Waliyah Zaenab, Penyebar Islam Pulau Bawean yang Dituduh Pembawa Pegebluk ‘Corona’
loading...
A
A
A
Dewi Wardah dinikahkan ayahnya Sunan Bungkul dengan Raden Paku (Sunan Giri). Itupun sebagai garwo triman (isteri hadiah). “Saat itu, Sunan Bungkul nadzar alias berjanji, apabila ada seseorang yang tertimpa buah delima miliknya namun dia tetap hidup maka akan dinikahkan dengan puterinya,” paparnya dengan serius.
Karena Raden Paku sudah lebih dulu menikahi Dewi Murtasiyah puteri dari Sunan Ampel. Maka, Dewi Wardah istri yang dimadu. Hanya beliaunya tidak ingin dimadu. “Beliau pergi berlayar ke arah utara dengan menaiki sentong. Atau kelopak bunga kelapa. Dan sampailah di Bawean,” gambah KH Nurul Huda.
Itupun, lanjut KH Nurul Huda, tidak langsung ke Diponggo. Tetapi ke Kumalasa Sangkapura. Sebab, saat itu jadi syahbandar alias pelabuhan.
Dalam perjalanan menempuh jarak 81 mil dari Gresik, Dewi Wardah sakit. Karena sakit itulah, warga Kumalasa menolaknya. Kemudian berlayar lagi sampai di Teluk Menangis Diponggo. “Akhirnya menepat dan menyebarkan Islam di Diponggo sampai beliau wafat dan dimakamkan di sini (Diponggo),” ujar KH Nurul Huda.
Selain itu, Salim bercerita versi kedua. Yaitu, dia dasarkan pada buku “Waliyah Zaenab, Putri Pewaris Syech Siti Djenar” karya M Dhiyauddin Qushwandhi.
Salim menyebut, Dewi Wardah diperkirakan lahir antara tahun 1575 dan 1585. Putri dari Raden Nur Rakhmat alias Kanjeng Sunan Sendang Duwur di Paciran, Lamongan, Jawa Timur.
Dewi Wardah menikah dengan seorang pria yang dikenal sebagai Pangeran Sedo Laut. Pangeran ini dipercaya sebagai cucu Raden Paku alias Sunan Giri I, Pendiri Giri Kedaton, Gresik. “Dewi Wardah disebut generasi keempat penerus ajaran Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang, pendiri tarekat Akmaliyah di Nusantara,” beber Salim.
Pangeran Sedo Laut adalah saudara Sunan Prapen yang berkuasa pada 1545-1625. Sunan Prapen mengutus Pangeran Sedo Laut dan istrinya, Dewi Wardah, mengislamkan Bawean. “Dalam perjalanan itu, Pangeran Sedo Laut meninggal. Dan perjalanan tetep dilanjut. Akhirnya sampai Syahbandar Kumalasa,” ungkapnya.
(Baca juga: TNI dan Warga Gresik Bahu Membahu Bantu Korban Banjir Sungai Lamong )
Karena Raden Paku sudah lebih dulu menikahi Dewi Murtasiyah puteri dari Sunan Ampel. Maka, Dewi Wardah istri yang dimadu. Hanya beliaunya tidak ingin dimadu. “Beliau pergi berlayar ke arah utara dengan menaiki sentong. Atau kelopak bunga kelapa. Dan sampailah di Bawean,” gambah KH Nurul Huda.
Itupun, lanjut KH Nurul Huda, tidak langsung ke Diponggo. Tetapi ke Kumalasa Sangkapura. Sebab, saat itu jadi syahbandar alias pelabuhan.
Dalam perjalanan menempuh jarak 81 mil dari Gresik, Dewi Wardah sakit. Karena sakit itulah, warga Kumalasa menolaknya. Kemudian berlayar lagi sampai di Teluk Menangis Diponggo. “Akhirnya menepat dan menyebarkan Islam di Diponggo sampai beliau wafat dan dimakamkan di sini (Diponggo),” ujar KH Nurul Huda.
Selain itu, Salim bercerita versi kedua. Yaitu, dia dasarkan pada buku “Waliyah Zaenab, Putri Pewaris Syech Siti Djenar” karya M Dhiyauddin Qushwandhi.
Salim menyebut, Dewi Wardah diperkirakan lahir antara tahun 1575 dan 1585. Putri dari Raden Nur Rakhmat alias Kanjeng Sunan Sendang Duwur di Paciran, Lamongan, Jawa Timur.
Dewi Wardah menikah dengan seorang pria yang dikenal sebagai Pangeran Sedo Laut. Pangeran ini dipercaya sebagai cucu Raden Paku alias Sunan Giri I, Pendiri Giri Kedaton, Gresik. “Dewi Wardah disebut generasi keempat penerus ajaran Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang, pendiri tarekat Akmaliyah di Nusantara,” beber Salim.
Pangeran Sedo Laut adalah saudara Sunan Prapen yang berkuasa pada 1545-1625. Sunan Prapen mengutus Pangeran Sedo Laut dan istrinya, Dewi Wardah, mengislamkan Bawean. “Dalam perjalanan itu, Pangeran Sedo Laut meninggal. Dan perjalanan tetep dilanjut. Akhirnya sampai Syahbandar Kumalasa,” ungkapnya.
(Baca juga: TNI dan Warga Gresik Bahu Membahu Bantu Korban Banjir Sungai Lamong )