Gara-gara Pidato Peristiwa Surabaya 1945, Soekarno Nyaris Digantikan Tan Malaka
loading...
A
A
A
Kemerdekaan Indonesia baru seumur jagung, usai diproklamasikan Soekarno -Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Persoalan kepemimpinan nasional sudah muncul di tengah gejolak revolusi dan agresi militer.
Sukarni atau Soekarni, tokoh di balik peristiwa Rengasdengklok, tiba-tiba mendesak Soekarno atau Bung Karno untuk tidak melanjutkan jabatan kepresidenan Indonesia. Sukarni mendatangi Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Kepada Bung Hatta, laki-laki kelahiran Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, yang dikenal bersepak terjang radikal itu, terang-terangan mengungkapkan pikirannya. Sukarni menilai Bung Karno tidak pantas lagi menjabat Presiden Republik Indonesia.
Ketidakpantasan itu timbul, akibat pidato Bung Karno yang meminta rakyat tidak tersulut atas peristiwa tewasnya Jenderal Inggris (Sekutu) AWS Mallaby di Surabaya, pada akhir Oktober 1945.
Peristiwa yang lantas membuat Sekutu mengultimatum Arek-arek Surabaya, untuk menyerah itu mendapat respons pidato Bung Karno yang intinya meminta rakyat Surabaya dan Indonesia pada umumnya, tetap tenang.
Permintaan tetap tenteram menghadapi ancaman Sekutu, bagi Sukarni tidak pantas diucapkan pemimpin revolusioner yang sedang berjuang. Kepemimpinan dalam situasi revolusi harus dijalankan secara revolusioner.
"Tan Malaka lah, katanya (Sukarni) yang sesuai tuntutan revolusi dalam memimpin perjuangan," kata Bung Hatta seperti dikutip Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta Biografi Politik.
Apa yang didesakkan Sukarni kepada Bung Karno, tidak terlepas dari peristiwa Testamen Politik Tan Malaka atau surat wasiat politik yang ditandatangani Soekarno-Hatta pada 1 Oktober 1945.
Peristiwa yang terjadi didahului peristiwa 25 Agustus 1945, yakni kehadiran Tan Malaka di rumah Ahmad Subardjo, Jakarta. Secara rahasia Tan Malaka kemudian bertemu Bung Karno di rumah dokter Soeharto atau Suharto, dokter pribadi Bung Karno.
Dalam artikel Sekitar Testamen untuk Tan Malaka, Sayuti Melik mengatakan, Bung Karno yang menginginkan pertemuan itu. Sayuti Melik yang di awal masa revolusi 1945 menjadi pembantu dekat Bung Karno juga mengatakan, dalam pertemuan itu muncul inisiatif Testamen Politik yang datangnya juga dari Bung Karno.
Tan Malaka merupakan tokoh pergerakan yang dikagumi. Termasuk Bung Karno juga takjub dengan pandangan-pandangan politik Tan Malaka. Pikiran Tan Malaka sangat mempengaruhi tokoh-tokoh pemuda di Jakarta, terutama Sukarni, Chairul Saleh, dan Adam Malik.
Pembicaraan dalam pertemuan antara Bung Karno dan Tan Malaka itu sampai pada kesimpulan, perlu dibuat surat yang menyatakan Tan Malaka sebagai pelanjut kepemimpinan perjuangan nasional.
Surat wasiat itu bertujuan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ketika pemimpin nasional yang ada terbunuh atau dibunuh. Sebab saat itu santer beredar kabar, Belanda yang membonceng Sekutu akan menangkap Soekarno dan Mohammad Hatta.
"Roda revolusi yang sudah mulai berputar hendaknya tetap diputar. Perlu pimpinan berlanjut," tulis Deliar Noer dalam Mohammad Hatta Biografi Politik.
Pertemuan berikutnya dengan Tan Malaka melibatkan Bung Hatta. Bung Hatta lebih memperlihatkan sikap diam, sedangkan Bung Karno seperti kebiasaanya yang terbuka dan penuh antusias.
