Cerita Berandal Lokajaya di atas Kanvas Limbah Kulit Sapi Seniman Tulungagung
loading...
A
A
A
TULUNGAGUNG - Lukisan "Berandal Lokajaya" dari media limbah kulit sapi itu sekilas seperti sudah rampung. Komposisi warnanya lengkap. Namun tangan Supriyo (70), warga Desa Jatimulya Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung , tidak kunjung berhenti bergerak. "Tinggal sedikit lagi," kata Supriyo yang terdengar seperti berbisik.
Untuk kesekian kali, kuas kecil yang terjepit di antara dua jarinya, kembali ia celupkan ke dalam wadah cat minyak. Perlahan dan hati hati. Warna merah yang membasahi ujung kuas, ia sapukan tipis tipis pada objek lukisan . Supriyo duduk di atas bangku pendek. Lukisan kulit sapi yang digarapnya berada di depannya, menumpang di atas meja.
Bapak dua anak itu sesekali berhenti untuk sekedar mengunjal nafas. Ia pandangi hasil karyanya dengan tatapan meneliti. "Wes apik pak (sudah bagus pak)". Deni Susanto (34) putra bungsu Supriyo berseloroh dari ruang sebelah. Meski menoleh sebentar, Supriyo tidak bergeming. Kuas yang baru saja tercelup tinta, kembali ia sapukan pada obyek lukisan yang gradasi warnanya dirasa masih kurang.
Mulai dari pakaian yang dikenakan. Kemudian pepohonan, hutan belantara, semak belukar serta latar belakang yang cenderung gelap, kembali ia goresi warna. Kombinasi warna pada ruang kosong yang dianggapnya terlalu ramai, ia gosok gosok agar sedikit pudar. "Ini brandal lokajayanya," terang Supriyo dengan jempol menyentuh gambar sosok laki laki berbadan kekar yang menjadi pemimpin berandal.
Tema lukisan Berandal Lokajaya berkisah tentang legenda perampok di masa Wali Songo. Yakni gerombolan penjahat yang hanya menyasar orang kaya, saudagar, termasuk para pejabat kraton. Semacam Robin Hood. Hasil rampokan mereka tidak untuk dinikmati sendiri. Melainkan dibagi bagikan kepada fakir miskin. "Tentu semua pernah mendengar kisah berandal lokajaya," tambah Supriyo yang juga dikenal sebagai seniman jaranan pegon.
Pada lukisan bermedia kulit sapi tersebut tampak Berandal Lokajaya tengah memburu Sunan Bonang, Tuban. Dengan imajinasinya Supriyo menuangkan cerita tutur itu ke dalam gambar sepanjang 60 cm. Terlihat adegan tongkat Sunan Bonang yang berlapis emas hendak dibegal.
Kemudian pohon aren dengan buah kolang kaling yang secara ajaib berubah jadi emas setelah kena tunjuk tongkat Sunan Bonang, juga muncul dalam lukisan. Lokajaya adalah nama samaran Raden Sahid, putra Adipati Tuban yang kelak kemudian bersalin nama menjadi Sunan Kalijaga.
"Nah ini kolang kalingnya," celetuk Supriyo sembari menunjuk gambar sebuah pohon aren dengan buah kecil kecil yang mendompol. Lukisan kulit sapi bertema Brandal Lokajaya karya Supriyo tersebut, sudah ada pemesannya. Dengan waktu pengerjaan dua minggu serta tingkat kerumitan yang cukup lumayan, lukisan berkanvas tersebut dipatok harga Rp 1 juta - Rp 2 juta.
"Harga jual tergantung dari tingkat kerumitan dan waktu pengerjaan," ujar Deni Susanto yang selama ini mengurusi marketing dan penjualan. Selain Brandal Lokajaya, ada juga lukisan bertema punakawan dan fragmen pewayangan. Semua telah dipesan. Menurut Deni, hampir seluruh karya seni garapan Supriyo mengambil tema sejarah dan cerita babad.
"Kita belum berani membuat tema milenial. Khawatirnya tidak laku," tutur Deni. Yang tidak banyak orang tahu, kerajinan seni lukis kulit sapi tersebut sebenarnya perluasan usaha kerajinan bedug. Untuk satu bedug seharga Rp 12 juta, Deni membutuhkan dua ekor sapi. Sebelum muncul ide lukisan, sisa kulit sapi pembuatan bedug berdiameter satu meter tersebut, hanya disimpan.
Karena memang berasal dari sisa pembuatan bedug, tidak salah jika lukisan kulit sapi yang ditekuni ayahnya sejak tahun 2010 itu disebut berasal dari limbah. "Sekarang tidak hanya lukisan. Limbah kulit sapi itu juga kami jadikan kerajinan wayang kecil untuk gantungan kunci," terang Deni. Tidak hanya karya seni dari limbah kulit sapi. (Baca: Remaja Putri Ini Dicabuli Ayah Tiri sekaj SD hingga SMP).
