Legenda Buaya Putih di Keraton Kasepuhan, Anak Sultan Dikutuk Gegara Rebahan Usai Makan

Minggu, 06 Juni 2021 - 05:01 WIB
loading...
A A A
Setelah peristiwa itu, sang pangeran kembali mengatakan kepada sang Sultan. “Ayahanda, saya sudah tidak kuat lagi diam di kolam renang kepotren ini, karena saya merasa panas, dan saya akan pindah ke Sungai Kriyan,” katanya.

Mendengar permintaan anaknya yang sudah menjadi buaya, Sultan pun menginjinkannya dengan beberapa syarat. “Kamu boleh pindah ke Sungai Kriyan tapi kau jangan ganggu keluarga kesepuan Cirebon, kalau kau ingin makan maka keluar dari Sungai Kriyan ke laut dan dari Sungai Kriyan ke Dukusemak,” kata Sultan.

Legenda Buaya Putih di Keraton Kasepuhan, Anak Sultan Dikutuk Gegara Rebahan Usai Makan

Kini, legenda buaya putih tersebut masih diyakini oleh masyarakat sekitar, dan sewaktu-waktu muncul, namun kemunculanna itu tidak mengganggu warga sekitar sebagaimana janjinya kepada sang ayah.

“Konon dia akan muncul kalau ada pesta, bahkan dikawal oleh ikan kakap yang dikenal kakap seprada dan rombongan ikan,” ujar Suwari menceritakan. Bahkan saat ini ada tradisi tersendiri saat masyarakat sekitar melihat buaya putih lempar tumpengan ke sungai.

Legenda buaya putih ini juga diceritakan oleh Polmak Keraton Kasepuhan, Raden Raharjo Djali. Dia menyebutkan, konon, selain tidak patuh, anak Sultan Syamsudin ini memiliki kebiasaan kalau makan sambil tiduran dan tengkurap.

“Sultan selalu menasihati agar tidak seperti itu, tapi kerap diabaikan, hingga akhirnya Sultan berucap anaknya kalau makan tengkurap seperti buaya,” katanya.

Boy warga Cirebon juga mengaku sering mendengar tentang buaya putih yang biasa muncul di Sungai Kriyan. “Yang saya dengar dari warga itu, buaya putih yang muncul tidak mengganggu warga, konon di masayarakat sekitar setiap jumat kliwon muncul dengan sendirinya, di Lawang Sanga,” ujarnya.

Legenda Buaya Putih di Keraton Kasepuhan, Anak Sultan Dikutuk Gegara Rebahan Usai Makan



Berdasarkan naskah Negara Kertabumi, Situs Lawang Sanga dibangun pada masa pemerintahan sepuh pertama Syamsuddin Marta Wijaya tahun 1677 Masehi, yang pada saat itu akan menyelenggarakan gotra sawala yang diselenggarakan oleh Pangeran Wangsa Kerta.

Menurut Raden Raharjo, Lawang Sanga saat itu sebagai pintu masuk bagi perhu-perahu yang berlabuh dari penjuru nusantara dan perdagangan mancanegara, sebelum mereka memasuki keraton pakumuati dan semua awak perahu harus menugggu di kawasan Lawang Sanga.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2089 seconds (0.1#10.140)