Kisah Aji Muhammad Idris, Sultan Kutai Kartanegara yang Gigih Melawan Penjajah Belanda hingga Titik Darah Penghabisan

Senin, 29 Agustus 2022 - 05:00 WIB
loading...
Kisah Aji Muhammad Idris, Sultan Kutai Kartanegara yang Gigih Melawan Penjajah Belanda hingga Titik Darah Penghabisan
Sultan ke-14 dari Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Sultan Aji Muhammad Idris. Foto/Ist.
A A A
Aji Muhammad Idris, namanya begitu harum untuk dikenang bagi Bangsa Indonesia. sejak 10 November 2021, sultan ke-14 Kesultanan Kutai Kartanegara ini, juga dianugerahi gelar pahlawan nasional.



Presiden Joko Widodo (Jokowi), menganugerahkan gelar pahlawan nasional, untuk Aji Muhammad Idris, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 109 dan 110/TK/Tahun 2021 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Jasa.



"Menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Jasa kepada yang namanya tersebut dalam lampiran keputusan ini, sebagai penghargaan atas jasa-jasanya sesuai ketentuan syarat khusus dalam rangka memperoleh gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Jasa sebagaimana diatur di dalam undang-undang," demikian kutipan isi Keppres tersebut.



Dilansir dari kutaikartanegara.com, keberadaan Aji Muhammad Idris dan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, tak lepas dari Kerajaan Kutai. Keberadaan Kerajaan Kutai, dibuktikan dengan temuan tujuh buah prasasti yang ditulis di atas yupa (tugu batu).

Dalam prasasti yang ditulis menggunakan bahasa Sansekerta, dan huruf Pallawa tersebut, diketahui adanya sebuah kerajaan di bawah kepemimpinan Sang Raja Mulawarman, putera dari Raja Aswawarman, cucu dari Maharaja Kudungga.

Kerajaan yang diperintah oleh Mulawarman tersebut, dalam prasasti disebut bernama Kerajaan Kutai Martadipura, dan berlokasi di seberang Kota Muara Kaman. Kemudian pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu, atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).

Adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini, akhirnya menimbulkan friksi. Pada abad ke-16 terjadi peperangan di antara kedua kerajaan Kutai tersebut. Kerajaan Kutai Kartanegara yang dipimpin Raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa, akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Hal inilah yang akhirnya mempengaruhi penggunaan nama-nama raja dan keluarga Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.



Pengaruh Islam juga membuat sebutan raja diganti Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).

Sultan Aji Muhammad Idris lahir di Jembayan, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, 1667 dan merupakan cucu menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng. Sultan Aji Muhammad Idris, adalah tokoh pemersatu yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi bangsa Indonesia.

Melalui perubahan sistem pemerintahan menjadi kesultanan, Sultan Aji Muhammad Idris berusaha menjalin hubungan dan menyatukan kekuatan dengan berbagai kesultanan dalam menentang kolonialisme.

Sultan Aji Muhammad Idris, berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan di wilayah Sulawesi Selatan, terutama kerajaan-kerajaan Bugis seperti Wajo, Bone, dan Soppeng. Ketika VOC mulai menguasai kerajaan Kutai Kartanegara dan Kerajaan Pasir, Sultan Aji Muhammad Idris sebagai pangeran Kutai terus melakukan perlawanan.

Selama memimpin Kutai Kartanegara, Sultan Aji Muhammad Idris, selalu konsisten mewujudkan visi mengusir kekuatan VOC dari Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Indonesia secara keseluruhan.



Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng, disebut dalam kutaikartanegara.com berangkat ke Wajo, Sulawesi Selatan, saat di wilayah tersebut terjadi pertempuran melawan VOC Belanda.

Sebagai menantu Sultan Wajo Lamaddukelleng, Sultan Aji Muhammad Idris bersama rakyat Bugis, bertempur habis-habisan melawan VOC Belanda. Akibat ditinggalkan Sultan Aji Muhammad Idris untuk bertempur, pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara, untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sultan Aji Muhammad Idris dimakamkan bersama mertuanya, Raja La Madukelleng dari Wajo, di pemakaman keluarga Raja Wajo, Sulawesi Selatan.

Sepeninggal Sultan Aji Muhammad Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Sementara, putera mahkota kerajaan, Aji Imbut yang saat itu masih kecil, dilarikan ke Wajo.

Aji Kado yang berhasil menguasai Kesultanan Kutai Kartanegara, kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.



Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Aji Muhammad Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin.

Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado. Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan.

Armada bajak laut Sulu, terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC Belanda, namun tidak dapat dipenuhi.



Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibu kota Pemarangan, dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.

Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibu kota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan, pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado, dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya.

Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong, dan tetap bertahan hingga kini. Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin, setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1801 seconds (0.1#10.140)