Melarang Mudik, Pemerintah Dinilai Langgar Hak Asasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyoalkan legitimasi pemerintah melarang seseorang mudik atau pulang kampung. Kata Refly, merujuk pada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ada ketentuan yang harus diperhatikan dalam pembatasan mudik atau pulang kampung.
Kebebasan bergerak atau berpindah diatur dalam Dalam Pasal 27 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.
“Jadi pergerakan kita mau Palembang, Solo atau ke kota lainnya adalah hak asasi manusia,” kata Refly dalam siaran di Youtube pribadinya bertajuk ‘Mudik vs Pulang Kampung: Maju Kepentok, Mundur Kejedot!’ pada Minggu (26/4/2020). ( Baca:Pertamina Dianggap Lamban Tindak Lanjuti Permintaan Jokowi Soal Harga BBM )
Dia pun merujuk pada Pasal 28J ayat (2) pada UUD 1945. Ketentuan itu menurut Refly memang mengandung atau membolehkan adanya pembatasan mudik. Sebab, dalam konstitusi UUD 1945 maupun UU No.39/1999, hak asasi manusia (mudik) itu dapat dibatasi. Asalkan, pembatasannya di dalam undang-undang.
“Lah, kok ini pembatasannya dalam permenhub. Ini yang menjadi persoalan. Terbitnya Permenhub No. 25/2020 tentang larangan mudik, maka sesungguhnya sudah ada pelanggaran atau pembatasan terhadap hak asasi manusia,” celetuk mantan Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) atau Pelindo I tersebut.
Refly memaklumi pembatasan tersebut bisa dibenarkan karena ada deklarasi dari Presiden Jokowi mengenai darurat kesehatan masyarakat seusai dengan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, deklarasi darurat bencana nasional sesuai UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
“Kalau baca Permenhub tersebut, dasarnya justru UU Kekarantinaan Kesehatan, di mana ada kewenangan pemerintah setelah mengeluarkan status darurat kesehatan masyarakat, untuk melarang orang bepergian keluar dan masuk. Itu artinya karantina wilayah,” ujar eks Komisaris Utama PT Jasa Marga itu.
Hanya saja, pemerintah tidak menerapkan karantina wilayah, melainkan PSBB atau populer dikenal social distancing.
“Yang diterapkan adalah social distancing, tapi materi substansinya adalah karantina wilayah. Bagaimana ini duduk persoalannya? Entah pemerintah sengaja melakukan penyelundupan aturan hukum. Kalau karantina wilayah yang diterapkan, maka kebijakan tersebut mewajibkan pemerintah untuk menyediakan kebutuhan dasar penduduk yang dikarantina, termasuk hewan ternak,” terang dia.
Kebebasan bergerak atau berpindah diatur dalam Dalam Pasal 27 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.
“Jadi pergerakan kita mau Palembang, Solo atau ke kota lainnya adalah hak asasi manusia,” kata Refly dalam siaran di Youtube pribadinya bertajuk ‘Mudik vs Pulang Kampung: Maju Kepentok, Mundur Kejedot!’ pada Minggu (26/4/2020). ( Baca:Pertamina Dianggap Lamban Tindak Lanjuti Permintaan Jokowi Soal Harga BBM )
Dia pun merujuk pada Pasal 28J ayat (2) pada UUD 1945. Ketentuan itu menurut Refly memang mengandung atau membolehkan adanya pembatasan mudik. Sebab, dalam konstitusi UUD 1945 maupun UU No.39/1999, hak asasi manusia (mudik) itu dapat dibatasi. Asalkan, pembatasannya di dalam undang-undang.
“Lah, kok ini pembatasannya dalam permenhub. Ini yang menjadi persoalan. Terbitnya Permenhub No. 25/2020 tentang larangan mudik, maka sesungguhnya sudah ada pelanggaran atau pembatasan terhadap hak asasi manusia,” celetuk mantan Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) atau Pelindo I tersebut.
Refly memaklumi pembatasan tersebut bisa dibenarkan karena ada deklarasi dari Presiden Jokowi mengenai darurat kesehatan masyarakat seusai dengan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, deklarasi darurat bencana nasional sesuai UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
“Kalau baca Permenhub tersebut, dasarnya justru UU Kekarantinaan Kesehatan, di mana ada kewenangan pemerintah setelah mengeluarkan status darurat kesehatan masyarakat, untuk melarang orang bepergian keluar dan masuk. Itu artinya karantina wilayah,” ujar eks Komisaris Utama PT Jasa Marga itu.
Hanya saja, pemerintah tidak menerapkan karantina wilayah, melainkan PSBB atau populer dikenal social distancing.
“Yang diterapkan adalah social distancing, tapi materi substansinya adalah karantina wilayah. Bagaimana ini duduk persoalannya? Entah pemerintah sengaja melakukan penyelundupan aturan hukum. Kalau karantina wilayah yang diterapkan, maka kebijakan tersebut mewajibkan pemerintah untuk menyediakan kebutuhan dasar penduduk yang dikarantina, termasuk hewan ternak,” terang dia.
(ihs)