Deni beserta ayahnya juga membuat karya seni dari limbah kayu sisa pembuatan mebelair. Ia cerita, mebelair sebagai usaha pertama keluarga yang dimulai sejak tahun 1985. Karena sulit dibawa ke ajang pameran karena dianggap terlalu umum, munculah ide membuat karya seni alternatif dengan memanfaatkan sisa bahan baku yang ada.
"Yang pertama justru kerajinan dari limbah kayu yang kemudian dalam perjalanannya berkembang ke limbah kulit sapi," kenang Deni. Dari limbah kayu sisa pembuatan mebelair, terciptalah kerajinan patung, ukiran pintu, dekorasi rumah, sampai lukisan relief dengan metode seni cukil.
Deni memperlihatkan lukisan cukil bertema "Jaka Tarub" yang tengah mengendap endap hendak mencuri selendang bidadari Nawangwulan. Lukisan dengan ukuran 75 cm X 175 cm itu terlihat begitu hidup. Bentuknya tiga dimensi. Untuk karya seni yang digarap Supriyo sekitar tiga bulan itu, Deni mematok harga Rp 20 juta. (Baca: Atas Nama Kemanusiaan, Keluarga Minta Pemerintah Bebaskan Abu Bakar Baasyir).
"Dibeli oleh orang Wonosobo. Bagi yang tahu seni dan membutuhkan, harga segitu tidak mahal," papar Deni menambahkan jika pembuatan mebelainya hingga kini juga masih berjalan. Tidak hanya melayani pasar lokal. Yakni eks karsidenan Kediri dan luar daerah. Tidak sedikit pembeli karya seni limbah kayu dan kulit tersebut datang dari luar negeri.
Sebut saja Taiwan, Hongkong dan Malaysia. Hanya dari karya seni limbah kayu dan kulit rata rata omzet keuntungan mencapai Rp 10 juta per bulan. Di awal pandemi COVID-19, yakni selama tiga bulan, kata Deni, usahanya sempat tidak mendapat pemasukan sama sekali. Hal itu dipengaruhi faktor daya beli masyarakat yang anjlok.
Deni tetap bertahan semampunya. Meski kuantitasnya dikurangi, produksi tetap berjalan sambil ia terus melakukan perluasan pasar. "Kalau sekarang mulai berangsur menuju normal. Setidaknya rata rata setiap bulan sudah Rp 3- 5 juta," pungkas Deni.
Untuk kesekian kali, kuas kecil yang terjepit di antara dua jarinya, kembali ia celupkan ke dalam wadah cat minyak. Perlahan dan hati hati. Warna merah yang membasahi ujung kuas, ia sapukan tipis tipis pada objek lukisan . Supriyo duduk di atas bangku pendek. Lukisan kulit sapi yang digarapnya berada di depannya, menumpang di atas meja.
Bapak dua anak itu sesekali berhenti untuk sekedar mengunjal nafas. Ia pandangi hasil karyanya dengan tatapan meneliti. "Wes apik pak (sudah bagus pak)". Deni Susanto (34) putra bungsu Supriyo berseloroh dari ruang sebelah. Meski menoleh sebentar, Supriyo tidak bergeming. Kuas yang baru saja tercelup tinta, kembali ia sapukan pada obyek lukisan yang gradasi warnanya dirasa masih kurang.
Mulai dari pakaian yang dikenakan. Kemudian pepohonan, hutan belantara, semak belukar serta latar belakang yang cenderung gelap, kembali ia goresi warna. Kombinasi warna pada ruang kosong yang dianggapnya terlalu ramai, ia gosok gosok agar sedikit pudar. "Ini brandal lokajayanya," terang Supriyo dengan jempol menyentuh gambar sosok laki laki berbadan kekar yang menjadi pemimpin berandal.
Tema lukisan Berandal Lokajaya berkisah tentang legenda perampok di masa Wali Songo. Yakni gerombolan penjahat yang hanya menyasar orang kaya, saudagar, termasuk para pejabat kraton. Semacam Robin Hood. Hasil rampokan mereka tidak untuk dinikmati sendiri. Melainkan dibagi bagikan kepada fakir miskin. "Tentu semua pernah mendengar kisah berandal lokajaya," tambah Supriyo yang juga dikenal sebagai seniman jaranan pegon.
Pada lukisan bermedia kulit sapi tersebut tampak Berandal Lokajaya tengah memburu Sunan Bonang, Tuban. Dengan imajinasinya Supriyo menuangkan cerita tutur itu ke dalam gambar sepanjang 60 cm. Terlihat adegan tongkat Sunan Bonang yang berlapis emas hendak dibegal.
