KH Munasir, Mantan Heiho Komandan Batalyon 39 Tjondromowo yang Bikin Belanda Ciut

Selasa, 17 Agustus 2021 - 19:44 WIB
loading...
KH Munasir, Mantan Heiho Komandan Batalyon 39 Tjondromowo yang Bikin Belanda Ciut
KH Munasir Ali (berpeci hitam) semasa hidup. Foto/Ist.
A A A
MOJOKERTO - Namanya memang tak lagi dikenal olah kalangan anak muda milenial. Tetapi, 76 tahun silam, KH Munasir mampu membuat ciut nyali para pasukan Belanda yang hendak menyerbu wilayah Mojokerto.



Bagaimana tidak, meski seorang kiai, Munasir merupakan Komandan Batalyon Tjondromowo. Pasukan berani mati yang tak pernah mengenal rasa takut. Cinta tanah air menjadi satu satunya jimat yang selalu dipegang pasukan ini. Tak heran jika pasukan Belanda yang ingin menduduki Surabaya, dan sekitarnya kerap dibuat kocar-kacir.



KH Munasir lahir di Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, pada 2 Maret 1919. Ia merupakan anak dari seorang Kepala Desa Modopuro. Kendati lahir dari keluarga terpandang, tak membuat KH Munasir bermanja-manja. Ia memilih nyantri menimba ilmu agama dan mengabdikan diri pada tanah air tercintanya .



Dia merupakan salah satu kiai yang memiliki peran penting dalam mempertahankan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Selama perang kemerdekaan, ia aktif berjuang dan berkarir di dunia kemiliteran. Sebagai mantan prajurit Heiho, ia kemudian mengembangkan keahlihannya di medan pertempuran.

Kiai Munasir aktif sebagai pasukan Hizbullah . Berkat kelihaiannya melakukan perang gerilya, ia kemudian menjadi Komandan Batalyon Tjondromowo. Kiai satu ini juga memiliki peran yang cukup banyak saat mendirikan Laskar Hizbullah Cabang Mojokerto. Ketika Hizbullah melebur ke dalam barisan TNI, ia pun terdaftar sebagai anggota aktif, hingga akhirnya diangkat menjadi Komandan Batalyon 39 TNI AD.

Keponakan KH Munasir, Habibullah menceritakan, bahwa KH Munasir adalah pahlawan dari kalangan santri sekaligus Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menurutnya, dulu KH Munasir pernah bergabung di Laskar Hizbullah . Berkat keberaniannya dan keahliannya dalam perang gerilya, sehingga tak heran jika dia ditunjuk sebagai wakil ketua Laskar Hizbullah Cabang Mojokerto.



Kiprah KH Munasir semakin menonjol ketika dia dipercaya sebagai sebagai komandan Batalyon Teritorial dengan kode Batalyon 39 Yon Munasir, yang kemudian menjadi Yon 39 Tjondromowo setelah adanya kebijkanam rekonstruksi dan rasionalisasi atau lebih dikenal dengan RERA.

Prorgram RERA ini adalah bergabungnya semua laskar pejuang Indonesia. Sebelum kemerdekaan tumbuh banyak organisasi kelaskaran pejuang merebut kemerdekaan Indonesia di antaranya PETA, BKR, TRI, Tentara Rakyat, Tentara Keamanan Rakyat. Begitu pula Laskar Hizbullah yang berdiri pasca era kemerdekaan Indonesia.

"Atas kebijakan atau intruksi itu (RERA), dari Hizbullah diminta dua batalyon. Satu batalyon dipimpin Mayor Mansur Sholikin dengan nama Yon Mansur Sholikhin yang kemudian menjadi Batalyon 42 Diponegoro. Sedangkan satunya lagi batalyon dipimpin Mayor Munasir Ali dengan nama Yon Munasir yang kemudian menjadi Batalyon 39 Tjondromowo," kata Habibullah.



Batalyon di bawah Mayor KH Munasir Ali selalu mendapatkan tugas berat. Keahlian dalam perang gerilnya, menjadi alasan pasukan ini mampu menghajar para pasukan Belanda yang ingin menguasai Mojokerto. Tak heran pasukan ini dinamakan Tjondromowo yang terinspirasi dari kucing kembang telon.

Berdasarkan cerita yang ia dengar, aksi paling spektakuler yang dilakukan Batalyon Tjondromowo di bawah komando KH Munasir, yakni ketika ketika KH Hasyim Asy'ari mengintruksikan santri-santri Tebuireng untuk berjihad melawan sekutu di Surabaya. Pasca keluar Resolusi Jihat, batalyonnya KH Munasir menjadi salah satu yang turun ke medan laga.

"Kala itu sekutu hendak menyerang di Surabaya. KH Munsair turut melakukan mobilisasi massa para pemuda untuk berjuang jihad ke Surabaya . Batalyon beliaulah yang termasuk ditugaskan di Surabaya," jelasnya.

