Kisah Tragis Sultan Hamengkubuwono V Ditikam Selir Kesayangan yang Menyisakan Misteri
loading...
A
A
A
KISAH Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) V bak cerita sinetron, dia dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta ketika umurnya baru menginjak 3 tahun. Namun berakhir tragis di tangan istri kesayangannya, Kanjeng Mas Hemawati. Dia ditemukan tewas di ruangan istana Keraton Yogyakarta , pada 5 Juni 1855.
HB V bernama asli Gusti Raden Mas Gathot Menol yang kemudian bergelar Pangeran Mangkubumi, dia adalah anak keenam sekaligus putra mahkota Sultan Hamengkubuwono IV dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono, yang lahir pada 24 Januari 1820 di Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sewaktu dewasa ia bergelar Pangeran Mangkubumi. Dia juga pernah mendapat pangkat Letnan Kolonel tahun 1839 dan Kolonel tahun 1847 dari pemerintah Hindia Belanda. Demikian tulis M.C. Ricklefs. 1991. dalam buku Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres.
Kisah tragis yang dialami oleh HB V tidak jauh beda dengan apa yang dialami ayahnya, Sultan Hamengkubuwono IV, kekuasaannya pun berlangsung singkat, karena meninggal di usia yang masih muda, berumur 20 tahun.
Ihwal kematiannya juga masih menyisakan misteri. Diduga, mangkatnya sang raja karena diracun. Begitulah yang ditulis G. Moedjanto dalam buku "Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualam: Tinjauan Historis Dua Praja Kejawen", 1994:18.
Kematian mendadak Sultan HB IV itulah yang membuat putra mahkota harus segera naik tahta meskipun masih berusia balita. Kurang dari dua pekan setelah wafatnya sang raja, 19 Desember 1823, Gusti Raden Mas Gathot Menol dikukuhkan sebagai penguasa Yogyakarta yang selanjutnya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono V.
Namun sehari berselang dinobatkan sebagai Sultan belia, HB V diturunkan dari singgasananya pada 17 Agustus 1826. HB II atau yang berjuluk Sultan Sepuh, kembali dinobatkan sebagai raja. Ini kali ketiga HB II naik takhta setelah periode 1792-1810 dan 1811-1812. Sultan Hamengkubuwono II meninggal pada 3 Januari 1828.
Hamengkubuwono V didudukkan kembali ke tampuk kekuasaan Kesultanan Yogyakarta, namun tentu saja pengaruh Belanda masih kuat dalam prosesi ini. Sultan HB V cenderung main aman selama berkuasa.
Dia tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah yang harus mengorbankan rakyat, terutama setelah usainya Perang Jawa. HB V juga meneken kontrak politik dengan Belanda yang berlaku bahkan hingga era Sultan HB IX yang berakhir pada 1988 (Woro Miswati, Kerajaan-Kerajaan Nusantara, 2011:48).
Hamengkubuwana V sendiri mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah Kerajaan Belanda, untuk melakukan taktik perang pasif, di mana ia menginginkan perlawanan tanpa pertumpahan darah.
Sri Sultan Hamengkubuwana V mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda, sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.
Sultan HB V memilih fokus ke kesenian dan kebudayaan. Bahkan selama kepemimpinannya, telah dihelat pagelaran wayang orang dalam skala megah sebanyak 5 kali. Hal itu dikatakan Sumandiyo Hadi (2007:32) dalam buku Pasang Surut Pelembagaan Tari Klasik Gaya Yogyakarta.
HB V juga menciptakan beberapa jenis tarian khas keraton, salah satu yang paling terkenal adalah Tari Serimpi dengan berbagai variannya, termasuk Serimpi Kandha, Serimpi Renggawati, Serimpi Ringgit Munggeng, Serimpi Hadi Wulangun Brangta atau Serimpi Renggowati, dan lainnya.
Kebijakan Hamengkubuwana V tersebut ditentang beberapa kanjeng abdi dalem dan adik Sultan HB V sendiri, yaitu Gusti Raden Mas Mustojo. Mereka menganggap tindakan Sultan HB V adalah tindakan yang mempermalukan Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan Hamengkubuwana V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk menggantikan sultan dengan GRM Mustojo.
