri dengan 300 orang bersenjata ke Madiun.
Di tempat lain, konflik Surakarta dan Yogyakarta berimbas kepada stabilitas di Belanda. Perlawanan Raden Ronggo Prawirodirjo III terjadi pada Februari 1810 ketika Gubernur Jenderal Belanda William Daendels mendapatkan laporan penting di Keraton Yogyakarta yang harus diselesaikan perihal gangguan keamanan.
Pada laporan itu disebutkan di Desa Ngebel dan Sekedok, Ponorogo yang masih merupakan wilayah kekuasaan Surakarta terjadi gangguan keamanan berupa penjarahan dan pembakaran.
Kejadian ini didalangi Raden Ronggo Prawirodirjo III sebagaimana dikutip dari "Antara Lawu dan Wilis : Arkeologi, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam Residen Madiun 1934 - 38".
Pada peristiwa tersebut, dua warga sipil di bawah kekuasaan Surakarta terbunuh dan satu terluka. Ketika itu, terdapat berulang kali perampokan di Madiun dan Ponorogo sehingga pertempuran sering berlangsung.
Menurut babad, Ponorogo kerap kalah kekuatan dibandingkan Madiun karena ibu kotanya tidak dijaga benteng seperti milik Madiun.
Friksi ini diperparah dengan perselisihan antara dua keraton yakni Surakarta dan Yogyakarta. Pada masa ini banyak terjadi perselisihan di antara Surakarta dan Yogyakarta.
Babad Ngayogyakarta mencatat Daendels menganggap kasus ini penting dan pada akhirnya mengharapkan kompromi di antara Sultan Yogyakarta dan Sunan Surakarta.
Sultan menolak keterlibatan ini dan ingin menyelesaikannya dengan cara biasa dengan menghadirkan komite gabungan dari dua pihak (Yogyakarta dan Surakarta) di hadapan pejabat Eropa. Investigasi ini pada akhirnya memutuskan bahwa Raden Ronggo bersalah.
Meski demikian, Raden Ronggo menyatakan dalam pembelaannya bahwa aksi yang sama telah dilakukan juga oleh pihak Surakarta. Namun, Daendels yang mempunyai beberapa masalah lagi dengan Sultan Yogyakarta kemudian menuntut agar Hamengkubuwono II menyerahkan Raden Ronggo pada pemerintah Eropa.
Setelah mendapat banyak masalah dan ancaman, Sultan Yogyakarta setuju menyerahkan sang bupati wedana. Sultan berjanji Raden Ronggo akan diberangkatkan ke Buitenzorg yang kini menjadi Kota Bogor pada 26 November 1810.
Namun, pada malam hari tanggal 20 November 1810, Raden Ronggo melarikan diri dengan 300 orang bersenjata ke Madiun.
(jon)