Pengusaha Protes Penerapan Aturan Angkutan ODOL di Sulsel
loading...
A
A
A
Koordinator Komunitas Pengusaha Angkutan Kontainer (Kompak) Makassar, Dg Tiro, menambahkan pihaknya siap mendukung upaya pemerintah untuk tercapainya target Zero ODOL . Hanya saja, hal tersebut tak bisa dilakukan sekejap mata.
Para pengusaha angkutan perlu lebih banyak waktu untuk beralih, apalagi biaya yang dibutuhkan tidak murah. Perlu investasi jumbo. Padahal kapasitas usaha angkutan di Sulsel masih di kelas kecil dan menengah (UKM). Belum lagi di tengah pandemi Covid-19 ini, usaha angkutan turut terdampak.
Dg Tiro menguraikan, armada angkutan kontainer yang beroperasi di Sulsel secara umum pada kisaran 1.800 sampai 2.000 armada. Dari jumlah tersebut, 80 persen diantaranya merupakan jenis tronton yang secara fisik memiliki kapasitas muatan dan kelayakan angkut beban Sesuai standar yang digariskan oleh International Maritime Organization (IMO).
"Setidaknya Undang-Undang yang diberlakukan saat ini diundur. Jika permintaan kami diabaikan, tidak menutup kemungkinan kami akan melakukan aksi atau mogok," ungkapnya.
Jika hal itu dilakukan, akan berdampak pada arus logistik di Sulsel. Biaya barang berpotensi melambung hingga memicu terjadinya inflasi.
Wakil Ketua Bidang Angkutan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Sulsel , Tirta mengungkapkan, pihaknya siap berdiskusi terkait penerapan aturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Pihaknya pun meminta agar penerapan aturan tersebut diundur, lalu menghentikan penindakan terhadap sopir atau pemilik angkutan di jalan raya berupa penilangan dan pengurangan muatan.
Tirta menilai, penerapan aturan tersebut perlu waktu lebih lama. Implementasinya tidak bisa dilakukan dalam sekejap mata. Terlebih, biaya yang diperlukan untuk beralih ke trailer tidak murah, investasinya bisa mencapai Rp1 miliar lebih per angkutan.
"Di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih akibat pandemi, itu tidak bisa langsung dilakukan. Karena biaya tidak murah," jelasnya.
Para pengusaha angkutan perlu lebih banyak waktu untuk beralih, apalagi biaya yang dibutuhkan tidak murah. Perlu investasi jumbo. Padahal kapasitas usaha angkutan di Sulsel masih di kelas kecil dan menengah (UKM). Belum lagi di tengah pandemi Covid-19 ini, usaha angkutan turut terdampak.
Dg Tiro menguraikan, armada angkutan kontainer yang beroperasi di Sulsel secara umum pada kisaran 1.800 sampai 2.000 armada. Dari jumlah tersebut, 80 persen diantaranya merupakan jenis tronton yang secara fisik memiliki kapasitas muatan dan kelayakan angkut beban Sesuai standar yang digariskan oleh International Maritime Organization (IMO).
"Setidaknya Undang-Undang yang diberlakukan saat ini diundur. Jika permintaan kami diabaikan, tidak menutup kemungkinan kami akan melakukan aksi atau mogok," ungkapnya.
Jika hal itu dilakukan, akan berdampak pada arus logistik di Sulsel. Biaya barang berpotensi melambung hingga memicu terjadinya inflasi.
Wakil Ketua Bidang Angkutan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Sulsel , Tirta mengungkapkan, pihaknya siap berdiskusi terkait penerapan aturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Pihaknya pun meminta agar penerapan aturan tersebut diundur, lalu menghentikan penindakan terhadap sopir atau pemilik angkutan di jalan raya berupa penilangan dan pengurangan muatan.
Tirta menilai, penerapan aturan tersebut perlu waktu lebih lama. Implementasinya tidak bisa dilakukan dalam sekejap mata. Terlebih, biaya yang diperlukan untuk beralih ke trailer tidak murah, investasinya bisa mencapai Rp1 miliar lebih per angkutan.
"Di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih akibat pandemi, itu tidak bisa langsung dilakukan. Karena biaya tidak murah," jelasnya.