Kisah Fitnah Keji di Majapahit, Membuat Mpu Prapanca Dipecat dan Diusir

Senin, 04 Oktober 2021 - 05:32 WIB
loading...
Kisah Fitnah Keji di Majapahit, Membuat Mpu Prapanca Dipecat dan Diusir
Candi Tetek atau Candi Belahan terletak di sisi timur Gunung Penanggungan. Terdapat dua arca jaladwara, berwujud Dewi Sri dan Dewi Lakshmi. Dari sepasang payudara arca Lakshmi terpancur air yang tidak pernah surut. Foto/SINDOnews/Ali Masudiki
A A A
Namanya tak tersohor layaknya Sang Raja Hayam Wuruk, maupun Mahapatih Gajah Mada. Tetapi, Mpu Prapanca memiliki peran penting dalam perjalanan Kerajaan Majapahit, hingga akhirnya kisah kerajaan terbesar di Nusantara itu, terabadikan lewat karya sastranya.



Kitab Negarakertagama, yang memuat catatan tentang Majapahit, menjadi salah satu karya Mpu Prapanca yang termasyhur hingga kini. Bahkan, selalu menjadi referensi untuk mempelajari tentang peradaban di masa lalu.



Karya-karya sastranya, mencatat segala bentuk lika-liku kehidupan di masa Kerajaan Majapahit. Sejatinya ia bukanlah merupakan sastrawan tulen, melainkan juga sebagai pendeta agama Buddha.



Dikisahkan dalam buku "Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit " karya Slamet Muljana, Prapanca adalah sosok pembesar agama Buddha di Kerajaan Majapahi, pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanagara tahun 1365 Masehi.

Namun di balik kegemilangan karyanya, Prapanca adalah sosok yang dikisahkan kesepian sepeninggal dari istana dan kota. Ia hidup canggung di sebuah dusun dan kerap merasa sedih. Konon teman-temannya dahulu melupakannya, dan tidak pernah mengunjunginya.

Prapanca merasa rugi, bahwa ia tidak dapat mendengar kata-kata dari baginda raja Majapahit. Dikisahkan ia menolak tinggal di kota dan justru meninggalkannya untuk hidup di dusun, lantaran adanya hinaan kaum bangsawan.



Hinaan yang dimaksud adalah fitnah dari kaum bangsawan yang menimpanya. Fitnah itu membuatnya harus keluar dari istana, padahal sebelumnya menjadi pembesar agama Buddha di Kerajaan Majapahit.

Fitnah dari kaum bangsawan ini, didengar oleh Raja Majapahit yang berakibat pemecatan sebagai kepala urusan agama Budha di Keraton Majapahit. Namun belum diketahui siapa yang memfitnah Prapanca.

Prapanca memilih untuk tinggal di dusun dan merasa kesepian. Hal ini diperparah dengan ketiadaan teman-temannya yang sama sekali tidak menjenguknya. Alhasil Prapanca memilih untuk bertapa menurut ajaran sang Buddha. Ia masuk ke dalam hutan untuk bertapa di lereng gunung.

Kisah Fitnah Keji di Majapahit, Membuat Mpu Prapanca Dipecat dan Diusir

Gapura Jedong atau Candi Jedong berupa bangunan gapura dengan tipe paduraksa. Bangunan dari abad 14 masehi ini terletak di lerang utara Gunung Gajah Mungkur, tepatnya di Desa Watonmas Jedong, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Foto/SINDOnews/Ali Masduki

Kakawin Negarakertagama pun, mulai disusunnya selama dari pertapaannya di Kamalasana. Kala itu, ia sama sekali tak mengharapkan persebaran Kakawin Negarakertagama di Istana Majapahit, karena tempatnya jauh dari kota di lereng gunung.

Prapanca hanya bersyukur apabila kakawin ini bisa sampai di tangan Raja Hayam Wuruk. Melalui kakawin ini ia ingin menyampaikan rasa setia baktinya kepada raja. Tak hanya itu, Prapanca bermaksud menjelaskan mengenai kronologi fitnah yang menimpanya.

Tapi kendati telah difitnah dan diusir oleh raja, Prapanca yang konon menggunakan nama samaran saat berada di dusun tak menaruh dendam sama sekali terhadap baginda raja Majapahit, Hayam Wuruk.



Saat Hayam Wuruk memerintah Kerajaan Majapahit, ada tiga macam kepercayaan atau agama yang berkembang. Ketiga kepercayaan ini yakni agama Siwa, Buddha, dan Brahma yang disebut tripaksa.

Hayam Wuruk yang bergelar Sri Rajasanagara ini memiliki komitmen besar kepada tegaknya tripaksa. Maksudnya adalah ketiga aliran kepercayaan ini bisa hidup rukun dalam negara. Aliran itu diurus oleh masing-masing pembesar, pendeta Siwa, Buddha, dan Brahma diserahi menjaga tempat ziarah dan segala asrama serta biara.

Masing-masing aliran agama dan pembesarnya melindungi serta menjaga umatnya. Raja meminta agar aliran agama ini tidak saling bertengkar. Menyiasati hal itu Rajasanagara mengadakan pembagian daerah, agama Siwa dianjurkan di mana pun, sementara agama Buddha hanya boleh disiarkan di kerajaan bagian timur.

Kisah Fitnah Keji di Majapahit, Membuat Mpu Prapanca Dipecat dan Diusir

Candi Gapura I ini berada terletak di sisi timur Gunung Penanggungan, tepatnya di Dusun Belahanjowo, Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Foto/SINDOnews/Ali Masduki

Aliran-aliran ini mendapat sambutan baik dari rakyat dan dapat hidup subur serta damai. Aliran Buddha oleh Hayam Wuruk dikisahkan Prapanca sedikit ada pengekangan kebebasan. Hal ini disebabkan adanya aturan perundang-undangan dari Kerajaan Majapahit sendiri.

Jawa sebelah barat adalah larangan, untuk penebaran aliran Buddha kala itu. Tetapi daerah kerajaan timur seperti Gurun, Bali, dan sebagainya, boleh dikunjungi oleh para pendeta Buddha. Pendeta Buddha yang berjasa besar di daerah timur ini adalah Empu Barada dan Kuturan.



Pendeta-pendeta Buddha ini dibawah oleh seorang kepala urusan agama yang konon bernama Prapanca. Meski diketahui bukan nama sebenarnya akibat ia dipecat dan diusir dari istana. Prapanca dikisahkan kerap menaruh perhatian besar kepada perbaikan segala bangunan Buddha yang telah rusak.

Diceritakan pada masa pemerintahan Raja Rajasanagara, banyak bangunan candi Buddha yang mengalami kerusakan dan kurang terpelihara. Alhasil Prapanca sering kali membandingkan candi Makam Kagenengan yang sangat indah, yang merupakan bangunan Siwa, dengan bangunan-bangunan Buddha lainnya. Perbedaan ini bahkan digambarkan Prapanca, bagai siang dan malam.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1709 seconds (0.1#10.140)