Cerita Tentang Pecel Blitar, Bung Karno, dan Revolusi Makanan Rakyat

Senin, 07 Juni 2021 - 05:00 WIB
loading...
Cerita Tentang Pecel Blitar, Bung Karno, dan Revolusi Makanan Rakyat
Bung Karno. Foto/Repro/SINDOnews/Solichan Arif
A A A
BLITAR - Bung Karno yang lahir pada 6 Juni 1901, sangat menggilai nasi pecel Blitar. Guntur, putra sulung Bung Karno hafal kebiasaan itu. Kalau sudah disanding pecel Blitar, Guntur melukiskan bapaknya akan memilih anteng. Emoh beranjak ke mana-mana.



"Nasi pecel dari Blitar. Wah kalau bapak sedang menikmati, walaupun yang namanya Revolusi Indonesia berhenti, pasti bapak tidak akan ambil pusing," tulis Guntur Soekarno Putra dalam buku " Bung Karno & Kesayangannnya".



Pecel merupakan salah satu kuliner khas daerah Blitar . Dibanding pecel lain, bumbu kacang Blitar lebih manis, gurih, sekaligus pedas. Di luar pecel, ada kuliner Iwak Uceng, sayur Blendi, Pecel Punten, Es Plered, Es Drop, jajanan Wajik Kletik dan masih banyak lainnya.



Saat itu tahun 50-an. Favorit Bung Karno adalah pecel racikan Mbok Rah. Seorang pedagang pecel keliling di Kota Blitar, yang usianya terpaut 5-10 tahun lebih tua dari Bung Karno . Untuk sekali santap, 2-3 pincuk nasi pecel buatan Mbok Rah bisa ludes seketika.

Itu dilakukan Bung Karno setiap bangun pagi, sebelum cuci muka atau mandi, ataupun gosok gigi. "Menurut bapak, hal inilah yang justru membuat makan nasi pecel terasa lebih afdol," kata Guntur. Saking gandrungnya sama pecel, setiap tiga bulan sekali memesan pecel Mbok Rah untuk dibawa ke Jakarta.

Setiap Bung Karno melakukan lawatan ke luar negeri, Pecel Blitar Mbok Rah juga tidak pernah lupa. Bahkan saat berkunjung ke Mongolia. Bung Karno memilih mengolesi roti dengan sambel pecel dari pada dengan susu kuda. "Di sana setiap harinya bapak selalu makan roti dengan sambel pecel saja. Kadang-kadang juga dengan kecap," kata Guntur.



Sebetulnya bukan hanya Pecel. Bung Karno mencintai seluruh kuliner nusantara. Kecintaanya pada makanan tradisional Indonesia membuatnya gusar saat para perempuan di kabinetnya selalu menyuguhinya makanan Eropa. Kegusaran itu diungkapkan Bung Karno saat wawancara dengan jurnalis asing Cindy Adam.

Bung Karno mengatakan, "Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa-bawa oleh sifat rendah diri, yang masih saja mereka pegang teguh secara tidak sadar. Hal ini menyebabkan kemarahanku baru-baru ini".

Ia menjelaskan, "Wanita-wanita dari kabinetku selalu menyediakan jualan makanan Eropa . Kita mempunyai penganan enak kepunyaan kita sendiri, kataku dengan marah. Mengapa tidak itu saja dihidangkan?".

Disampaikan juga bagaimana usai kena semprot, mereka pada menginsafi diri. "Maaf Pak kata mereka dengan penyesalan. Tentu bikin malu kita saja. Kami rasa orang Barat memandang rendah pada makanan kita yang melarat," sambung Bung Karno dalam buku " Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia".



Yang dimaksud "penganan enak kepunyaan kita sendiri" seperti kata Soekarno adalah kue-kue berbahan lokal. Seperti singkong, ubi, jagung, tepung beras, dan tepung ketan. Yang menyebabkan para wanita di kabinetnya menganggap makanan Eropa lebih bergengsi daripada "makanan kita" yang dianggapnya melarat tampaknya tidak lepas dari pengaruh dan propaganda bahwa selera Eropa lebih unggul dari selera sendiri.

