Kisah Tragis Sultan Hamengkubuwono V Ditikam Selir Kesayangan yang Menyisakan Misteri
loading...
A
A
A
Dia tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah yang harus mengorbankan rakyat, terutama setelah usainya Perang Jawa. HB V juga meneken kontrak politik dengan Belanda yang berlaku bahkan hingga era Sultan HB IX yang berakhir pada 1988 (Woro Miswati, Kerajaan-Kerajaan Nusantara, 2011:48).
Hamengkubuwana V sendiri mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah Kerajaan Belanda, untuk melakukan taktik perang pasif, di mana ia menginginkan perlawanan tanpa pertumpahan darah.
Sri Sultan Hamengkubuwana V mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda, sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.
Sultan HB V memilih fokus ke kesenian dan kebudayaan. Bahkan selama kepemimpinannya, telah dihelat pagelaran wayang orang dalam skala megah sebanyak 5 kali. Hal itu dikatakan Sumandiyo Hadi (2007:32) dalam buku Pasang Surut Pelembagaan Tari Klasik Gaya Yogyakarta.
HB V juga menciptakan beberapa jenis tarian khas keraton, salah satu yang paling terkenal adalah Tari Serimpi dengan berbagai variannya, termasuk Serimpi Kandha, Serimpi Renggawati, Serimpi Ringgit Munggeng, Serimpi Hadi Wulangun Brangta atau Serimpi Renggowati, dan lainnya.
Kebijakan Hamengkubuwana V tersebut ditentang beberapa kanjeng abdi dalem dan adik Sultan HB V sendiri, yaitu Gusti Raden Mas Mustojo. Mereka menganggap tindakan Sultan HB V adalah tindakan yang mempermalukan Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan Hamengkubuwana V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk menggantikan sultan dengan GRM Mustojo.
Akibat kebijakannya itu, munculah suara-suara ketidakpuasan yang dialamatkan kepadanya, terjadi konflik internal antara sesama penghuni istana. Selir Sultan, yaitu Kanjeng Mas Hemawati, terlibat dalam polemik.
Hingga akhirnya, pada 5 Juni 1855, terjadi aksi pembunuhan. Sultan HB V ditikam dari belakang oleh sang selir hingga tewas. Pihak keraton menutup rapat kasus ini, termasuk tentang keberadaan Kanjeng Mas Hemawati setelah menghabisi nyawa suaminya sendiri.
Hamengkubuwana V sendiri mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah Kerajaan Belanda, untuk melakukan taktik perang pasif, di mana ia menginginkan perlawanan tanpa pertumpahan darah.
Sri Sultan Hamengkubuwana V mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda, sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.
Sultan HB V memilih fokus ke kesenian dan kebudayaan. Bahkan selama kepemimpinannya, telah dihelat pagelaran wayang orang dalam skala megah sebanyak 5 kali. Hal itu dikatakan Sumandiyo Hadi (2007:32) dalam buku Pasang Surut Pelembagaan Tari Klasik Gaya Yogyakarta.
HB V juga menciptakan beberapa jenis tarian khas keraton, salah satu yang paling terkenal adalah Tari Serimpi dengan berbagai variannya, termasuk Serimpi Kandha, Serimpi Renggawati, Serimpi Ringgit Munggeng, Serimpi Hadi Wulangun Brangta atau Serimpi Renggowati, dan lainnya.
Kebijakan Hamengkubuwana V tersebut ditentang beberapa kanjeng abdi dalem dan adik Sultan HB V sendiri, yaitu Gusti Raden Mas Mustojo. Mereka menganggap tindakan Sultan HB V adalah tindakan yang mempermalukan Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan Hamengkubuwana V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk menggantikan sultan dengan GRM Mustojo.
Akibat kebijakannya itu, munculah suara-suara ketidakpuasan yang dialamatkan kepadanya, terjadi konflik internal antara sesama penghuni istana. Selir Sultan, yaitu Kanjeng Mas Hemawati, terlibat dalam polemik.
Hingga akhirnya, pada 5 Juni 1855, terjadi aksi pembunuhan. Sultan HB V ditikam dari belakang oleh sang selir hingga tewas. Pihak keraton menutup rapat kasus ini, termasuk tentang keberadaan Kanjeng Mas Hemawati setelah menghabisi nyawa suaminya sendiri.