Akibat kebijakannya itu, munculah suara-suara ketidakpuasan yang dialamatkan kepadanya, terjadi konflik internal antara sesama penghuni istana. Selir Sultan, yaitu Kanjeng Mas Hemawati, terlibat dalam polemik.
Hingga akhirnya, pada 5 Juni 1855, terjadi aksi pembunuhan. Sultan HB V ditikam dari belakang oleh sang selir hingga tewas. Pihak keraton menutup rapat kasus ini, termasuk tentang keberadaan Kanjeng Mas Hemawati setelah menghabisi nyawa suaminya sendiri.
Ketika peristiwa tragis itu terjadi, permaisuri Sultan HB V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil tua dan hanya berselang 13 hari dia pun melahirkan anak yang seharusnya menjadi penerus tahta Yogyakarta. Putra mahkota Sultan HB V tersebut diberi nama Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad.
Setelah HB V tewas dan lahirnya putra mahkota, namun yang justru naik tahta adalah Raden Mas Mustojo. Dia dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta berikutnya, bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VI, kendati mulanya hanya sementara sembari menunggu putra mahkota sudah siap memimpin sebagai sultan.
Namun, yang terjadi kemudian bukan sesuai kesepakatan. Setelah Sultan HB VI wafat pada 20 Juli 1877, yang dinaikkan ke singgasana justru anaknya sendiri, yakni Gusti Raden Mas Murtejo atau yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VII (1839-1931).
Hal ini tentu saja mendapat tentangan dari permaisuri Sultan HB V, Ratu Sekar Kedaton, dan Gusti Timur Muhammad yang seharusnya naik tahta. Keduanya lalu ditangkap dengan tudingan telah melakukan pembangkangan terhadap raja dan istana.
Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk menghapus trah Sultan HB V demi melanggengkan kekuasaan Sultan HB VII beserta keturunannya nanti. Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Timur Muhammad harus menjalani hukuman buang ke Manado, Sulawesi Utara, hingga keduanya meninggal dunia di sana.
(Sumber: Wikipedia, buku sejarah Indonesia modern, berbagai sumber)
Lihat Juga: Penelusuran Misteri Mars dan Bobby ke Bangunan Zaman Kolonial Belanda, MNCTV Tayangkan Series Duo Alam
HB V bernama asli Gusti Raden Mas Gathot Menol yang kemudian bergelar Pangeran Mangkubumi, dia adalah anak keenam sekaligus putra mahkota Sultan Hamengkubuwono IV dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono, yang lahir pada 24 Januari 1820 di Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Baca Juga
Sewaktu dewasa ia bergelar Pangeran Mangkubumi. Dia juga pernah mendapat pangkat Letnan Kolonel tahun 1839 dan Kolonel tahun 1847 dari pemerintah Hindia Belanda. Demikian tulis M.C. Ricklefs. 1991. dalam buku Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres.
Kisah tragis yang dialami oleh HB V tidak jauh beda dengan apa yang dialami ayahnya, Sultan Hamengkubuwono IV, kekuasaannya pun berlangsung singkat, karena meninggal di usia yang masih muda, berumur 20 tahun.
Ihwal kematiannya juga masih menyisakan misteri. Diduga, mangkatnya sang raja karena diracun. Begitulah yang ditulis G. Moedjanto dalam buku "Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualam: Tinjauan Historis Dua Praja Kejawen", 1994:18.
Kematian mendadak Sultan HB IV itulah yang membuat putra mahkota harus segera naik tahta meskipun masih berusia balita. Kurang dari dua pekan setelah wafatnya sang raja, 19 Desember 1823, Gusti Raden Mas Gathot Menol dikukuhkan sebagai penguasa Yogyakarta yang selanjutnya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono V.
Namun sehari berselang dinobatkan sebagai Sultan belia, HB V diturunkan dari singgasananya pada 17 Agustus 1826. HB II atau yang berjuluk Sultan Sepuh, kembali dinobatkan sebagai raja. Ini kali ketiga HB II naik takhta setelah periode 1792-1810 dan 1811-1812. Sultan Hamengkubuwono II meninggal pada 3 Januari 1828.