Dalam buku "Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia ", Fadly Rahman menuliskan, bahan-bahan lokal terkesan sulit menyaingi dominasi bahan-bahan Eropa yang hingga 1950-an tetap gencar menanamkan pengaruhnya. "Rasa tidak percaya diri terhadap makanan sendiri dan lebih memuliakan selera Eropa juga tidak terlepas propaganda iklan seperti margarin yang masih berkuasa di media-media massa," tulis Fadly Rahman.

Margarin menjadi salah satu contoh bahan makanan fabrikasi Eropa, yang sukses membentuk sekaligus mengubah selera masak dan makan di belahan dunia . Termasuk Indonesia. Pengaruh margarin, kue basah seperti jenis taart dan kue kering seperti nastaart dan kastangel lebih disukai.



Bagi ibu rumah tangga margarin adalah pasangan masak yang agung. Menurut Fadly, pengutuban "makanan Eropa" dan "makanan kita" seperti dalam percakapan Soekarno menunjukkan sebentuk konstruksi berfikir terhadap "makanan ningrat" dan "makanan rakyat" dalam bentuk barunya.

"Dengan kata lain, 'makanan Eropa' dikesankan sebagai standar dari cita rasa modern dan 'makanan kita' yang 'melarat' itu dikesankan sebagai standar dari cita rasa tradisional," tulis Fadly. Kotomi modern dan tradisional itu masih berlaku hingga sekarang. Kebanyakan orang Indonesia masih suka menyebut lemper, dodol, nagasari, cucur dan carabikang sebagai tradisional. Kemudian masih gemar menyebut taart, nastaart, dan kaastengel sebagai kue modern.

Kecintaan Bung Karno terhadap makanan tradisional ditunjukkan dengan proyek politik pangan nasional. Program "Empat Sehat, Lima Sempurna", dicanangkan. Negara menerapkan program Revolusi Makanan Rakyat. Lembaga yang bernama Operasi Buta Gizi, didirikan. Saat itu tahun 1964. Populasi rakyat Indonesia mencapai 103 juta jiwa. Tahun 1965 diprediksi akan naik lebih dari 105 juta jiwa. Produksi padi tidak lagi mencukupi konsumsi rakyat Indonesia.



Dalam pidato peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, Bung Karno menyebut sebagai tahun Vivere Pericoloso (Hidup penuh bahaya). Bung Karno menyerukan, rakyat yang biasa makan nasi 2-3 kali sehari untuk mengubah menu. Mencampur dengan jagung, ketela rambat, singkong, ubi, dan lain lain, yang itu dikatakan tidak akan merusak kesehatan.

"Kepada yang biasa makan nasi, 2-3 kali sehari saya serukan: Ubahlah menumu, campurlah dengan jagung, ketela rambat, singkong, ubi, dan lain-lain. Hanya ini yang kuminta mengubah menu, yang tidak akan merusak kesehatanmu," seru Bung Karno .

Upaya mengamankan kebutuhan pangan rakyat juga dilakukan Bung Karno dengan mengumpulkan seluruh resep makanan di nusantara. Semua racikan makanan mulai dari Sabang sampai Merauke dikumpulkan. Selama 1964-1966, terkumpul sebanyak 1.600 resep makanan dan minuman.



Dari Jawa terkumpul sejumlah 440 resep , dan itu menduduki posisi teratas. Disusul masyarakat Sumatera 184 resep, Sulawesi 95 resep, Bali 73 resep, Kalimantan 48 resep, Madura 41 resep, Nusatenggara 24 resep, Papua 16 resep, Maluku 13 resep, dan Timor 12 resep.

Seluruh resep makanan dan minuman nusantara tersebut terkodifikasi dalam buku berjudul "Mustika Rasa, Resep-resep Masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke". Mustika Rasa dinilai sebagai hasil kerja negara untuk rakyat yang seluruh proses pengerjaanya selaras berdasarkan Pancasila.

Ironisnya, Mustika Rasa terbit pada 8 Februari 1967. Yakni 12 hari (20 Februari 1967) detik-detik menjelang kekuasaan Presiden Soekarno berakhir, dan digantikan Jendral Soeharto.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1677 seconds (0.1#10.140)