Bung Hatta sempat menawari jabatan menteri penerangan kepada Tan Malaka, tapi langsung ditolak. Dalam pertemuan tersendiri dengan Bung Karno, Bung Hatta kaget dengan langkah Soekarno terkait Testamen Politik Tan Malaka.
Surat wasiat hanya memperlihatkan ciri kepemimpinan feodal. Ia mengemukakan bahwa Soekarno telah bertindak terlalu jauh. Lagi pula Tan Malaka juga masih diragukan mampu menjaga kekompakan persatuan. Bung Hatta tegas menyatakan menolak menandatangani surat wasiat politik itu, jika kepemimpinan nasional hanya diserahkan kepada satu orang, yakni Tan Malaka.
Untuk menyelamatkan muka Bung Karno yang telah berjanji membuat Testamen Politik, Bung Hatta menyarankan jumlah pewaris kepemimpinan nasional dalam surat wasiat diperbanyak sebagai satu tim, bukan satu orang.
Tim itu terdiri dari Tan Malaka yang mewakili golongan kiri. Kemudian Sutan Sjahrir mewakili golongan tengah kiri, Wongsonegoro wakil golongan kanan atau feodal dan Sukiman wakil golongan Islam. "Golongan-golongan penting dalam masyarakat diharapkan akan lebih mendukung kepemimpinan nasional bila pewaris itu diperlukan," kata Hatta.
Pertemuan lanjutan digelar. Testamen Politik dengan isi sesuai saran Bung Hatta disodorkan. Tan Malaka menyatakan setuju. Karena Sukiman tidak berada di Jakarta, posisinya diwakili Iwa Kusumasumantri yang juga mengklaim bisa mewakili golongan Islam.
Masing-masing penandatangan dan pewaris akan mendapatkan surat wasiat itu. Namun dalam perjalanannya diketahui Sjahrir dan Wongsonegoro tidak pernah mendapatkan bukti fisik Testamen Politik itu.
Dalam artikel Kesadaran Nasional, Ahmad Subardjo mengatakan, karena situasi revolusi yang tidak aman, hubungan pers, lalu lintas dan lain sebagainya, dirinya tidak menyampaikan kopi surat wasiat politik itu.
Pada peristiwa pertempuran arek-arek Surabaya yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan, Sukarni yang sedikit banyak dipengaruhi Testamen Politik Tan Malaka, mendesak Soekarno tidak melanjutkan lagi jabatan kepresidenannya.
Bung Hatta menanggapi desakan revolusioner Sukarni dengan kepala dingin. Ia mengingatkan Sukarni bahwa mengganti kepala negara tidak sama dengan mengganti ketua perkumpulan. Ada mekanisme yang harus dilalui, di mana harus ada pembahasan di dalam Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).
"Hatta menganjurkan Sukarni untuk membicarakan hal ini dalam Badan Pekerja (KNIP), karena Sukarni kebetulan anggota Badan ini," tulis Deliar Noer.
Sukarni tidak mengikuti anjuran Bung Hatta. Ia memilih melakukan manuver politik dengan menggalang kekuatan, yakni mengumpulkan kawan-kawannya yang kemudian bersama-sama masuk ke dalam wadah Persatuan Perjuangan.
Pendirian Persatuan Perjuangan yang didalamnya berisi 141 organisasi politik, termasuk laskar dan partai politik dipelopori Tan Malaka pada tahun 1946 di Purwokerto, Jawa Tengah.
Upaya politik menggantikan kepemimpinan Soekarno -Hatta melalui dasar Testamen Politik, praktis gagal. Namun upayanya terus digelorakan. Dalam artikel Surat Wasiat Bung Karno buat Tan Malaka, disebutkan bahwa pada 29 Maret 1946, Soekarno dan Hatta menyatakan mencabut Testamen Politik itu, tapi tidak diumumkan.
Sayuti Melik dalam tulisannya Sekitar Testamen, mengatakan fisik surat wasiat politik itu kemudian berada di tangan Bung Karno bersama naskah asli atau teks proklamasi kemerdekaan. Oleh Bung Karno, surat wasiat politik itu kemudian dibakar.
Sementara pada 21 Februari 1949, Tan Malaka yang tengah melakukan safari politik di Pulau Jawa, yakni dalam rangka memastikan kelayakannya sebagai pewaris Testamen Politik, terbunuh di Selopanggung, Kabupaten Kediri.
