Ribut-ribut Logo Halal, Ketua Padjajaran Halal Center Unpad: Warga Perlu Edukasi Sertifikasi
loading...
A
A
A
BANDUNG - Ketua Padjadjaran Halal Center Universitas Padjadjaran Souvia Rahimah mengungkapkan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terkait sertifikasi halal. Salah satunya adalah edukasi mengenai sertifikasi halal di masyarakat.
“Orang di Indonesia masih banyak yang belum memahami urgensi sertifikasi halal,” ujar Souvia menanggapi polemik logo halal akhir akhir ini.
Souvia mengatakan, halal seyogianya menjadi standar mutu yang menjamin suatu produk benar-benar aman dikonsumsi. Sementara bagi umat Islam, halal tidak sekadar jaminat mutu, tetapi juga sesuai secara syariat.
Baca juga: Tanggulangi Pengangguran Usia Produktif, Disnaker Cimahi Jalin Kemitraan dengan BLK
Sampai saat ini, masih banyak produk di Indonesia yang rentan menjadi tidak halal. Halal di sini bukan hanya tidak menggunakan bahan pangan yang dilarang dalam syariat. Produk halal juga harus terjamin prosesnya. Mulai dari proses penyembelihan hingga penggunaan bahan-bahan pangan yang aman.
Souvia melanjutkan, tidak semua produk bahan baku pangan sudah memenuhi standar halal. Pengolahan yang tidak sesuai akan membuat produk rentan menjadi tidak halal.
Untuk itu, proses sertifikasi halal dilakukan untuk menjamin konsumen mengonsumsi produk yang benar-benar halal dan thayyib. Sebabnya, masih banyak masyarakat yang belum tahu bagaimana memilih produk halal.
“Pekerjaan rumah kita yang lebih besar adalah bagaimana menjamin proses halal dari produsen hingga ke konsumen,” kata dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad tersebut.
Souvia menjelaskan, pengelolaan sertifikasi halal saat ini ditangani oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama RI, bukan lagi LPPOM MUI. Kendati demikian, MUI masih berperan penting dalam menetapkan fatwa halal terhadap suatu produk.
Prosesnya, pendaftaran sertifikasi halal dilakukan langsung ke BPJPH Kemenag. Kemudian, jika dokumen persyaratan lengkap, BPJPH akan melimpahkan berkas pengajuan ke Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Lembaga ini yang melakukan audit terhadap suatu produk yang diajukan.
“Hasil pemeriksaan LPH kemudian dilaporkan ke BPJPH. Nanti BPJPH akan mengundang Dewan Pimpinan MUI. Kemudian melalui sidang fatwa, MUI akan menetapkan ketetapan halal. Kalau hasilnya sudah ada, BPJPH akan mengeluarkan sertifikasinya,” papar Souvia.
Berdasarkan UU Cipta Kerja, proses sertifikasi halal harus selesai dalam 21 hari. Namun, dengan catatan seluruh dokumen lengkap dan tidak ada lagi proses pemeriksaan laboratorium. “Sayangnya saat ini masih terkendala karena LPH belum banyak berdiri di Indonesia, jadi masih belum ideal,” tambahnya.
Unpad sendiri rencananya akan mendirikan LPH yang akan melengkapi keberadaan LPH di Indonesia. Saat ini, Unpad sudah memiliki tiga auditor halal yang akan melakukan audit terhadap dokumen sertifikasi yang diajukan ke BPJPH.
“Orang di Indonesia masih banyak yang belum memahami urgensi sertifikasi halal,” ujar Souvia menanggapi polemik logo halal akhir akhir ini.
Souvia mengatakan, halal seyogianya menjadi standar mutu yang menjamin suatu produk benar-benar aman dikonsumsi. Sementara bagi umat Islam, halal tidak sekadar jaminat mutu, tetapi juga sesuai secara syariat.
Baca juga: Tanggulangi Pengangguran Usia Produktif, Disnaker Cimahi Jalin Kemitraan dengan BLK
Sampai saat ini, masih banyak produk di Indonesia yang rentan menjadi tidak halal. Halal di sini bukan hanya tidak menggunakan bahan pangan yang dilarang dalam syariat. Produk halal juga harus terjamin prosesnya. Mulai dari proses penyembelihan hingga penggunaan bahan-bahan pangan yang aman.
Souvia melanjutkan, tidak semua produk bahan baku pangan sudah memenuhi standar halal. Pengolahan yang tidak sesuai akan membuat produk rentan menjadi tidak halal.
Untuk itu, proses sertifikasi halal dilakukan untuk menjamin konsumen mengonsumsi produk yang benar-benar halal dan thayyib. Sebabnya, masih banyak masyarakat yang belum tahu bagaimana memilih produk halal.
“Pekerjaan rumah kita yang lebih besar adalah bagaimana menjamin proses halal dari produsen hingga ke konsumen,” kata dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad tersebut.
Souvia menjelaskan, pengelolaan sertifikasi halal saat ini ditangani oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama RI, bukan lagi LPPOM MUI. Kendati demikian, MUI masih berperan penting dalam menetapkan fatwa halal terhadap suatu produk.
Prosesnya, pendaftaran sertifikasi halal dilakukan langsung ke BPJPH Kemenag. Kemudian, jika dokumen persyaratan lengkap, BPJPH akan melimpahkan berkas pengajuan ke Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Lembaga ini yang melakukan audit terhadap suatu produk yang diajukan.
“Hasil pemeriksaan LPH kemudian dilaporkan ke BPJPH. Nanti BPJPH akan mengundang Dewan Pimpinan MUI. Kemudian melalui sidang fatwa, MUI akan menetapkan ketetapan halal. Kalau hasilnya sudah ada, BPJPH akan mengeluarkan sertifikasinya,” papar Souvia.
Berdasarkan UU Cipta Kerja, proses sertifikasi halal harus selesai dalam 21 hari. Namun, dengan catatan seluruh dokumen lengkap dan tidak ada lagi proses pemeriksaan laboratorium. “Sayangnya saat ini masih terkendala karena LPH belum banyak berdiri di Indonesia, jadi masih belum ideal,” tambahnya.
Unpad sendiri rencananya akan mendirikan LPH yang akan melengkapi keberadaan LPH di Indonesia. Saat ini, Unpad sudah memiliki tiga auditor halal yang akan melakukan audit terhadap dokumen sertifikasi yang diajukan ke BPJPH.
(msd)