Pengusaha Protes Penerapan Aturan Angkutan ODOL di Sulsel

Selasa, 22 Februari 2022 - 20:34 WIB
loading...
Pengusaha Protes Penerapan...
Penerapan Pasal 277 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Sulawesi Selatan (Sulsel) mendapat protes dari para pengusaha angkutan logistik. Foto: SINDOnews/Marhawanti Sehe
A A A
MAKASSAR - Penerapan Pasal 277 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Sulawesi Selatan (Sulsel) mendapat protes dari para pengusaha angkutan logistik .

Mereka menyoroti dan menyatakan sikap menolak penindakan berupa penilangan dan transfer muatan di jalan oleh petugas bagi angkutan yang diklaim melanggar aturan Over Dimension dan Overloading (ODOL) .

Ketua DPC Organda Angkutan Khusus Pelabuhan Makassar, Hasim Noor Ismail, menguraikan penerapan aturan ODOL di Sulsel perlu dikaji ulang oleh pemerintah karena tidak sesuai dengan kondisi daerah.

Berbeda dengan wilayah Jawa, infrastruktur di Sulsel belum mendukung untuk implementasi aturan tersebut. Bukannya berkontribusi terhadap kelancaran arus logistik sebagai penopang ekonomi, aturan ODOL dinilai justru akan menghambat.



"Seharusnya pemerintah memperbaiki dulu infrastruktur yang ada. Di Sulselbar, beberapa jalan tidak memungkinkan untuk dilalui truk trailer. Jangan digeneralisasi aturan ini. Kalau di Jawa mungkin bisa, tapi di Sulawesi, jangan," tegas Hasim, saat konferensi pers, Selasa (22/2/2022).

Dia juga menyayangkan keputusan pemerintah untuk menerapkan aturan tersebut, lalu melakukan penindakan bukan dengan cara yang komunikatif dan edukatif. Padahal, pengusaha angkutan logistik merupakan pahlawan ekonomi.

Penindakan terhadap pemilik truk harus ada asas keseimbangan dengan turut menindak mulai dari hulu atau pemilik barang. Kontributor terbesar terhadap terjadinya pelanggaran ODOL justru dilakukan oleh pemilik barang yang secara perundang-undangan tidak tersentuh.

Hasim menyebut, tarif angkutan yang semakin murah disebabkan pemilik barang yang terus menekan biaya angkutan. Hal itu berdampak pada penambahan kapasitas muatan oleh pemilik angkutan guna menjaga keberlanjutan operasional armada.

"Saya berharap pemerintah jeli melihat persoalan angkutan di Makassar yang mengangkut logistik dari pelabuhan ke daerah. Jangan hanya melihat dari satu aspek saja," katanya.

Koordinator Komunitas Pengusaha Angkutan Kontainer (Kompak) Makassar, Dg Tiro, menambahkan pihaknya siap mendukung upaya pemerintah untuk tercapainya target Zero ODOL . Hanya saja, hal tersebut tak bisa dilakukan sekejap mata.

Para pengusaha angkutan perlu lebih banyak waktu untuk beralih, apalagi biaya yang dibutuhkan tidak murah. Perlu investasi jumbo. Padahal kapasitas usaha angkutan di Sulsel masih di kelas kecil dan menengah (UKM). Belum lagi di tengah pandemi Covid-19 ini, usaha angkutan turut terdampak.



Dg Tiro menguraikan, armada angkutan kontainer yang beroperasi di Sulsel secara umum pada kisaran 1.800 sampai 2.000 armada. Dari jumlah tersebut, 80 persen diantaranya merupakan jenis tronton yang secara fisik memiliki kapasitas muatan dan kelayakan angkut beban Sesuai standar yang digariskan oleh International Maritime Organization (IMO).

"Setidaknya Undang-Undang yang diberlakukan saat ini diundur. Jika permintaan kami diabaikan, tidak menutup kemungkinan kami akan melakukan aksi atau mogok," ungkapnya.

Jika hal itu dilakukan, akan berdampak pada arus logistik di Sulsel. Biaya barang berpotensi melambung hingga memicu terjadinya inflasi.

Wakil Ketua Bidang Angkutan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Sulsel , Tirta mengungkapkan, pihaknya siap berdiskusi terkait penerapan aturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.

Pihaknya pun meminta agar penerapan aturan tersebut diundur, lalu menghentikan penindakan terhadap sopir atau pemilik angkutan di jalan raya berupa penilangan dan pengurangan muatan.

Tirta menilai, penerapan aturan tersebut perlu waktu lebih lama. Implementasinya tidak bisa dilakukan dalam sekejap mata. Terlebih, biaya yang diperlukan untuk beralih ke trailer tidak murah, investasinya bisa mencapai Rp1 miliar lebih per angkutan.

"Di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih akibat pandemi, itu tidak bisa langsung dilakukan. Karena biaya tidak murah," jelasnya.



Ketua ALFI Sulselbar, Syaifuddin Syahrudi, menambahkan aturan tersebut akan berdampak signifikan pada perekonomian. Karena logistik merupakan salah satu sektor krusial.

Jika pengusaha angkutan dipaksa beralih dari tronton ke truk trailer, maka kapasitas muatan akan ditekan secara paksa sehingga berdampak pada naiknya harga logistik.

"Pemerintah harus melihat persoalan ini lebih jeli lagi karena berdampak pada ekonomi. Arus logistik bisa terhenti, biaya barang akan mahal," pungkas Ipo, sapaan akrabnya.

(tri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2977 seconds (0.1#10.140)