Cerita Pangreh Praja Bojonegoro dan Para Benalu Penghalang Revolusi Kemerdekaan Indonesia

Senin, 23 Agustus 2021 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Kebencian pejuang yang disokong kemarahan rakyat oleh penindasan Jepang, menjelma menjadi gerakan revolusi sosial. Sejumlah elit pangreh praja ditangkapi. Mereka diseret dan diadili melalui pengadilan rakyat. Bahkan yang melawan, tidak segan dihabisi. Aset-aset pemerintahan dan pribadi juga disita dan diduduki.

Bagi kelompok perjuangan. Sikap "cari aman" pangreh praja dituding sebagai penghalang jalannya revolusi kemerdekaan. Meski sejumlah surat kabar, seperti Asia Raya sudah menurunkan laporan perang telah berakhir (Dengan kekalahan Jepang), pangreh praja tetap kukuh menanti datangnya pengumuman resmi dari atasan.

"Sikapnya (Pangreh praja) menantikan pengumuman resmi atasan itu membuat kebingungan dan keragu-raguannya menghadapi proklamasi ," tulis Anton E Lucas dalam "Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi Dalam Revolusi".



Dalam situasi transisi kekuasaan itu, Pemerintah Jepang mengambil sikap bungkam. Semua kabar terkait kekalahan Perang Dunia II, dirahasiakan. Termasuk informasi Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur Jakarta, juga ditutup rapat-rapat. Di daerah-daerah. Jepang masih percaya diri memperlihatkan gestur penguasa. Di depan rakyat, tentara Jepang masih rutin patroli sekaligus melakukan razia penggeledahan.

"Menolak untuk menjawab di depan umum, dan sering kali secara pribadi menyangkalnya," tulis Anton E Lucas. Sikap bertahannya pangreh praja untuk tetap condong ke pemerintah Jepang, tidak lepas dari pengaruh Perjanjian Postdam 16 Juli 1945. Dalam perjanjian dengan Sekutu yang berlokasi di dekat Berlin, Jepang akan mengembalikan Indonesia kepada Belanda.

Postdam juga berarti jatuhnya bom atom sekaligus kekalahan Jepang yang cepat, sebelum pemindahan kekuasaan secara resmi dilakukan. Para elit pangreh praja yang sejak awal tahu hal itu, sadar. Bahwa rakyat tidak memihaknya. Sementara di satu sisi ketergantungan mereka kepada atasan, semakin pudar. Isi Perjanjian Postdam mendorongnya mengambil sikap sebagai "benalu".



"Apakah yang akan terjadi bila atasan itu runtuh atau diganti? Pada umumnya para pangreh praja berharap, sesuai dengan perjanjian Postdam yang digarisbawahi oleh Komandan Militer Jepang, Sekutu akan datang dan mengembalikan Hindia Belanda kepada Belanda," tulis Anton E Lucas.

Para pangreh praja tengah berikhtiar mencari selamat. Terutama dalam rangka mengamankan jabatannya. Orang Jawa pro republik menyindir sikap pragmatis itu dengan adagium: Jepang menang melu Jepang, Londo menang melu Londo (Jepang menang ikut Jepang, Belanda menang ikut Belanda).
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3576 seconds (0.1#10.140)