Hamengkubuwono V didudukkan kembali ke tampuk kekuasaan Kesultanan Yogyakarta, namun tentu saja pengaruh Belanda masih kuat dalam prosesi ini. Sultan HB V cenderung main aman selama berkuasa.
Dia tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah yang harus mengorbankan rakyat, terutama setelah usainya Perang Jawa. HB V juga meneken kontrak politik dengan Belanda yang berlaku bahkan hingga era Sultan HB IX yang berakhir pada 1988 (Woro Miswati, Kerajaan-Kerajaan Nusantara, 2011:48).
Hamengkubuwana V sendiri mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah Kerajaan Belanda, untuk melakukan taktik perang pasif, di mana ia menginginkan perlawanan tanpa pertumpahan darah.
Sri Sultan Hamengkubuwana V mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda, sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.
Sultan HB V memilih fokus ke kesenian dan kebudayaan. Bahkan selama kepemimpinannya, telah dihelat pagelaran wayang orang dalam skala megah sebanyak 5 kali. Hal itu dikatakan Sumandiyo Hadi (2007:32) dalam buku Pasang Surut Pelembagaan Tari Klasik Gaya Yogyakarta.
HB V juga menciptakan beberapa jenis tarian khas keraton, salah satu yang paling terkenal adalah Tari Serimpi dengan berbagai variannya, termasuk Serimpi Kandha, Serimpi Renggawati, Serimpi Ringgit Munggeng, Serimpi Hadi Wulangun Brangta atau Serimpi Renggowati, dan lainnya.
Kebijakan Hamengkubuwana V tersebut ditentang beberapa kanjeng abdi dalem dan adik Sultan HB V sendiri, yaitu Gusti Raden Mas Mustojo. Mereka menganggap tindakan Sultan HB V adalah tindakan yang mempermalukan Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan Hamengkubuwana V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk menggantikan sultan dengan GRM Mustojo.
Akibat kebijakannya itu, munculah suara-suara ketidakpuasan yang dialamatkan kepadanya, terjadi konflik internal antara sesama penghuni istana. Selir Sultan, yaitu Kanjeng Mas Hemawati, terlibat dalam polemik.
Hingga akhirnya, pada 5 Juni 1855, terjadi aksi pembunuhan. Sultan HB V ditikam dari belakang oleh sang selir hingga tewas. Pihak keraton menutup rapat kasus ini, termasuk tentang keberadaan Kanjeng Mas Hemawati setelah menghabisi nyawa suaminya sendiri.
Ketika peristiwa tragis itu terjadi, permaisuri Sultan HB V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil tua dan hanya berselang 13 hari dia pun melahirkan anak yang seharusnya menjadi penerus tahta Yogyakarta. Putra mahkota Sultan HB V tersebut diberi nama Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad.
Setelah HB V tewas dan lahirnya putra mahkota, namun yang justru naik tahta adalah Raden Mas Mustojo. Dia dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta berikutnya, bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VI, kendati mulanya hanya sementara sembari menunggu putra mahkota sudah siap memimpin sebagai sultan.
Namun, yang terjadi kemudian bukan sesuai kesepakatan. Setelah Sultan HB VI wafat pada 20 Juli 1877, yang dinaikkan ke singgasana justru anaknya sendiri, yakni Gusti Raden Mas Murtejo atau yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VII (1839-1931).
Hal ini tentu saja mendapat tentangan dari permaisuri Sultan HB V, Ratu Sekar Kedaton, dan Gusti Timur Muhammad yang seharusnya naik tahta. Keduanya lalu ditangkap dengan tudingan telah melakukan pembangkangan terhadap raja dan istana.
Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk menghapus trah Sultan HB V demi melanggengkan kekuasaan Sultan HB VII beserta keturunannya nanti. Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Timur Muhammad harus menjalani hukuman buang ke Manado, Sulawesi Utara, hingga keduanya meninggal dunia di sana.
(Sumber: Wikipedia, buku sejarah Indonesia modern, berbagai sumber)
Lihat Juga: Penelusuran Misteri Mars dan Bobby ke Bangunan Zaman Kolonial Belanda, MNCTV Tayangkan Series Duo Alam
(nic)