Gara-gara Pidato Peristiwa Surabaya 1945, Soekarno Nyaris Digantikan Tan Malaka
loading...
A
A
A
Bung Hatta sempat menawari jabatan menteri penerangan kepada Tan Malaka, tapi langsung ditolak. Dalam pertemuan tersendiri dengan Bung Karno, Bung Hatta kaget dengan langkah Soekarno terkait Testamen Politik Tan Malaka.
Surat wasiat hanya memperlihatkan ciri kepemimpinan feodal. Ia mengemukakan bahwa Soekarno telah bertindak terlalu jauh. Lagi pula Tan Malaka juga masih diragukan mampu menjaga kekompakan persatuan. Bung Hatta tegas menyatakan menolak menandatangani surat wasiat politik itu, jika kepemimpinan nasional hanya diserahkan kepada satu orang, yakni Tan Malaka.
Untuk menyelamatkan muka Bung Karno yang telah berjanji membuat Testamen Politik, Bung Hatta menyarankan jumlah pewaris kepemimpinan nasional dalam surat wasiat diperbanyak sebagai satu tim, bukan satu orang.
Tim itu terdiri dari Tan Malaka yang mewakili golongan kiri. Kemudian Sutan Sjahrir mewakili golongan tengah kiri, Wongsonegoro wakil golongan kanan atau feodal dan Sukiman wakil golongan Islam. "Golongan-golongan penting dalam masyarakat diharapkan akan lebih mendukung kepemimpinan nasional bila pewaris itu diperlukan," kata Hatta.
Pertemuan lanjutan digelar. Testamen Politik dengan isi sesuai saran Bung Hatta disodorkan. Tan Malaka menyatakan setuju. Karena Sukiman tidak berada di Jakarta, posisinya diwakili Iwa Kusumasumantri yang juga mengklaim bisa mewakili golongan Islam.
Masing-masing penandatangan dan pewaris akan mendapatkan surat wasiat itu. Namun dalam perjalanannya diketahui Sjahrir dan Wongsonegoro tidak pernah mendapatkan bukti fisik Testamen Politik itu.
Dalam artikel Kesadaran Nasional, Ahmad Subardjo mengatakan, karena situasi revolusi yang tidak aman, hubungan pers, lalu lintas dan lain sebagainya, dirinya tidak menyampaikan kopi surat wasiat politik itu.
Pada peristiwa pertempuran arek-arek Surabaya yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan, Sukarni yang sedikit banyak dipengaruhi Testamen Politik Tan Malaka, mendesak Soekarno tidak melanjutkan lagi jabatan kepresidenannya.
Surat wasiat hanya memperlihatkan ciri kepemimpinan feodal. Ia mengemukakan bahwa Soekarno telah bertindak terlalu jauh. Lagi pula Tan Malaka juga masih diragukan mampu menjaga kekompakan persatuan. Bung Hatta tegas menyatakan menolak menandatangani surat wasiat politik itu, jika kepemimpinan nasional hanya diserahkan kepada satu orang, yakni Tan Malaka.
Untuk menyelamatkan muka Bung Karno yang telah berjanji membuat Testamen Politik, Bung Hatta menyarankan jumlah pewaris kepemimpinan nasional dalam surat wasiat diperbanyak sebagai satu tim, bukan satu orang.
Baca Juga
Tim itu terdiri dari Tan Malaka yang mewakili golongan kiri. Kemudian Sutan Sjahrir mewakili golongan tengah kiri, Wongsonegoro wakil golongan kanan atau feodal dan Sukiman wakil golongan Islam. "Golongan-golongan penting dalam masyarakat diharapkan akan lebih mendukung kepemimpinan nasional bila pewaris itu diperlukan," kata Hatta.
Pertemuan lanjutan digelar. Testamen Politik dengan isi sesuai saran Bung Hatta disodorkan. Tan Malaka menyatakan setuju. Karena Sukiman tidak berada di Jakarta, posisinya diwakili Iwa Kusumasumantri yang juga mengklaim bisa mewakili golongan Islam.
Masing-masing penandatangan dan pewaris akan mendapatkan surat wasiat itu. Namun dalam perjalanannya diketahui Sjahrir dan Wongsonegoro tidak pernah mendapatkan bukti fisik Testamen Politik itu.
Dalam artikel Kesadaran Nasional, Ahmad Subardjo mengatakan, karena situasi revolusi yang tidak aman, hubungan pers, lalu lintas dan lain sebagainya, dirinya tidak menyampaikan kopi surat wasiat politik itu.
Pada peristiwa pertempuran arek-arek Surabaya yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan, Sukarni yang sedikit banyak dipengaruhi Testamen Politik Tan Malaka, mendesak Soekarno tidak melanjutkan lagi jabatan kepresidenannya.