Meneropong Bisnis Penerbangan dan Migas Pascapandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penerbangan dan migas merupakan dua bidang industri paling terpuruk akibat hantaman pandemi virus Corona atau COVID-19. Perusahaan-perusahaan pada dua bidang industri ini sedang berusaha keras memastikan roda kelangsungan bisnis mereka sekarang dan pascapandemi nanti.
Hal ini terungkap dalam Kajian Online Bersama Alumni ITS yang menghadirkan dua narasumber yaitu Chief Executive Officer PT Airfast Indonesia, Arif Wibowo dan Senior Engineer Schlumberger Kerajaan Saudi Arabia, Gagok Santoso, Sabtu (9/5/2020). Diskusi diikuti 190 orang alumni ITS yang tersebar di Arab Saudi, Qatar, Brunei Darussalam, Korea Selatan, Malaysia, Italia, Singapure, Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Indonesia.
(Baca: Peduli Pandemi, Alumni ITS Galang Donasi dan Gelar Aksi Sosial)
Dalam diskusi diketahui bahwa perusahaan-perusahaaan saat ini penerbangan mengalami penurunan arus kas. Ini terjadi lantaran nyaris tidak ada pergerakan manusia dan barang yang menjadi basis utama bisnis mereka. Selain kekhawatiran yang meluas, kebijakan physical distancing, work from home, stay at home dan sebagainya turut memberikan andil pada merosotnya arus kas perusahaan penerbangan.
Hal yang sama terjadi di sektor hilir industri migas. Berubahnya perilaku masyarakat dengan lebih banyak berada di rumah, ditambah tutupnya banyak perkantoran, berpengaruh pada berkurangnya konsumsi bahan bakar minyak. Fenomena ini menyebabkan pada sektor hulu migas terjadi surplus crude oil besar-besaran. Harganya anjlok hingga pernah mencapai level di bawah USD20/barrel.
Lalu bagaimana solusinya? Perusahaan penerbangan dapat melakukan bundling offering. Penjualan tiket pulang pergi perlu ditambah leisure destination atau business oriented. Promosi diskon harga tiket juga mesti dilengkapi dengan jenis promosi lain yang membuat keterikatan penumpang dengan industri.
(Baca: Gelar Korma, IKA ITS Jakarta Raya Menjaring Pemikiran untuk Pemulihan Pascapandemi)
Sementara isu utama dalam upaya mempertahankan bisnis migas adalah pengurangan karyawan, penurunan ongkos produksi di kisaran 30% - 40%, penutupan eksplorasi baru, dan menunda produksi baru.
Namun industri migas secara perlahan melakukan balancing price. Sektor hulu akan kembali melakukan efisiensi dan shifting exploration, sektor midstream akan meninjau kembali pembangunan perpipaan atau transportation. Sementara sektor hilir lebih melakukan huge storage untuk migas sebesar-besarnya sambil menunggu rebound harga migas.
Koordinator tim pengarah KORMA ITS, Muhammad Ade Irfan memberikan catatan diskusi bahwa konsumen industri penerbangan dan migas telah berubah. Perubahan tersebut diperkirakan semakin mengental setelah pandemi Corona. Sebagai professional consument yang mempunyai high level value, mereka lebih selektif dan lebih pintar mendapatkan nilai informasi.
Apa yang disebut sebagai keuntungan bukan lagi uang semata, melainkann sesuatu yang tahan lama. ”Profit bukan berbentuk rupiah atau dolar, namun terobosan dan inovasi,” ujarAde.
Hal ini terungkap dalam Kajian Online Bersama Alumni ITS yang menghadirkan dua narasumber yaitu Chief Executive Officer PT Airfast Indonesia, Arif Wibowo dan Senior Engineer Schlumberger Kerajaan Saudi Arabia, Gagok Santoso, Sabtu (9/5/2020). Diskusi diikuti 190 orang alumni ITS yang tersebar di Arab Saudi, Qatar, Brunei Darussalam, Korea Selatan, Malaysia, Italia, Singapure, Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Indonesia.
(Baca: Peduli Pandemi, Alumni ITS Galang Donasi dan Gelar Aksi Sosial)
Dalam diskusi diketahui bahwa perusahaan-perusahaaan saat ini penerbangan mengalami penurunan arus kas. Ini terjadi lantaran nyaris tidak ada pergerakan manusia dan barang yang menjadi basis utama bisnis mereka. Selain kekhawatiran yang meluas, kebijakan physical distancing, work from home, stay at home dan sebagainya turut memberikan andil pada merosotnya arus kas perusahaan penerbangan.
Hal yang sama terjadi di sektor hilir industri migas. Berubahnya perilaku masyarakat dengan lebih banyak berada di rumah, ditambah tutupnya banyak perkantoran, berpengaruh pada berkurangnya konsumsi bahan bakar minyak. Fenomena ini menyebabkan pada sektor hulu migas terjadi surplus crude oil besar-besaran. Harganya anjlok hingga pernah mencapai level di bawah USD20/barrel.
Lalu bagaimana solusinya? Perusahaan penerbangan dapat melakukan bundling offering. Penjualan tiket pulang pergi perlu ditambah leisure destination atau business oriented. Promosi diskon harga tiket juga mesti dilengkapi dengan jenis promosi lain yang membuat keterikatan penumpang dengan industri.
(Baca: Gelar Korma, IKA ITS Jakarta Raya Menjaring Pemikiran untuk Pemulihan Pascapandemi)
Sementara isu utama dalam upaya mempertahankan bisnis migas adalah pengurangan karyawan, penurunan ongkos produksi di kisaran 30% - 40%, penutupan eksplorasi baru, dan menunda produksi baru.
Namun industri migas secara perlahan melakukan balancing price. Sektor hulu akan kembali melakukan efisiensi dan shifting exploration, sektor midstream akan meninjau kembali pembangunan perpipaan atau transportation. Sementara sektor hilir lebih melakukan huge storage untuk migas sebesar-besarnya sambil menunggu rebound harga migas.
Koordinator tim pengarah KORMA ITS, Muhammad Ade Irfan memberikan catatan diskusi bahwa konsumen industri penerbangan dan migas telah berubah. Perubahan tersebut diperkirakan semakin mengental setelah pandemi Corona. Sebagai professional consument yang mempunyai high level value, mereka lebih selektif dan lebih pintar mendapatkan nilai informasi.
Apa yang disebut sebagai keuntungan bukan lagi uang semata, melainkann sesuatu yang tahan lama. ”Profit bukan berbentuk rupiah atau dolar, namun terobosan dan inovasi,” ujarAde.
(muh)