Komnas PA: Predator Santriwati Herry Wirawan Layak Dihukum Mati
loading...
A
A
A
BANDUNG - Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA) menilai, Herry Wirawan layak dihukum mati atau dikebiri akibat perbuatannya yang memperkosa belasan santriwati hingga hamil dan melahirkan. Desakan hukuman mati atau kebiri bagi Herry kembali mengemuka dalam sidang lanjutan kasus asusila yang dilakukan Herry Wirawan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (21/12/2021) kemarin.
Bahkan, hukuman berat tersebut juga menjadi tuntutan belasan santriwati korban kebiadaban oknum guru sekaligus pimpinan Madani Boarding School itu.
Hukuman mati atau kebiri dinilai layak diberikan kepada Herry agar peristiwa memilukan tersebut tidak terulang kembali. "Harapan kami, supaya ke depan, ini (hukuman mati atau kebiri) menjadi efek jera," ujar Dewan Pembina Komisi Perlindungan Anak, Bima Sena.
Bima Sena menjelaskan, Herry yang kini sudah berstatus terdakwa memenuhi syarat untuk dijatuhi hukuman mati atau kebiri. Syarat yang dimaksud Bima Sena merujuk pada Pasal 81 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam aturan itu disebutkan, pelaku pemerkosaan terhadap anak yang menimbulkan korban lebih dari satu dapat terancam pidana mati hingga seumur hidup. Meski begitu, Bima Sena mengakui bahwa hukuman mati atau kebiri belum bisa diterapkan oleh jaksa karena jaksa masih memerlukan fakta persidangan untuk memperkuat dasar dari tuntutan hukuman tersebut.
"Syarat untuk menerapkan Pasal 81 ayat 5 itu sudah ada sebetulnya, tapi kita lihat fakta persidangannya. Sekarang kan maunya langsung hukuman mati atau kebiri," katanya.
Sementara itu, seksolog dr Boyke Dian Nugraha menjelaskan, kebiri kimia adalah penurunan hormon testosteron bagi laki-laki. Ada dua macam kebiri, yakni kebiri kimiawi dan operasi. Menurutnya, kebiri yang diterapkan oleh pemerintah, yakni kebiri kimiawi lewat penyuntikan zat anti-androgen.
Biasanya, yang disuntikan adalah hormon perempuan, yaitu medroxyprogesterone acetate atau bisa dengan suntikan-suntikan seperti progestin. Ketika zat tersebut masuk ke dalam darah, kata dia, efeknya akan mengurangi gairah seks bagi laki-laki. Namun, efek samping secara umum adalah mengalami karakter seperti perempuan.
"Seperti bulu-bulunya rontok, bulu kaki tanganya rontok, janggutnya rontok, disusul dengan kulit menjadi halus, dan terjadi ginekomastia," kata Boyke kepada wartawan, belum lama ini.
Boyke menjelaskan, ginekomastia adalah kondisi dimana payudara laki-laki tumbuh besar. Efek samping tersebut berlanjut menyerang dan melemahkan organ tubuh vital lainnya.
"Yang bisa terjadi adalah osteoporosis hingga pompa darah yang melemah, sehingga bisa menimbulkan serangan jantung. Kemudian, adanya penurunan insulin hingga menderita diabetes. Lalu, terjadi pula aterosklerosis hingga membuat penderitanya meninggal," jelasnya.
Tidak hanya berdampak pada fisik, tambah dia, efek dari kebiri kimiawi juga memengaruhi mental. "Dampak psikologisnya adalah tidak adanya kemauan (berhubungan badan) karena agresivitasnya berkurang, suaranya pun bisa menjadi seperti perempuan. Memikirkan perubahan yang terjadi pada dirinya bisa berakibat pada depresi, sehingga memicu keputusan untuk bunuh diri," kata dr Boyke.
Bahkan, hukuman berat tersebut juga menjadi tuntutan belasan santriwati korban kebiadaban oknum guru sekaligus pimpinan Madani Boarding School itu.
Hukuman mati atau kebiri dinilai layak diberikan kepada Herry agar peristiwa memilukan tersebut tidak terulang kembali. "Harapan kami, supaya ke depan, ini (hukuman mati atau kebiri) menjadi efek jera," ujar Dewan Pembina Komisi Perlindungan Anak, Bima Sena.
Bima Sena menjelaskan, Herry yang kini sudah berstatus terdakwa memenuhi syarat untuk dijatuhi hukuman mati atau kebiri. Syarat yang dimaksud Bima Sena merujuk pada Pasal 81 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam aturan itu disebutkan, pelaku pemerkosaan terhadap anak yang menimbulkan korban lebih dari satu dapat terancam pidana mati hingga seumur hidup. Meski begitu, Bima Sena mengakui bahwa hukuman mati atau kebiri belum bisa diterapkan oleh jaksa karena jaksa masih memerlukan fakta persidangan untuk memperkuat dasar dari tuntutan hukuman tersebut.
"Syarat untuk menerapkan Pasal 81 ayat 5 itu sudah ada sebetulnya, tapi kita lihat fakta persidangannya. Sekarang kan maunya langsung hukuman mati atau kebiri," katanya.
Sementara itu, seksolog dr Boyke Dian Nugraha menjelaskan, kebiri kimia adalah penurunan hormon testosteron bagi laki-laki. Ada dua macam kebiri, yakni kebiri kimiawi dan operasi. Menurutnya, kebiri yang diterapkan oleh pemerintah, yakni kebiri kimiawi lewat penyuntikan zat anti-androgen.
Biasanya, yang disuntikan adalah hormon perempuan, yaitu medroxyprogesterone acetate atau bisa dengan suntikan-suntikan seperti progestin. Ketika zat tersebut masuk ke dalam darah, kata dia, efeknya akan mengurangi gairah seks bagi laki-laki. Namun, efek samping secara umum adalah mengalami karakter seperti perempuan.
"Seperti bulu-bulunya rontok, bulu kaki tanganya rontok, janggutnya rontok, disusul dengan kulit menjadi halus, dan terjadi ginekomastia," kata Boyke kepada wartawan, belum lama ini.
Boyke menjelaskan, ginekomastia adalah kondisi dimana payudara laki-laki tumbuh besar. Efek samping tersebut berlanjut menyerang dan melemahkan organ tubuh vital lainnya.
"Yang bisa terjadi adalah osteoporosis hingga pompa darah yang melemah, sehingga bisa menimbulkan serangan jantung. Kemudian, adanya penurunan insulin hingga menderita diabetes. Lalu, terjadi pula aterosklerosis hingga membuat penderitanya meninggal," jelasnya.
Tidak hanya berdampak pada fisik, tambah dia, efek dari kebiri kimiawi juga memengaruhi mental. "Dampak psikologisnya adalah tidak adanya kemauan (berhubungan badan) karena agresivitasnya berkurang, suaranya pun bisa menjadi seperti perempuan. Memikirkan perubahan yang terjadi pada dirinya bisa berakibat pada depresi, sehingga memicu keputusan untuk bunuh diri," kata dr Boyke.
(don)