Sukarni atau Soekarni, tokoh di balik peristiwa Rengasdengklok, tiba-tiba mendesak Soekarno atau Bung Karno untuk tidak melanjutkan jabatan kepresidenan Indonesia. Sukarni mendatangi Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Kepada Bung Hatta, laki-laki kelahiran Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, yang dikenal bersepak terjang radikal itu, terang-terangan mengungkapkan pikirannya. Sukarni menilai Bung Karno tidak pantas lagi menjabat Presiden Republik Indonesia.
Ketidakpantasan itu timbul, akibat pidato Bung Karno yang meminta rakyat tidak tersulut atas peristiwa tewasnya Jenderal Inggris (Sekutu) AWS Mallaby di Surabaya, pada akhir Oktober 1945.
Peristiwa yang lantas membuat Sekutu mengultimatum Arek-arek Surabaya, untuk menyerah itu mendapat respons pidato Bung Karno yang intinya meminta rakyat Surabaya dan Indonesia pada umumnya, tetap tenang.
Permintaan tetap tenteram menghadapi ancaman Sekutu, bagi Sukarni tidak pantas diucapkan pemimpin revolusioner yang sedang berjuang. Kepemimpinan dalam situasi revolusi harus dijalankan secara revolusioner.
"Tan Malaka lah, katanya (Sukarni) yang sesuai tuntutan revolusi dalam memimpin perjuangan," kata Bung Hatta seperti dikutip Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta Biografi Politik.
Apa yang didesakkan Sukarni kepada Bung Karno, tidak terlepas dari peristiwa Testamen Politik Tan Malaka atau surat wasiat politik yang ditandatangani Soekarno-Hatta pada 1 Oktober 1945.
Baca Juga
Peristiwa yang terjadi didahului peristiwa 25 Agustus 1945, yakni kehadiran Tan Malaka di rumah Ahmad Subardjo, Jakarta. Secara rahasia Tan Malaka kemudian bertemu Bung Karno di rumah dokter Soeharto atau Suharto, dokter pribadi Bung Karno.
Dalam artikel Sekitar Testamen untuk Tan Malaka, Sayuti Melik mengatakan, Bung Karno yang menginginkan pertemuan itu. Sayuti Melik yang di awal masa revolusi 1945 menjadi pembantu dekat Bung Karno juga mengatakan, dalam pertemuan itu muncul inisiatif Testamen Politik yang datangnya juga dari Bung Karno.
Tan Malaka merupakan tokoh pergerakan yang dikagumi. Termasuk Bung Karno juga takjub dengan pandangan-pandangan politik Tan Malaka. Pikiran Tan Malaka sangat mempengaruhi tokoh-tokoh pemuda di Jakarta, terutama Sukarni, Chairul Saleh, dan Adam Malik.
Pembicaraan dalam pertemuan antara Bung Karno dan Tan Malaka itu sampai pada kesimpulan, perlu dibuat surat yang menyatakan Tan Malaka sebagai pelanjut kepemimpinan perjuangan nasional.
Surat wasiat itu bertujuan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ketika pemimpin nasional yang ada terbunuh atau dibunuh. Sebab saat itu santer beredar kabar, Belanda yang membonceng Sekutu akan menangkap Soekarno dan Mohammad Hatta.
Baca Juga
"Roda revolusi yang sudah mulai berputar hendaknya tetap diputar. Perlu pimpinan berlanjut," tulis Deliar Noer dalam Mohammad Hatta Biografi Politik.
Pertemuan berikutnya dengan Tan Malaka melibatkan Bung Hatta. Bung Hatta lebih memperlihatkan sikap diam, sedangkan Bung Karno seperti kebiasaanya yang terbuka dan penuh antusias.
Bung Hatta sempat menawari jabatan menteri penerangan kepada Tan Malaka, tapi langsung ditolak. Dalam pertemuan tersendiri dengan Bung Karno, Bung Hatta kaget dengan langkah Soekarno terkait Testamen Politik Tan Malaka.