Kemudian pohon aren dengan buah kolang kaling yang secara ajaib berubah jadi emas setelah kena tunjuk tongkat Sunan Bonang, juga muncul dalam lukisan. Lokajaya adalah nama samaran Raden Sahid, putra Adipati Tuban yang kelak kemudian bersalin nama menjadi Sunan Kalijaga.
"Nah ini kolang kalingnya," celetuk Supriyo sembari menunjuk gambar sebuah pohon aren dengan buah kecil kecil yang mendompol. Lukisan kulit sapi bertema Brandal Lokajaya karya Supriyo tersebut, sudah ada pemesannya. Dengan waktu pengerjaan dua minggu serta tingkat kerumitan yang cukup lumayan, lukisan berkanvas tersebut dipatok harga Rp 1 juta - Rp 2 juta.
"Harga jual tergantung dari tingkat kerumitan dan waktu pengerjaan," ujar Deni Susanto yang selama ini mengurusi marketing dan penjualan. Selain Brandal Lokajaya, ada juga lukisan bertema punakawan dan fragmen pewayangan. Semua telah dipesan. Menurut Deni, hampir seluruh karya seni garapan Supriyo mengambil tema sejarah dan cerita babad.
"Kita belum berani membuat tema milenial. Khawatirnya tidak laku," tutur Deni. Yang tidak banyak orang tahu, kerajinan seni lukis kulit sapi tersebut sebenarnya perluasan usaha kerajinan bedug. Untuk satu bedug seharga Rp 12 juta, Deni membutuhkan dua ekor sapi. Sebelum muncul ide lukisan, sisa kulit sapi pembuatan bedug berdiameter satu meter tersebut, hanya disimpan.
Karena memang berasal dari sisa pembuatan bedug, tidak salah jika lukisan kulit sapi yang ditekuni ayahnya sejak tahun 2010 itu disebut berasal dari limbah. "Sekarang tidak hanya lukisan. Limbah kulit sapi itu juga kami jadikan kerajinan wayang kecil untuk gantungan kunci," terang Deni. Tidak hanya karya seni dari limbah kulit sapi. (Baca: Remaja Putri Ini Dicabuli Ayah Tiri sekaj SD hingga SMP).
Deni beserta ayahnya juga membuat karya seni dari limbah kayu sisa pembuatan mebelair. Ia cerita, mebelair sebagai usaha pertama keluarga yang dimulai sejak tahun 1985. Karena sulit dibawa ke ajang pameran karena dianggap terlalu umum, munculah ide membuat karya seni alternatif dengan memanfaatkan sisa bahan baku yang ada.
"Yang pertama justru kerajinan dari limbah kayu yang kemudian dalam perjalanannya berkembang ke limbah kulit sapi," kenang Deni. Dari limbah kayu sisa pembuatan mebelair, terciptalah kerajinan patung, ukiran pintu, dekorasi rumah, sampai lukisan relief dengan metode seni cukil.
Deni memperlihatkan lukisan cukil bertema "Jaka Tarub" yang tengah mengendap endap hendak mencuri selendang bidadari Nawangwulan. Lukisan dengan ukuran 75 cm X 175 cm itu terlihat begitu hidup. Bentuknya tiga dimensi. Untuk karya seni yang digarap Supriyo sekitar tiga bulan itu, Deni mematok harga Rp 20 juta. (Baca: Atas Nama Kemanusiaan, Keluarga Minta Pemerintah Bebaskan Abu Bakar Baasyir).
"Dibeli oleh orang Wonosobo. Bagi yang tahu seni dan membutuhkan, harga segitu tidak mahal," papar Deni menambahkan jika pembuatan mebelainya hingga kini juga masih berjalan. Tidak hanya melayani pasar lokal. Yakni eks karsidenan Kediri dan luar daerah. Tidak sedikit pembeli karya seni limbah kayu dan kulit tersebut datang dari luar negeri.
Sebut saja Taiwan, Hongkong dan Malaysia. Hanya dari karya seni limbah kayu dan kulit rata rata omzet keuntungan mencapai Rp 10 juta per bulan. Di awal pandemi COVID-19, yakni selama tiga bulan, kata Deni, usahanya sempat tidak mendapat pemasukan sama sekali. Hal itu dipengaruhi faktor daya beli masyarakat yang anjlok.
Deni tetap bertahan semampunya. Meski kuantitasnya dikurangi, produksi tetap berjalan sambil ia terus melakukan perluasan pasar. "Kalau sekarang mulai berangsur menuju normal. Setidaknya rata rata setiap bulan sudah Rp 3- 5 juta," pungkas Deni.
(nag)