Konflik Harimau Sumatera, Butuh Solusi Segera dan Bersama-sama untuk Mengatasinya
loading...
A
A
A
"Kondisi ini tentunya menjadi tanggung jawab bersama lintas pihak. Sehingga perlu rumusan solusi yang bijak dalam penanganannya. Paling tidak bisa meminimalisir dampak konflik yang terjadi di sejumlah daerah. Kita sebagai jurnalis juga punya tanggung jawab itu untuk bisa sama-sama berkontribusi dalam upaya konservasi lingkungan," ujar Rahmad usai diskusi.
Rahmad berpendapat, sinergisitas antara lembaga begitu penting dalam upaya konservasi. Masing-masing pihak harus membangun koordinasi yang baik sehingga upaya konservasi atau pun penanganan konflik bisa terlaksana dengan maksimal.
"Begitu juga dengan jurnalis yang punya tanggung jawab edukasi kepada masyarakat luas. Sehingga masyarakat juga memahami soal pentingnya menjaga alam. Manusia harus menghargai alam, supaya alam tetap baik kepada manusia," ungkap Rahmad.
Sebelumnya BBKSDA menyimpulkan jika Harimau Sumatra masuk ke wilayah kelola masyarakat karena ada mangsa yang lebih mudah untuk ditangkap. Yakni ternak warga yang tidak dikandangkan.
Ada ratusan ternak yang memang dilepaskan begitu saja oleh masyarakat di kebun yang dikelolanya. Sementara itu, kebun yang dikelola tersebut sebenarnya sudah masuk dalam kawasan hutan dan wilayah jelajah harimau yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL. Dan bukan waktu yang sebentar masyarakat sudah mengelola kawasan yang merupakan buffer zone dari kawasan TNGL. Hal itu pun tidak dipungkiri oleh KPH Wilayah I Stabat.
"Kita akan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat jika kawasan itu merupakan home range dari harimau . Artinya memang perlu pendekatan yang lebih intensif kepada masyarakat," ujar Kepala UPT KPH Wilayah I Stabat, Puji Hartono.
Kepala Seksi Perencanaan Perlindungan dan Pengawetan pada BBTNGL, Rinaldo mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan tabulasi masalah mengapa harimau bisa muncul dan aktifitasnya meningkat di kawasan TNGL. Di antaranya adalah kerusakan lahan, perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan hingga ternak warga yang tidak dikandangkan.
Pihaknya juga berupaya melakukan tindakan persuasif kepada masyarakat untuk tidak melakukan perburuan satwa di dalam kawasan hutan. Dugaan yang mencuat adalah soal penurunan jumlah pakan satwa di dalam hutan. Sehingga harimau bisa masuk ke kawasan kelola masyarakat. Sementara, ada peningkatan populasi satwa sehingga kebutuhan paan juga semakin meningkat. "Perlu sosialisasi masyarakat, disarankan masyarakat melakukan pengandangan satwa ternak," ungkap Rinaldo.
Rahmad berpendapat, sinergisitas antara lembaga begitu penting dalam upaya konservasi. Masing-masing pihak harus membangun koordinasi yang baik sehingga upaya konservasi atau pun penanganan konflik bisa terlaksana dengan maksimal.
"Begitu juga dengan jurnalis yang punya tanggung jawab edukasi kepada masyarakat luas. Sehingga masyarakat juga memahami soal pentingnya menjaga alam. Manusia harus menghargai alam, supaya alam tetap baik kepada manusia," ungkap Rahmad.
Sebelumnya BBKSDA menyimpulkan jika Harimau Sumatra masuk ke wilayah kelola masyarakat karena ada mangsa yang lebih mudah untuk ditangkap. Yakni ternak warga yang tidak dikandangkan.
Ada ratusan ternak yang memang dilepaskan begitu saja oleh masyarakat di kebun yang dikelolanya. Sementara itu, kebun yang dikelola tersebut sebenarnya sudah masuk dalam kawasan hutan dan wilayah jelajah harimau yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL. Dan bukan waktu yang sebentar masyarakat sudah mengelola kawasan yang merupakan buffer zone dari kawasan TNGL. Hal itu pun tidak dipungkiri oleh KPH Wilayah I Stabat.
"Kita akan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat jika kawasan itu merupakan home range dari harimau . Artinya memang perlu pendekatan yang lebih intensif kepada masyarakat," ujar Kepala UPT KPH Wilayah I Stabat, Puji Hartono.
Kepala Seksi Perencanaan Perlindungan dan Pengawetan pada BBTNGL, Rinaldo mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan tabulasi masalah mengapa harimau bisa muncul dan aktifitasnya meningkat di kawasan TNGL. Di antaranya adalah kerusakan lahan, perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan hingga ternak warga yang tidak dikandangkan.
Pihaknya juga berupaya melakukan tindakan persuasif kepada masyarakat untuk tidak melakukan perburuan satwa di dalam kawasan hutan. Dugaan yang mencuat adalah soal penurunan jumlah pakan satwa di dalam hutan. Sehingga harimau bisa masuk ke kawasan kelola masyarakat. Sementara, ada peningkatan populasi satwa sehingga kebutuhan paan juga semakin meningkat. "Perlu sosialisasi masyarakat, disarankan masyarakat melakukan pengandangan satwa ternak," ungkap Rinaldo.