Surat wasiat hanya memperlihatkan ciri kepemimpinan feodal. Ia mengemukakan bahwa Soekarno telah bertindak terlalu jauh. Lagi pula Tan Malaka juga masih diragukan mampu menjaga kekompakan persatuan. Bung Hatta tegas menyatakan menolak menandatangani surat wasiat politik itu, jika kepemimpinan nasional hanya diserahkan kepada satu orang, yakni Tan Malaka.
Untuk menyelamatkan muka Bung Karno yang telah berjanji membuat Testamen Politik, Bung Hatta menyarankan jumlah pewaris kepemimpinan nasional dalam surat wasiat diperbanyak sebagai satu tim, bukan satu orang.
Baca Juga
Tim itu terdiri dari Tan Malaka yang mewakili golongan kiri. Kemudian Sutan Sjahrir mewakili golongan tengah kiri, Wongsonegoro wakil golongan kanan atau feodal dan Sukiman wakil golongan Islam. "Golongan-golongan penting dalam masyarakat diharapkan akan lebih mendukung kepemimpinan nasional bila pewaris itu diperlukan," kata Hatta.
Pertemuan lanjutan digelar. Testamen Politik dengan isi sesuai saran Bung Hatta disodorkan. Tan Malaka menyatakan setuju. Karena Sukiman tidak berada di Jakarta, posisinya diwakili Iwa Kusumasumantri yang juga mengklaim bisa mewakili golongan Islam.
Masing-masing penandatangan dan pewaris akan mendapatkan surat wasiat itu. Namun dalam perjalanannya diketahui Sjahrir dan Wongsonegoro tidak pernah mendapatkan bukti fisik Testamen Politik itu.
Dalam artikel Kesadaran Nasional, Ahmad Subardjo mengatakan, karena situasi revolusi yang tidak aman, hubungan pers, lalu lintas dan lain sebagainya, dirinya tidak menyampaikan kopi surat wasiat politik itu.
Pada peristiwa pertempuran arek-arek Surabaya yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan, Sukarni yang sedikit banyak dipengaruhi Testamen Politik Tan Malaka, mendesak Soekarno tidak melanjutkan lagi jabatan kepresidenannya.
Bung Hatta menanggapi desakan revolusioner Sukarni dengan kepala dingin. Ia mengingatkan Sukarni bahwa mengganti kepala negara tidak sama dengan mengganti ketua perkumpulan. Ada mekanisme yang harus dilalui, di mana harus ada pembahasan di dalam Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).
"Hatta menganjurkan Sukarni untuk membicarakan hal ini dalam Badan Pekerja (KNIP), karena Sukarni kebetulan anggota Badan ini," tulis Deliar Noer.
Sukarni tidak mengikuti anjuran Bung Hatta. Ia memilih melakukan manuver politik dengan menggalang kekuatan, yakni mengumpulkan kawan-kawannya yang kemudian bersama-sama masuk ke dalam wadah Persatuan Perjuangan.
Pendirian Persatuan Perjuangan yang didalamnya berisi 141 organisasi politik, termasuk laskar dan partai politik dipelopori Tan Malaka pada tahun 1946 di Purwokerto, Jawa Tengah.
Baca Juga
Upaya politik menggantikan kepemimpinan Soekarno -Hatta melalui dasar Testamen Politik, praktis gagal. Namun upayanya terus digelorakan. Dalam artikel Surat Wasiat Bung Karno buat Tan Malaka, disebutkan bahwa pada 29 Maret 1946, Soekarno dan Hatta menyatakan mencabut Testamen Politik itu, tapi tidak diumumkan.
Sayuti Melik dalam tulisannya Sekitar Testamen, mengatakan fisik surat wasiat politik itu kemudian berada di tangan Bung Karno bersama naskah asli atau teks proklamasi kemerdekaan. Oleh Bung Karno, surat wasiat politik itu kemudian dibakar.
Sementara pada 21 Februari 1949, Tan Malaka yang tengah melakukan safari politik di Pulau Jawa, yakni dalam rangka memastikan kelayakannya sebagai pewaris Testamen Politik, terbunuh di Selopanggung, Kabupaten Kediri.
(eyt)