Kisah Aji Muhammad Idris, Sultan Kutai Kartanegara yang Gigih Melawan Penjajah Belanda hingga Titik Darah Penghabisan
loading...
A
A
A
Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sultan Aji Muhammad Idris dimakamkan bersama mertuanya, Raja La Madukelleng dari Wajo, di pemakaman keluarga Raja Wajo, Sulawesi Selatan.
Sepeninggal Sultan Aji Muhammad Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Sementara, putera mahkota kerajaan, Aji Imbut yang saat itu masih kecil, dilarikan ke Wajo.
Aji Kado yang berhasil menguasai Kesultanan Kutai Kartanegara, kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Aji Muhammad Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin.
Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado. Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan.
Armada bajak laut Sulu, terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC Belanda, namun tidak dapat dipenuhi.
Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibu kota Pemarangan, dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibu kota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan, pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado, dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya.
Sepeninggal Sultan Aji Muhammad Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Sementara, putera mahkota kerajaan, Aji Imbut yang saat itu masih kecil, dilarikan ke Wajo.
Aji Kado yang berhasil menguasai Kesultanan Kutai Kartanegara, kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Aji Muhammad Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin.
Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado. Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan.
Armada bajak laut Sulu, terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC Belanda, namun tidak dapat dipenuhi.
Baca Juga
Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibu kota Pemarangan, dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibu kota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan, pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado, dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya.