Cerita Berandal Lokajaya di atas Kanvas Limbah Kulit Sapi Seniman Tulungagung

Senin, 30 November 2020 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Karena memang berasal dari sisa pembuatan bedug, tidak salah jika lukisan kulit sapi yang ditekuni ayahnya sejak tahun 2010 itu disebut berasal dari limbah. "Sekarang tidak hanya lukisan. Limbah kulit sapi itu juga kami jadikan kerajinan wayang kecil untuk gantungan kunci," terang Deni. Tidak hanya karya seni dari limbah kulit sapi. (Baca: Remaja Putri Ini Dicabuli Ayah Tiri sekaj SD hingga SMP).

Deni beserta ayahnya juga membuat karya seni dari limbah kayu sisa pembuatan mebelair. Ia cerita, mebelair sebagai usaha pertama keluarga yang dimulai sejak tahun 1985. Karena sulit dibawa ke ajang pameran karena dianggap terlalu umum, munculah ide membuat karya seni alternatif dengan memanfaatkan sisa bahan baku yang ada.

"Yang pertama justru kerajinan dari limbah kayu yang kemudian dalam perjalanannya berkembang ke limbah kulit sapi," kenang Deni. Dari limbah kayu sisa pembuatan mebelair, terciptalah kerajinan patung, ukiran pintu, dekorasi rumah, sampai lukisan relief dengan metode seni cukil.

Deni memperlihatkan lukisan cukil bertema "Jaka Tarub" yang tengah mengendap endap hendak mencuri selendang bidadari Nawangwulan. Lukisan dengan ukuran 75 cm X 175 cm itu terlihat begitu hidup. Bentuknya tiga dimensi. Untuk karya seni yang digarap Supriyo sekitar tiga bulan itu, Deni mematok harga Rp 20 juta. (Baca: Atas Nama Kemanusiaan, Keluarga Minta Pemerintah Bebaskan Abu Bakar Baasyir).

"Dibeli oleh orang Wonosobo. Bagi yang tahu seni dan membutuhkan, harga segitu tidak mahal," papar Deni menambahkan jika pembuatan mebelainya hingga kini juga masih berjalan. Tidak hanya melayani pasar lokal. Yakni eks karsidenan Kediri dan luar daerah. Tidak sedikit pembeli karya seni limbah kayu dan kulit tersebut datang dari luar negeri.

Sebut saja Taiwan, Hongkong dan Malaysia. Hanya dari karya seni limbah kayu dan kulit rata rata omzet keuntungan mencapai Rp 10 juta per bulan. Di awal pandemi COVID-19, yakni selama tiga bulan, kata Deni, usahanya sempat tidak mendapat pemasukan sama sekali. Hal itu dipengaruhi faktor daya beli masyarakat yang anjlok.

Deni tetap bertahan semampunya. Meski kuantitasnya dikurangi, produksi tetap berjalan sambil ia terus melakukan perluasan pasar. "Kalau sekarang mulai berangsur menuju normal. Setidaknya rata rata setiap bulan sudah Rp 3- 5 juta," pungkas Deni.
(nag)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1839 seconds (0.1#10.140)