Ahli ITB Angkat Bicara Penanganan Polusi Udara Indonesia Terus Memburuk
loading...
A
A
A
BANDUNG - Ahli ITB angkat bicara terkait buruknya udara di Indonesia akibat kebakaran hutan yang terus memburuk. Kondisi udara yang terus memburuk bisa membahayakan manusia.
Dosen peneliti di Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah FTSL (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan) ITB, Dr. Windy menjelaskan, konsentrasi rata-rata PM 2,5 (debu udara berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron) di Indonesia yang terukur selama 24 jam sebesar 80 ?/m3m3.
Hal itu jumlah yang sangat tinggi dan melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia di PP 22/2021, bahkan lima kali lebih tinggi dari nilai ambang batas yang ditetapkan oleh WHO (World Health Organisation).
Karena ukurannya yang sangat kecil, PM 2,5 sangat berbahaya jika terhirup oleh manusia. Tidak hanya dapat masuk ke paru-paru dan sistem kerja jantung, partikulat ini menyebabkan berbagai penyakit dalam, seperti kanker paru, penyakit jantung dan stroke. Buruknya kualitas udara akibat PM 2,5 juga mengganggu aktivitas sehari-hari masyarakat, khususnya terhadap golongan anak-anak, lansia, serta pengidap asma dan bronkitis.
“Sementara itu, ada saudara-saudara kita di daerah lain yang hampir setiap tahunnya harus menghirup udara 13 kali lebih buruk dari kualitas udara Jakarta,” Dr. Windy memaparkan.
Baca juga: Puluhan Hektare Hutan di Samosir Terbakar, Asap Tebal Membuat Warga Panik
Setiap musim kemarau, penduduk Sumatera dan Kalimantan sering merasakan penurunan kualitas udara akibat asap dari kebakaran lahan gambut. Kebakaran September 2019 merupakan salah satu yang terparah; nilai maksimum rata-rata harian konsentrasi PM 2,5 adalah 1100 ?/m3m3.
Formasi lahan gambut dimulai dari gugur dan tumbangnya daun, ranting atau batang di hutan hujan tropis. Proses ini yang sudah terjadi selama jutaan tahun menyebabkan bagian-bagian tumbuhan ini menumpuk di lantai hutan dan menggenang dari air hujan. Kondisi ini membuat oksigen tidak dapat masuk ke jasad tanaman, dan mikroorganisme membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengurainya dalam kondisi anaerobik.
Oleh karena itu, bagian-bagian tumbuhan ini tidak dapat terurai secara sempurna dan mengakumulasi menjadi lahan gambut, tanah organik yang memiliki kandungan karbon yang tinggi.
Ia melanjutkan, kandungan karbon sebanyak ini berasal dari hasil fotosintesis tanaman yang mengikat karbon dioksida di udara, dan sebagian karbon tersebut tersimpan di jasad tanaman. “Tumpukan jasad tanaman tadi sebenarnya sama dengan tumpukan karbon atau biasa disebut dengan carbon pool,” Dr. Windy menambahkan.
Dosen peneliti di Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah FTSL (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan) ITB, Dr. Windy menjelaskan, konsentrasi rata-rata PM 2,5 (debu udara berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron) di Indonesia yang terukur selama 24 jam sebesar 80 ?/m3m3.
Hal itu jumlah yang sangat tinggi dan melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia di PP 22/2021, bahkan lima kali lebih tinggi dari nilai ambang batas yang ditetapkan oleh WHO (World Health Organisation).
Karena ukurannya yang sangat kecil, PM 2,5 sangat berbahaya jika terhirup oleh manusia. Tidak hanya dapat masuk ke paru-paru dan sistem kerja jantung, partikulat ini menyebabkan berbagai penyakit dalam, seperti kanker paru, penyakit jantung dan stroke. Buruknya kualitas udara akibat PM 2,5 juga mengganggu aktivitas sehari-hari masyarakat, khususnya terhadap golongan anak-anak, lansia, serta pengidap asma dan bronkitis.
“Sementara itu, ada saudara-saudara kita di daerah lain yang hampir setiap tahunnya harus menghirup udara 13 kali lebih buruk dari kualitas udara Jakarta,” Dr. Windy memaparkan.
Baca juga: Puluhan Hektare Hutan di Samosir Terbakar, Asap Tebal Membuat Warga Panik
Setiap musim kemarau, penduduk Sumatera dan Kalimantan sering merasakan penurunan kualitas udara akibat asap dari kebakaran lahan gambut. Kebakaran September 2019 merupakan salah satu yang terparah; nilai maksimum rata-rata harian konsentrasi PM 2,5 adalah 1100 ?/m3m3.
Formasi lahan gambut dimulai dari gugur dan tumbangnya daun, ranting atau batang di hutan hujan tropis. Proses ini yang sudah terjadi selama jutaan tahun menyebabkan bagian-bagian tumbuhan ini menumpuk di lantai hutan dan menggenang dari air hujan. Kondisi ini membuat oksigen tidak dapat masuk ke jasad tanaman, dan mikroorganisme membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengurainya dalam kondisi anaerobik.
Oleh karena itu, bagian-bagian tumbuhan ini tidak dapat terurai secara sempurna dan mengakumulasi menjadi lahan gambut, tanah organik yang memiliki kandungan karbon yang tinggi.
Ia melanjutkan, kandungan karbon sebanyak ini berasal dari hasil fotosintesis tanaman yang mengikat karbon dioksida di udara, dan sebagian karbon tersebut tersimpan di jasad tanaman. “Tumpukan jasad tanaman tadi sebenarnya sama dengan tumpukan karbon atau biasa disebut dengan carbon pool,” Dr. Windy menambahkan.