KH Munasir, Mantan Heiho Komandan Batalyon 39 Tjondromowo yang Bikin Belanda Ciut


Ditambahkannya, KH Munasir Ali dikalangan para tokoh dan kiai Nahdlatul Ulama (NU) menjadi salah satu sosok yang sering kali diminta pertimbangan. Terlebih saat hendak melakukan penyerangan atau penyerbuan. Taktik dan strategi jitu yang ada dalam kepala KH Munasir acap kali membuat musuh kocar-kacir.

"Kiai Munasir itu jarang ngomong, kalau sekali ngomong biasanya banyak yang nurutlah. Sehingga jadi panutan untuk menyelesaikan masalah. Sampai di usia tua belian kelihatan berwibawa dan kharismatik ," jelas Habib.

Sementara itu, pemerhati sejarah Mojokerto Ayuhan Nafiq dalam catatanya mengungkapkan, Batalyon Tjondromowo memiliki peran penting dalam mempertahankan keberadaan Mojokerto, dan Jombang, dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Batalyon ini sempat melakukan tugas tempur ataupun tugas pengamanan wilayah di Tuban, Jombang, dan Mojokerto.



Pertempuran 12 Februari 1949, Mayor Munasir berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh di Dlanggu, Mojokerto. Komandan pasukan dengan nomor register 39 itu kehilangan banyak anggotanya pada pertempuran sengit yang meminta banyak korban. KH Munasir kemudian menuju Tebuireng dan berusaha menyusun kembali kesatuannya.

"Berdasarkan penuturan Kapten Achyat Chalimy, salah satu anggota Batalyon 39 Tjondromowo, Batalyon Moenasir hampir musnah. Istilah itu muncul karena tidak banyak anggotanya yang bisa berkumpul kembali ke induk pasukan. Mungkin sebagian gugur, hilang atau memilih bergabung dengan kesatuan pejuang lainnya," tulis Ayuhan.

Tak habis akal, untuk mencukupi jumlah anggota, KH Munasir kemudian merekrut santri Tebuireng dan pesantren lainnya di wilayah Jombang. Pada 8 April 1949 Mayor Munasir melakukan konsolidasi di Desa Daro, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang. Pertemuan itu bertujuan membangun kembali kesatuan yang sempat tercerai berai. Mayor Munasir kemudian mengusulkan nama Tjondromowo untuk kesatuan yang dipimpinnya.



" Tjondromowo adalah nama kucing yang dipercaya memiliki kelebihan dan kekuatan adi kodrati. Keistimewaan kucing tjondromowo adalah pandangan matanya yang bisa menakutkan lawan. Seekor tikus akan lumpuh mana kala bertatapan pandang dengan kucing tjondromowo. Demikian pula kucing lainnya akan ketakutan bila bertemu kucing berbulu tiga warna itu," jelas Yuhan.

Pasca itu, batalyon tersebut kembali melesat. Seperti sebelumnya, Batalyon Tjondromowo kembali menunjukan tajinya dengan menggempur pasukan-pasukan Belanda yang hendak masuk Mojokerto. Usai gagal membendung sekutu di wilayah Brangkal, Batalyon Munasir kemudian bergabung dengan Batalyon Hayam Wuruk untuk menguasai wilayah Pacet.

Pada saat penyerahan kedaulatan di akhir Desember 1949, Batalyon Tjondwomowo ditunjuk mewakili republik untuk menerima alih pengamanan wilayah Jombang dari tangan tentara Belanda. Tugas pengamanan itu dapat dilaksanakan dengan baik. Setelah keamanan di Jombang dipulihkan, Batalyon Tjondromowo digeser ke Tuban, untuk tugas yang sama.



Penugasan juga diterima ketika terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh Gerombolan Malik di sekitar Mojokerto. Sebagian pasukan Tjondromowo diperbantukan pada Brigade 1 yang dipimpin oleh Mayor Basuki Rakhmad.

Pada tahun 1952 Mayor Munasir memilih membubarkan pasukannya saat ada kebijakan pengurangan personel tentara. Sepertinya Munasir tidak ingin ada anggotanya yang diberhentikan, sebab dianggap tidak memiliki cukup syarat untuk tetap menjadi tentara. Pembubaran itu dilakukan pada sebuah upacara di lapangan Gunungsari tahun 1952. Upacara yang berlangsung haru dengan linangan air mata.

"Saat ini Tjondromowo tetap ada dan dipakai untuk Batalyon Infanteri 509 Kostrad yang berpangkalan di Sukorejo, Jember. Tentu batalyon itu tidak ada kaitan sejarah dengan kesatuan pimpinan Mayor Munasir. Batalyon 509 tidak menggunakan lambang kucing belang telon tetapi berlogo macan kumbang," ujar mantan Komisioner KPU Kabupaten Mojokerto ini.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2622 seconds (0.1#10.140)