ADPMET Tuntut Pusat Transparans, Ridwan Kamil: Dana Bagi Hasil Migas Masih Bermasalah
loading...
A
A
A
PALEMBANG - Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) menuntut transparansi pemerintah pusat dalam pengelolaan dana bagi hasil pengelolaan minyak dan gas (migas).
Baca juga: Jabat Ketum ADPMET, Ridwan Kamil Komitmen Hadirkan Keadilan
Tuntutan tersebut menjadi kesepakatan seluruh anggota ADPMET dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan Sosialisasi Hasil Musyawarah Nasional (Munas) IV ADPMET yang digelar di Hotel Opi Wyndham, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (3/6/2021).
Baca juga: Sosok Anies dan Ganjar di Mata Ridwan Kamil di Tengah Isu Pilpres 2024
Ketua ADPMET, Ridwan Kamil mengatakan, selama ini daerah penghasil migas mendapatkan dana bagi hasil migas dari pemerintah pusat yang nilainya berbeda-beda. Namun, perhitungan dana bagi hasil tersebut masih bermasalah.
"Jadi gini, kalau ada ladang minyak di daerah-daerah itu kan uangnya ke pusat dulu, dari pusat nanti ada persentase ke daerah, itu namanya dana bagi hasil, beda-beda tiap daerah. Itu pun masih menjadi masalah karena neraca pengeboran itu kadang-kadang tidak transparans. Kata pusat bilangnya (hasil pengeboran) sekian, padahal ternyata lebih banyak, sehingga dapat ke daerahnya sedikit," tegas Ridwan Kamil seusai rakernas.
Oleh karenanya, Ridwan Kamil yang juga Gubernur Jawa Barat itu meminta pemerintah pusat bersikap transparans dalam mengelola dana bagi hasil yang disalurkan kepada daerah-daerah penghasil migas. Pasalnya, dana bagi hasil tersebut sangat dibutuhkan pemerintah daerah untuk mendukung program pembangunan.
Selain tuntutan tersebut, pria yang akrab disapa Kang Emil itu juga menyatakan, ADPMET akan memperjuangkan keberadaan ladang-ladang minyak marginal yang jumlahnya ribuan di seluruh Indonesia, agar dapat dikelola oleh pemerintah daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Menurut dia, meskipun skalanya kecil, namun keberadaan ladang-ladang minyak marginal atau yang juga dikenal dengan istilah sumur minyak tua tersebut sangat luar biasa bagi daerah. Pasalnya, uang yang dihasilkan dari ladang minyak marginal dapat dipakai untuk membiayai pembangunan.
"Apa yang terjadi jika kita tidak diperjuangkan. Oleh Pertamina tidak dikelola, dikasihkan ke kita tidak, akhirnya diokupasi ilegal oleh masyarakat-masyarakat, organisasi-organisasi. Harusnya kita dapatkan hak, mau kita tertibkan kita tidak memiliki kewenangan, tapi kegiatannya ada," beber Ridwan Kamil.
Baca juga: Jabat Ketum ADPMET, Ridwan Kamil Komitmen Hadirkan Keadilan
Tuntutan tersebut menjadi kesepakatan seluruh anggota ADPMET dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan Sosialisasi Hasil Musyawarah Nasional (Munas) IV ADPMET yang digelar di Hotel Opi Wyndham, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (3/6/2021).
Baca juga: Sosok Anies dan Ganjar di Mata Ridwan Kamil di Tengah Isu Pilpres 2024
Ketua ADPMET, Ridwan Kamil mengatakan, selama ini daerah penghasil migas mendapatkan dana bagi hasil migas dari pemerintah pusat yang nilainya berbeda-beda. Namun, perhitungan dana bagi hasil tersebut masih bermasalah.
"Jadi gini, kalau ada ladang minyak di daerah-daerah itu kan uangnya ke pusat dulu, dari pusat nanti ada persentase ke daerah, itu namanya dana bagi hasil, beda-beda tiap daerah. Itu pun masih menjadi masalah karena neraca pengeboran itu kadang-kadang tidak transparans. Kata pusat bilangnya (hasil pengeboran) sekian, padahal ternyata lebih banyak, sehingga dapat ke daerahnya sedikit," tegas Ridwan Kamil seusai rakernas.
Oleh karenanya, Ridwan Kamil yang juga Gubernur Jawa Barat itu meminta pemerintah pusat bersikap transparans dalam mengelola dana bagi hasil yang disalurkan kepada daerah-daerah penghasil migas. Pasalnya, dana bagi hasil tersebut sangat dibutuhkan pemerintah daerah untuk mendukung program pembangunan.
Selain tuntutan tersebut, pria yang akrab disapa Kang Emil itu juga menyatakan, ADPMET akan memperjuangkan keberadaan ladang-ladang minyak marginal yang jumlahnya ribuan di seluruh Indonesia, agar dapat dikelola oleh pemerintah daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Menurut dia, meskipun skalanya kecil, namun keberadaan ladang-ladang minyak marginal atau yang juga dikenal dengan istilah sumur minyak tua tersebut sangat luar biasa bagi daerah. Pasalnya, uang yang dihasilkan dari ladang minyak marginal dapat dipakai untuk membiayai pembangunan.
"Apa yang terjadi jika kita tidak diperjuangkan. Oleh Pertamina tidak dikelola, dikasihkan ke kita tidak, akhirnya diokupasi ilegal oleh masyarakat-masyarakat, organisasi-organisasi. Harusnya kita dapatkan hak, mau kita tertibkan kita tidak memiliki kewenangan, tapi kegiatannya ada," beber Ridwan Kamil.