Kedekatan Bung Tomo dengan Kiai Besar di Jawa meski Tak Pernah Nyantri
loading...
A
A
A
SURABAYA - Bung Tomo menjadi aktor intelektual yang mengobarkan Perang 10 November 1945 di Surabaya. Sosoknya tak hanya dikenal memiliki keberanian, tapi juga cukup religius.
Sejak kecil Sutomo nama aslinya, seseorang yang taat beragama. Bung Tomo kecil selalu diajari salat, menunaikan ibadah puasa, membayar zakat kepada fakir miskin, mengaji Al-Qur'an, serta kegiatan keagamaan lainnya.
Dari pendidikan semacam itulah dia tumbuh menjadi seorang pribadi yang cinta kepada bangsanya, menentang kemiskinan akibat kesewenang-wenangan para penjajah, dan selalu berjuang membela orang yang lemah.
Sejak masa kecilnya, Sutomo tumbuh menjadi seorang muslim yang taat beribadah, menghargai sesamanya, namun dia juga kritis terhadap lingkungan sosial, pemimpinnya, para tokoh di masanya, para politisi, termasuk juga para kiai.
Karena banyak mengikuti jejak para kiai sekaligus banyak mengenyam pendidikan keagamaan yang salah satunya menekankan pada kejujuran, maka Bung Tomo terbiasa berbicara dengan terus-terang sebagaimana dikutip dari "Bung Tomo: Hidup dan Mati Pengobar Semangat Tempur 10 November" dari tulisan Abdul Waid.
Bung Tomo adalah seorang anak yang suka bekerja keras tanpa mengenal lelah dan selalu termotivasi untuk memperbaiki keadaan. Segala keadaan yang dianggapnya melenceng tidak benar, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan orang banyak, dia selalu berhasrat memperbaikinya minimal dengan saran dan kritik yang tajam dan lugas.
Sosoknya juga memiliki kedekatan dengan para kiai dan tokoh agama di Jawa. Hal ini pula yang mengukuhkan semangat dan asumsi dasar dalam jiwa Bung Tomo bahwa sesungguhnya sebuah perjuangan dengan niat ikhlas membela rakyat Indonesia dari penjajahan dan menegakkan kemerdekaan atas nama Allah sangat diyakininya tidak akan mendatangkan kerugian sedikit pun meskipun nyawa taruhannya.
Walaupun masa kecil Bung Tomo tidak pernah nyantri di pesantren, namun hampir semua kiai berpengaruh di Jawa Timur, pada masa itu sangat dekat dan searah dengan perjuangan Bung Tomo. Artinya, Bung Tomo tidak hanya berinteraksi dengan kalangan tokoh nasionalis, tetapi juga berinteraksi dengan kalangan ulama yang berpengaruh.
Tokoh-tokoh agama pendukung perjuangan kemerdekaan yang terdiri dari kalangan ulama serta kiai- kiai pondok pesantren tersohor di tanah Jawa seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, dan beberapa kiai pesantren menjadi mitra yang cukup dekat dengan Bung Tomo. Mereka searah dan seideologi dengan perjuangan Bung Tomo.
Buktinya, para kiai itu juga mengerahkan santri-santrinya dan masyarakat sipil di lingkungan pesantrennya sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap penjajah ketika terjadi pertempuran 10 November di Surabaya yang dipelopori Bung Tomo. Masyarakat sipil pun mengikuti perintah kiai.
Lihat Juga: Digadang-gadang Jadi Panglima, Mayjen Imam Soedja'i Pilih Berperang pada Pertempuran November 1945
Sejak kecil Sutomo nama aslinya, seseorang yang taat beragama. Bung Tomo kecil selalu diajari salat, menunaikan ibadah puasa, membayar zakat kepada fakir miskin, mengaji Al-Qur'an, serta kegiatan keagamaan lainnya.
Dari pendidikan semacam itulah dia tumbuh menjadi seorang pribadi yang cinta kepada bangsanya, menentang kemiskinan akibat kesewenang-wenangan para penjajah, dan selalu berjuang membela orang yang lemah.
Sejak masa kecilnya, Sutomo tumbuh menjadi seorang muslim yang taat beribadah, menghargai sesamanya, namun dia juga kritis terhadap lingkungan sosial, pemimpinnya, para tokoh di masanya, para politisi, termasuk juga para kiai.
Karena banyak mengikuti jejak para kiai sekaligus banyak mengenyam pendidikan keagamaan yang salah satunya menekankan pada kejujuran, maka Bung Tomo terbiasa berbicara dengan terus-terang sebagaimana dikutip dari "Bung Tomo: Hidup dan Mati Pengobar Semangat Tempur 10 November" dari tulisan Abdul Waid.
Bung Tomo adalah seorang anak yang suka bekerja keras tanpa mengenal lelah dan selalu termotivasi untuk memperbaiki keadaan. Segala keadaan yang dianggapnya melenceng tidak benar, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan orang banyak, dia selalu berhasrat memperbaikinya minimal dengan saran dan kritik yang tajam dan lugas.
Sosoknya juga memiliki kedekatan dengan para kiai dan tokoh agama di Jawa. Hal ini pula yang mengukuhkan semangat dan asumsi dasar dalam jiwa Bung Tomo bahwa sesungguhnya sebuah perjuangan dengan niat ikhlas membela rakyat Indonesia dari penjajahan dan menegakkan kemerdekaan atas nama Allah sangat diyakininya tidak akan mendatangkan kerugian sedikit pun meskipun nyawa taruhannya.
Walaupun masa kecil Bung Tomo tidak pernah nyantri di pesantren, namun hampir semua kiai berpengaruh di Jawa Timur, pada masa itu sangat dekat dan searah dengan perjuangan Bung Tomo. Artinya, Bung Tomo tidak hanya berinteraksi dengan kalangan tokoh nasionalis, tetapi juga berinteraksi dengan kalangan ulama yang berpengaruh.
Tokoh-tokoh agama pendukung perjuangan kemerdekaan yang terdiri dari kalangan ulama serta kiai- kiai pondok pesantren tersohor di tanah Jawa seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, dan beberapa kiai pesantren menjadi mitra yang cukup dekat dengan Bung Tomo. Mereka searah dan seideologi dengan perjuangan Bung Tomo.
Buktinya, para kiai itu juga mengerahkan santri-santrinya dan masyarakat sipil di lingkungan pesantrennya sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap penjajah ketika terjadi pertempuran 10 November di Surabaya yang dipelopori Bung Tomo. Masyarakat sipil pun mengikuti perintah kiai.
Lihat Juga: Digadang-gadang Jadi Panglima, Mayjen Imam Soedja'i Pilih Berperang pada Pertempuran November 1945
(jon)