Karomah Kiai Abbas Buntet, Jatuhkan Pesawat Inggris dengan Doa di Pertempuran 10 November
loading...
A
A
A
Kiai Abbas Buntet adalah putra sulung Kiai Abdul Jamil, putra Kiai Mutaad yang juga menantu Mbah Muqqayim, pendiri Pondok Pesantren Buntet. Dia lahir, pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H (1879 M) di Pekalangan, Cirebon.
Saat perjuangan kemerdekaan di Indonesia tengah hebat-hebatnya yang ditandai dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Kiai Abbas terjun ke dunia pergerakan meninggalkan kitab kuningnya.
Menurutnya, pada masa itu yang lebih diutamakan adalah keahlian bela diri dan ilmu kanuragan. Dia juga mulai meninggalkan pondok pesantren dan melakukan dakwah langsung di tengah masyarakat.
Sarana dakwah itu dimanfaatkannya sambil mengajarkan berbagai ilmu kesaktian dalam bela diri sebagai bekal melawan penjajah. Aktivitas Kiai Abbas ini cepat mendapatkan respon positif dari masyarakat yang ingin berjuang.
Dengan cepat, Pondok Pesantren Buntet yang dikenal sebagai laboratorium pendidikan agama Islam, berkembang menjadi benteng perlawanan melawan penjajah. Kiai Abbas lalu mendirikan laskar Hizbullah sebagai wadah perjuangan.
Selain Hizbullah, Kiai Abbas dan para sesepuh Pesantren Buntet juga membentuk organisasi Asybal yang anggotanya terdiri dari anak-anak usia di bawah 17 tahun. Organisasi ini bertugas untuk memata-matai pergerakan musuh.
Salah seorang pengawal Kiai Abbas, Abdul Wachid menceritakan pengalamannya mengawal Kiai Abbas ke Surabaya. Bersama Detasemen Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat, Kiai Abbas berangkat pada 6 November 1945.
Pasukan Kiai Abbas meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon naik Kereta Api Express. Turut serta bersama rombongan Kiai H Achmad Tamin dari Losari yang berperan sebagai pendamping Kiai Abbas.
Pada waktu itu, Kiai Abbas tampak mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban, dan beralas kaki trumpah atau sandal japit dari kulit. Bawaan Kiai Abbas saat itu hanya sebuah kantong plastik berisinya sandal bakyak.
Setibanya di Stasiun Rembang, Jawa Tengah, sudah banyak yang menunggunya. Rombongan Kiai Abbas lalu diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri, di Rembang. Malam harinya, mereka musyawarah menentukan pemimpin pertempuran.
Saat perjuangan kemerdekaan di Indonesia tengah hebat-hebatnya yang ditandai dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Kiai Abbas terjun ke dunia pergerakan meninggalkan kitab kuningnya.
Menurutnya, pada masa itu yang lebih diutamakan adalah keahlian bela diri dan ilmu kanuragan. Dia juga mulai meninggalkan pondok pesantren dan melakukan dakwah langsung di tengah masyarakat.
Sarana dakwah itu dimanfaatkannya sambil mengajarkan berbagai ilmu kesaktian dalam bela diri sebagai bekal melawan penjajah. Aktivitas Kiai Abbas ini cepat mendapatkan respon positif dari masyarakat yang ingin berjuang.
Dengan cepat, Pondok Pesantren Buntet yang dikenal sebagai laboratorium pendidikan agama Islam, berkembang menjadi benteng perlawanan melawan penjajah. Kiai Abbas lalu mendirikan laskar Hizbullah sebagai wadah perjuangan.
Selain Hizbullah, Kiai Abbas dan para sesepuh Pesantren Buntet juga membentuk organisasi Asybal yang anggotanya terdiri dari anak-anak usia di bawah 17 tahun. Organisasi ini bertugas untuk memata-matai pergerakan musuh.
Salah seorang pengawal Kiai Abbas, Abdul Wachid menceritakan pengalamannya mengawal Kiai Abbas ke Surabaya. Bersama Detasemen Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat, Kiai Abbas berangkat pada 6 November 1945.
Pasukan Kiai Abbas meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon naik Kereta Api Express. Turut serta bersama rombongan Kiai H Achmad Tamin dari Losari yang berperan sebagai pendamping Kiai Abbas.
Pada waktu itu, Kiai Abbas tampak mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban, dan beralas kaki trumpah atau sandal japit dari kulit. Bawaan Kiai Abbas saat itu hanya sebuah kantong plastik berisinya sandal bakyak.
Setibanya di Stasiun Rembang, Jawa Tengah, sudah banyak yang menunggunya. Rombongan Kiai Abbas lalu diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri, di Rembang. Malam harinya, mereka musyawarah menentukan pemimpin pertempuran.